• Happy Reading & Enjoy! •📍Satya Radja, Kota Angin. 06.15 WIB.
Pagi hari pada pertengahan bulan Juli, tepatnya hari pertama Hairyn masuk SMA. Gadis kecil berwajah lugu itu membenahi kerudungnya, sembari duduk dengan tenang di kursi samping kemudi.
"Anak Ayah udah cantik banget, kok," ucap Khadafy, sang ayah tercinta. Hairyn hanya bisa tersenyum malu menanggapi hal tersebut.
"Temen SMP Eca ngga ada yang ke SMANSA, Yah. Eca takut ngga punya temen nanti," adu Hairyn kepada Khadafy. Eca, adalah plesetan dari Nafeesya, nama tengah Hairyn. Itu panggilan untuk keluarga saja.
"Dulu Ayah udah pernah di posisi kamu. Pertemanan dalam lingkup SMA memang penting sekali, tapi asal kamu berbuat baik dengan siapapun, pasti nanti ada aja yang bakal nempel ke kamu," jelas Khadafy sembari mengendarai mobil dengan begitu tenang. Jalanan tidak begitu sepi, namun terasa begitu aman dan nyaman.
"Dulu waktu sama Om Rava, Ayah duluan atau Om Rava duluan yang nyapa?" Tanya Hairyn pada akhirnya, penasaran dengan masa muda Ayahnya yang begitu bewarna kedengarannya.
"Om Rava itu terkenal banget dulu, tapi Ayah ngga kalah terkenal, bahkan Om Rava duluan yang nyapa Ayah dan ngajak Ayah jalan bareng waktu masa ospek," jelas Khadafy, mengingat masa-masa kuliahnya dahulu. Masa paling berharga sepanjang hidupnya.
"Tapi kok cuma Ayah yang nikah, Om Rava ngga nyusul?" Tanya Hairyn lagi, Khadafy dibuat tertawa pelan mendengarnya.
"Dulu Om Rava banyak ceweknya, sampe sekarang bingung tuh mau nikah sama siapa, saking banyaknya pacarnya dulu," jelas Khadafy, sebisa mungkin membuat sebuah candaan mengenai kisah cinta Rava yang berakhir tidak mengenakkan.
Hairyn mengangguk mengerti, tidak lagi penasaran dengan kisah hidup Ayahnya. Mata kecilnya memperhatikan jalanan yang terlihat mulai panas. Simpang lima, alternatif jalan terbesar di kota memang selalu ramai, tidak heran jika ramai pengendara motor berjaket hitam muncul dari salah satu gang menuju satu arah dengan mobil Ayahnya.
"Nanti mau ikut beli mesin cuci baru ngga? Bunda bilang ke kamu kan kalau mesin cuci rumah lagi rusak?" Tanya Khadafy tiba-tiba, menggoyahkan atensi Hairyn dari gerombolan pengguna motor dengan jaket hitam itu.
"Ah, iya, kemarin Eca sama Bunda meras baju manual. Tapi kayanya kalau beli bareng Ayah sama Bunda, ngga dulu deh," balas Hairyn, ia kembali fokus pada para pengendara motor itu.
"Kenapa? Padahal Ayah mau sekalian ajak kamu jalan-jalan," tanya Khadafy, memutar mobilnya ke belokan terakhir menuju sekolah anak bungsunya.
"Yang ada Eca jadi nyamuk lagi," balas Hairyn telak membuat Khadafy terkekeh kencang.
Hairyn patah fokus saat berhenti di lampu merah terakhir sebelum sampai di sekolahnya. Para pengendara motor berjaket hitam itu juga berhenti menunggu lampu merah berganti hijau. Namun, yang membuat Hairyn patah fokus adalah, ada kakaknya yang juga tergabung pada gerombolan itu.
"Ini itu bentuk keharmonisan keluarga kita, Eca. Seharusnya kamu bersyukur keluarga kita masih harmonis sampai sekarang," jelas Khadafy, ia menatap anaknya yang terlihat sangat fokus pada segerombolan pengendara motor yang mengepung mobilnya sembari menunggu lampu merah.
Ah, ada anak sulungnya yang berhenti didepan sana. Memimpin segerombolan itu.
"Kak Asya belum kapok juga ya, gabung geng begini," ucap Hairyn mematahkan topiknya dan juga Ayahnya pada hari ini. Khadafy hanya bisa menghela nafas menanggapi hal itu. Meski sudah berulang kali memberitahu anak sulungnya mengenai bahayanya geng motor ini, namun tetap saja yang namanya anak cowok, perlu kebebasan tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE
Teen Fiction"Diluar bahaya. Pulang, atau lo mati." "Dengar baik-baik, siapa pun yang berani ganggu orang paling berharga dalam hidup gue, akan mati." Huang Jean memegang kendali Blaze dengan tangan besi. Dingin dan kejam, reputasinya membuat siapa pun gemetar k...