02. Penyatuan yang Terpisah

45 16 0
                                    

Pagi itu, Panji duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke langit-langit kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu, Panji duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke langit-langit kamar. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian semalam di kafe. "Pandu... anak Pak Daniel?" gumamnya pelan. Rasanya sulit dipercaya. Selama ini, Pandu tak pernah berbicara tentang keluarganya, apalagi soal Papanya. Ada sesuatu yang dalam dan penuh misteri di balik hubungan mereka, yang membuat Panji semakin penasaran.

Saat ia bergegas menuju studio Gilang, pikiran tentang Pandu dan Pak Daniel tak kunjung hilang dari benaknya. Di studio itu, Panji tahu ia harus menceritakan semuanya pada Gilang.

Ketika tiba, Gilang sudah lebih dulu ada di sana, sibuk dengan lukisannya. Ia menyapukan kuas besar ke kanvas, warna-warna cerah menghiasi permukaannya. Melihat Panji yang melamun, Gilang langsung tahu ada yang tak beres.

“Kamu kelihatan bingung, Ji,” kata Gilang sambil meletakkan kuasnya dan menatap Panji penuh perhatian. “Ada apa? Kamu nggak seperti biasanya.”

Panji menghela napas, masih mencari kata-kata yang tepat. “Pandu itu anaknya Pak Daniel? Aku baru tahu semalam di kafe. Aku kaget banget.”

Gilang menoleh, matanya melebar karena terkejut. “Oh, masalah yang kemarin itu? Aku pernah dengar dia punya anak, tapi nggak pernah menyangka kalau itu Pandu.”

Panji mengangguk. “Aku juga nggak percaya. Pandu nggak pernah cerita tentang Papanya. Sepertinya ada yang terjadi di antara mereka. Aku merasa ada jarak besar di antara mereka, sesuatu yang Pandu nggak mau bicarakan.”

Gilang menatap Panji sejenak, lalu mengambil kursi dan duduk di hadapannya. “Kamu merasa ingin melakukan sesuatu, ya?”

Panji menghela napas panjang. “Aku kepikiran, mas... gimana kalau aku coba menyatukan mereka? Maksudku, kalau memang ada masalah di antara mereka, mungkin aku bisa membantu mereka menyelesaikannya.”

Gilang menyandarkan tubuhnya ke kursi, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Menyatukan keluarga yang terpisah itu nggak mudah, Ji. Kamu tahu itu, kan? Kadang masalahnya lebih rumit dari yang terlihat. Apalagi kalau sudah melibatkan perasaan dan luka lama.”

Panji menggigit bibirnya, merasakan dilema yang mulai muncul. “Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa diam saja, mas. Pandu itu temanku, dan kalau aku bisa membantu memperbaiki hubungan mereka, aku mau coba.”

Gilang mengangguk, mengerti niat baik Panji. “Kalau itu memang keinginanmu, aku dukung. Tapi, kamu harus siap kalau ternyata tidak seindah yang kamu harapkan.”

Sore harinya, setelah selesai kuliah, Panji menjalankan rutinitasnya sebagai asisten pribadi Pandu, pekerjaan yang sudah dijalaninya selama sebulan terakhir. Pandu menjemputnya di depan kampus, dan mereka melaju menuju rumah Pandu yang berada di pinggiran kota. Di dalam mobil, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Panji sibuk dengan pikirannya sendiri, mencari cara terbaik untuk memulai percakapan tentang Papa Pandu.

Sesampainya di rumah, Panji mulai sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya—membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan makan malam. Namun, kali ini, ada perasaan tak nyaman yang terus mengusiknya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menanyakan hal yang selama ini mengganjal di hatinya.

Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang