9

372 27 2
                                        

"sya mau pulang bareng ga?"

"Gue bawa motor sendiri.." dengus Masya kesal. Dia tau benar dari siapa suara itu berasal.

"Ah ya sudah kalo gitu gue duluan ya" pamit Steven dengan rikuh. Entah sudah berapa ratus kali pemuda itu mengajak Masya pulang bersama namun semuanya di tolak mentah-mentah oleh Masya. Baru di ajak pulang bersama saja sudah di tolak apalagi di ajak jalan! Haduh.. sepertinya bukan cuma di tolak tapi juga di maki-maki.

Namun semakin sering pemuda itu di tolak semakin dia merasa tertantang! Steven memang sudah lama menaruh perhatian kepada Masya, namun Masya tidak pernah membalas perhatiannya.

Lelaki itu memang tampan. Raut wajahnya artistik seperti patung pahatan Maikel Angelo. Tubuhnya tinggi atletis dengan otot-otot menyembul dari balik baju sekolahnya.

Dia salah satu pemain basket andalan sekolah mereka. Banyak siswi dari sekolah nya yang ingin menjadi pacarnya. Tapi Steven mengincar Masya, spesies langka di sekolah mereka.

Di mata Steven Masya selalu tampak menarik, bahkan dari saat pertama Steven melihat gadis itu. Masya tidak seperti gadis-gadis lain di sekolahnya atau bahkan di kotanya. Tak ada bandingannya bagi Steven. Gadis cantik, energik, dan penuh perlawanan meminta untuk di taklukkan begitulah kira-kira penilaian Steven terhadap Masya.

Tidak seperti Gita yang manis tapi cengeng. Loyo. Janganlah membela haknya sebagai seorang perempuan setiap pelajaran olahraga saja Gita selalu mengeluh. Baru kegerahan saja dia sudah mengomel. Huh.. payah.

Lihatlah Masya. Sudah wajahnya cantik, pemberani lagi! Dia selalu mengambil apa yang menjadi haknya. Tak peduli apapun yang akan di hadapinya.

Tidak heran jika Masya menjadi gelanggang olahraga pelajar mulai dari bela diri sampai catur, dia lah jagonya. Dan pada cabang olahraga catur Masya mencapai puncak prestasinya. Otaknya yang encer juga instingnya yang kuat bisa dengan mudah membaca pergerakan lawannya. Dan menyiapkan strategi yang jitu untuk mengalahkan lawannya.

"Tentu saja" cibir Riri, rival bebuyutannya. Setelah Masya berhasil mengalahkannya di final bela diri judo di sekolah. "Habisnya dia bukan perempuan sih!"

Untuk kelancarannya mengucapkan kata-kata itu, Masya menghadiahkan sebuah tamparan yang membuat Riri harus berkata dua kali sebelum berkata lagi. Dia terpaksa menyimpan saja dendamnya di dalam hati. Dan menusuk Masya dari belakang bila ada kesempatan.

Masya memang bukan gadis yang terlalu feminim. Dia sebenarnya tidak terlalu suka memakai rok, tidak suka berdandan. Dia menyukai hal-hal simpel. Rambut hitam panjangnya sering kali di biarkan terurai atau hanya di kunci ekor kuda. Namun itu menjadi daya tarik tersendiri terkhususnya bagi para kaum Adam di sekitarnya.

Begitu banyak pemuda yang menyukainya. Mulai dari sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan seperti Steven yang selalu mengajaknya pulang bareng sampai Bryan yang nekat datang ke rumah Masya setiap malam minggu. Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil mencuri perhatian Masya.

Masya tau ada yang berbeda darinya. Dia tidak suka jika ada lelaki yang mendekatinya. Sebagai seorang remaja yang sedang dalam masa pubertas wajar jika remaja seusianya yang sudah punya pacar. Tapi tidak dengannya, Masya begitu risih jika ada lelaki yang terang-terangan memberikan perhatian lebih kepada dirinya. Masya akan merasa sangat tidak nyaman jika ada yang menjodoh-jodohkannya dengan seorang laki-laki. Seperti yang sering di lakukan mama, dia akan memilih pergi untuk menghindari ketidak nyamanan itu.

Masya tidak membenci laki-laki, dia senang berteman dengan mereka. Tapi jika hubungan lebih dari teman Masya pun tidak tau, dia tidak pernah tertarik pada lelaki manapun yang pernah di temuinya.

Setiap kali memikirkan urusan asmara Masya selalu teringat kepada gadis yang di temuinya di taman. Aneh! Ini pertama kalinya Masya merasa ada seseorang yang begitu menarik!

Setiap kali teman-temannya membicarakan soal cinta Masya lebih banyak diam dan menjadi pendengar. Sangat wajar jika remaja seusianya mulai penasaran dengan hal-hal berbau seksual. Beberapa teman lelakinya bahkan blak-blakan bahwa mereka suka menonton video porn dan mempraktekan apa yang mereka tonton dengan pacarnya.

"Gila sih goyangan si Sinta itu gini banget!!" Ujar Rangga, sambil mengacung-acungkan dua jempolnya. Nada bicaranya berapi-api seakan dia sedang berpidato penerimaan piala karena telah memenangkan sebuah pertandingan.

"Yah kalo gua sih kemaren sama si Alexa cuma cipokan doang, ga mau dia kalo sampai di ajak cek'in" gerutu Rega sedikit dongkol karena pacarnya tidak mau melayani hasratnya.

"Hahaha dasar payahhhh !!" Seru teman-temannya yang lain menimpali.

"Nah lu gimana sya udah dapat gebetan belum?"

Mendengar pertanyaan itu Masya hanya bisa tersenyum tipis.

"Gue belum Nemu yang pas aja sih" jawab Masya santai.

"Lah gue kira lu lagi jalan sama si Steven sya?" Tanya Roby heran. Karena beberapa kali dia melihat Masya sedang mengobrol dengan Kaka kelas itu.

"Kagak.. dia aja yang terus nguber-nguber gue, gue mah sebenarnya kagak mau"

"Ohhhhh!!" Kini di timpali dengan ber-oh ria oleh teman-temannya.

Namun di antara teman-temannya ada satu mata yang menatap Masya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Tatapan penuh curiga. Dan kecurigaannya akan terbukti di kemudian hari. Saat Masya terang-terangan mengakui perasaannya. Dan saat hari itu tiba dia harus mengubur dalam-dalam perasaannya untuk gadis itu.

"Eh sya itu bukannya kaka yang kemaren ya?" Seru Kevin. Jarinya menuding ke sebrang jalan.

Di sebrang jalan itu Masya melihat Clara yang tengah membawa beberapa barang dan sebuah tas ransel di punggungnya.

Tanpa banyak bicara Masya membelokkan motornya ke arah Clara.

"Mau kemana kak?"

Clara yang terkaget-kaget hanya diam tidak menjawab pertanyaan Masya. Lagian siapa orang ini? Tanya-tanya mau kemana segala. Tapi jauh di dalam hatinya Clara merasa begitu familiar dengan suaranya.

Masya pun membuka helmnya. Seketika rambutnya yang panjang itu berhamburan.

"Ah kamu..."

"Hehe Kaka mau kemana?"

"Saya mau pulang"

"Aku antar ya?"

"Tidak. Saya bisa pulang sendiri" sergah Clara ketus.

"Cuek banget ka.." lirih Masya sendu. Ini adalah pertama kalinya dia mendapat penolakan seperti ini.

Melihat raut wajah Masya yang seperti menahan tangis tak urung membuat Clara di dera rasa bersalah. Mungkin dia terlalu berlebihan. Kenapa pula harus menolak seseorang yang berniat baik ingin mengantarnya pulang?. Kenapa pula harus takut toh yang ingin mengantarnya pulang adalah seorang gadis? Tidak akan ada tetangga yang akan menggosipkannya yang bukan-bukan. Tidak seperti saat dia di antar oleh laki-laki.

"Ya sudah ayo.."

"Hah?"

"Katanya mau mengantar saya pulang"

"Eh iya ka"

Hari itu adalah hari yang paling bersejarah untuk Masya. Hari dimana dia bisa duduk begitu dekat dengan Clara. Merasakan tubuhnya yang sesekali bergesekan dengan tubuh Clara menimbulkan getaran pada hatinya yang tidak pernah di rasakannya sebelumnya. Membuat perasaannya semakin mengakar, menancap kuat ke dalam sanubarinya.

Sebaliknya untuk Clara secara tidak sadar dia sudah membiarkan Masya masuk kedalam kehidupannya. Membuka peluang untuk gadis muda itu merebut hatinya.

Aku, kamu dan logika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang