"kak, nama kamu Clara jesslyn kan?" Tanya Masya tiba-tiba. Suara berbaur dengan desingan suara motor, tidak terlalu jelas.
"Hah apa?!"
"NAMA KAMU CLARA JESSLYN KAN?" Kali ini dia berteriak, suaranya bersaing dengan deru mesin motor bebeknya. Namun kali ini suara itu terdengar cukup jelas di telinga Clara.
"KO TAU?!"
"Hahaha rahasia.. aduhhh..." Masya tertawa lebar. Namun tawa itu berganti menjadi aduhan saat Masya merasakan bagaimana ganasnya cubitan Clara menyerang pinggangnya. Rasa panas dan perih di bekas cubitan Clara tidak ada apa-apanya di banding kebahagiaan Masya malam itu.
Bintang gemintang bertaburan di gelapnya langit malam ini. Bulan sabit pun menggantung indah menjadi pelengkap malam Minggu.
Di tengah jalan Masya menghentikan motornya di depan gerobak pedagang kaki lima.
Clara terheran-heran melihat Masya yang menghampiri Abang pedagang. Ah, mungkin Masya mau membeli martabak pikir Clara menebak-nebak. Perkiraannya memang tak salah namun juga tidak tepat!
"Kak mama sama orang di rumah suka martabak apa?"
"Bunda suka martabak manis kalo arum sama ayah suka martabak telor " jawab Clara tanpa pikir panjang. Dia tidak menyangka gadis muda itu akan bertanya seperti itu kepada dirinya.
Lebih kaget lagi saat Masya menyerahkan satu keresek martabak ke tangannya saat mereka sampai di depan rumahnya. Awalnya Clara menolak namun Masya memaksa.
"Itu buat cemilan sambil nonton TV" kilah Masya sambil tersenyum. Lalu melajukan motornya menjauhi Clara yang masih terpaku di depan rumah.
Malam itu keluarga Clara menikmati martabak itu di selingi canda tawa khas keluarganya. Di tengah-tengah kehangatan keluarganya ada rasa mengganjal di hati Clara.
Dia memang belum pernah berpacaran dengan seorang pun sampai saat ini. Namun dia juga merasa bahwa pendekatan yang di lakukan Masya terlalu intens. Mungkin tidak akan aneh jika yang mendekatinya seorang pemuda, tapi yang menggangu pikiran Clara karena yang mendekatinya seorang gadis!
Gadis yang bahkan masih memakai seragam SMA. Bocah yang lebih muda beberapa tahun darinya. Tawa dan sikap kekanakan Masya masih sangat segar dalam ingatannya. Hingga tanpa sadar Clara tersenyum mengingatnya.
"Aneh" pikirannya.
"Kaka kenapa ko senyum-senyum sendiri kayak gitu?" Tanya Arum heran.
"Eh! Siapa juga yang senyum-senyum rum" kilah Clara cepat. Di masukannya sepotong martabak telor ke dalam mulutnya. Hanya untuk menutupi salah tingkahnya yang ketahuan sedang memikirkan hal yang tidak-tidak!
Hal yang tidak-tidak?!
Seketika Clara merasa was-was dengan pikirannya sendiri. Yang di pikirkannya adalah seorang yang berkelamin sama seperti dirinya. Sudah gila kah dia sekarang?
Apa kata ayah bunda jika mereka tau kalau putri sulungnya sedang memikirkan wanita lain?
Apa kata teman-temannya nanti jika mereka tau dia tidak normal?
Di tatapnya wajah bundanya yang tahun ini memasuki usia empat puluh empat tahun itu. Betapa akan kecewa nya hati perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu jika benar dia sakit?
Clara bergidik ngeri. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri. Dia takut.
Rasa cemasnya pada apa yang akan terjadi nanti membuatnya tak berselera lagi untuk melanjutkan makan. Apalagi dia tahu betul jika martabak yang di makannya di belikan oleh gadis yang baru saja mengusik pikirannya."Mau kemana ka?" Tanya bunda. Saat melihat Clara bangkit dari kursi.
"Ke kamar bun. Rara mau bersih-bersih dulu"
"Lho ini kan martabaknya masih banyak ka!?"
"Rara kenyang bun, mau istirahat. Cape banget hari ini" lirih Clara sambil berjalan menjauhi meja makan.
"Apa Kaka sakit ya Bun? lesu gitu keliatannya" Aji bertanya kepada istrinya. Yang di tanya hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak tahu.
"Nantilah bunda tanyain dia kenapa.." ucap bunda setelah menelan martabak yang tadi di kunyahnya.
Malam itu bunda memang masuk ke dalam kamar Clara tapi di lihatnya anak pertamanya itu sudah terlelap.
Di sentuhnya kening Clara hati-hati dengan punggung tangannya.
"Tidak panas.." batinnya.
Mungkin benar Clara hanya kecapean saja. Apalagi akhir-akhir ini dia begitu sibuk dengan kuliahnya. Di ambilnya buku yang tergeletak di samping kepala Clara lalu di letakkan di meja belajar.
Di usapnya sampul buku yang bergambar organ-organ manusia itu. Senyum mengembang di bibirnya.
Sebentar lagi anaknya akan menjadi dokter. Begitu besar harapan nya terhadap Clara, masa depan putrinya harus lebih baik! Jangan seperti dia yang hanya seorang tukang kredit perabotan atau seperti ayahnya yang seorang mandor pabrik. Bunda ingin mengorbitkan martabat keluarga mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Biar jangan di hina orang lagi!
Clara dan arum lah harapannya. Terlebih lagi pada Clara putri sulungnya. Dia harus jadi dokter tidak boleh tidak. Bunda ingin terhormat di hari tuanya. Biarlah sekarang dia dan suaminya bekerja keras mengumpulkan rupiah demi rupiah supaya kedua anaknya bisa melanjutkan studinya.
Dari dulu bunda begitu keras kepala anak-anaknya. Dari mulai pergaulan, apa yang boleh dan tidak boleh di lakukan. Kemana saja mereka boleh pergi. Berteman dengan siapa saja. Dia yang menentukan! Semua itu di lakukan agar anak-anaknya fokus pada sekolahnya. Dia tidak akan pernah membiarkan penyakit bernama asmara mengganggu proses menuju keberhasilan anak-anaknya.
Bunda juga tidak ingin jika anak-anaknya terseret arus pergaulan. Apalagi sampai membuat malu dan mencoreng nama keluarga, pokoknya mereka harus menjadi kebanggaannya!
Bahkan jika suatu saat nanti anak-anaknya harus menikah dengan seorang pria. Pria itu harus memenuhi semua syarat yang telah dia tentukan.
Lagi-lagi semua itu di lakukan dengan niatan masa depan putrinya harus lebih baik! Lebih cerah! Jangan seperti dirinya dahulu. Keluar SMA langsung menikah. Langsung punya anak pula!
Suaminya belum mapan. Jangankan untuk menabung masih bisa makan saja pun sudah untung! Sampai-sampai dia sendiri harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan.
Dia tahu yang terbaik untuk anak-anaknya!
Beruntunglah suaminya tidak terlalu ikut campur dalam urusan mendidik anak-anaknya. Dia selalu manut pada apa yang di lakukan istrinya. Dia tahu benar bagaimana sikap keras kepala sang istri dalam hal didik mendidik. Dia tidak ingin terlalu banyak bertengkar. Dan hanya menasihati saja jika di rasa apa yang di lakukan sang istri sudah keterlaluan.
Sebagai seorang suami yang sudah menemani istrinya selama lebih dari dua puluh enam tahun. Dia tahu betul apa yang telah di lewati istrinya sampai bersikap keras seperti itu. Asam garam kehidupan lah yang membentuknya jadi seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, kamu dan logika
Teen Fiction"I can't sya, aku ga bisa meneruskan lagi kisah kita... kamu sudah bukan tujuan ku lagi" Suara Clara yang lembut itu seperti ribuan anak panah yang baru terlontar dari busurnya. Menusuk melalui telinga hingga menembus ke hati Masya. Rahangnya mengat...