10. Indah Pada Akhirnya

48 9 0
                                    

Hari itu suasana di kantin kampus terasa tidak biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari itu suasana di kantin kampus terasa tidak biasa. Panji, Pandu, Adit, dan teman-temannya duduk dalam keheningan, mencoba mencari solusi untuk membantu Fanny. Sejak insiden surat ancaman dan foto-foto pribadinya disebarkan di media sosial, Fanny jadi sangat tertutup, bahkan jarang terlihat di kampus. Teman-temannya kini tahu bahwa masalah yang dihadapi Fanny jauh lebih besar dari yang mereka duga.

Panji menghela napas panjang, lalu membuka pembicaraan dengan suara berat yang sarat kekhawatiran, "Kita harus lakukan sesuatu. Nggak mungkin kita biarin Fanny terus-terusan kayak gini. Kasihan dia," ujarnya, tatapan matanya serius, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar saran, tapi sebuah keharusan.

Putra, yang sedari tadi duduk dengan wajah tegang, mengangguk pelan setuju, meskipun kebingungan jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kita bisa apa?" dia bertanya dengan nada penuh keraguan. "Pelakunya jelas-jelas nggak mudah dilacak. Kita nggak tahu siapa yang ada di balik akun itu. Dan kalau kita salah langkah, Fanny malah bisa makin menderita."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Pandu yang sejak tadi hanya diam, menatap meja seakan merenung dalam-dalam. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajahnya dan berbicara, "Mungkin kita bisa coba cari tahu siapa yang ada di balik akun anonim itu. Aku bisa panggil Reza lagi untuk kali ini. Dia kan pernah bantu kita sebelumnya. Mungkin kali ini dia bisa lacak pelakunya lebih dalam."

Sebelum ada yang sempat merespons, telepon Adit tiba-tiba berdering, memecah keheningan yang tegang. Suara nada dering itu terasa seperti tanda bahaya yang tak terucapkan. Adit melihat layar ponselnya, dan wajahnya langsung berubah tegang ketika melihat nama yang tertera di sana. Rasa cemas menyergapnya seketika.

Dengan cepat, Adit menjawab panggilan itu. "Halo, Rika?" suaranya sedikit gemetar, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dari ujung telepon terdengar suara panik. "Adit, ini Rika! Fanny hilang!" teriak Rika dengan nada cemas, nyaris putus asa.

Adit tersentak, matanya membelalak tak percaya. "Apa maksudmu Fanny hilang? Rika, coba jelasin dulu! Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Aku nggak bisa menemukannya, Dit!" jawab Rika dengan suara bergetar. "Dia nggak ada di rumah, dan aku udah cari ke mana-mana. Aku takut ada sesuatu yang terjadi! Aku udah keliling ke tempat-tempat biasa dia pergi, tapi dia nggak ada di mana-mana!" Terdengar jelas bahwa Rika hampir menangis, kepanikannya begitu besar.

Semua orang di meja itu langsung terkejut. Panji, yang awalnya duduk dengan tatapan serius, seketika bangkit dari tempat duduknya. Matanya menatap tajam ke arah teman-temannya, penuh tekad. "Kita harus cari dia sekarang juga," ucapnya dengan nada tegas yang tidak memberi ruang untuk keraguan.

Pandu, yang biasanya selalu tenang, mengangguk setuju. "Kita harus bagi tim," katanya dengan suara mantap. "Kalau ini ada hubungannya dengan penguntit itu, kita nggak bisa menyepelekan. Semakin lama kita menunggu, semakin besar risikonya."

Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang