"Dok, ada pasien coma" lapor suster Nia sambil menyodorkan sebuah kartu status "dikirim dari poli".
Clara meletakkan botol minumnya di atas meja lalu meraih kartu status dari tangan suster Nia. Di bacanya dengan seksama sambil bergegas menghampiri pasien yang tergolek tak sadarkan diri di atas brankar. Di sampingnya ada seorang gadis yang mengikuti brankar itu dari belakang.
"Adik tolong tunggu di luar ya," gadis itu mengangguk lemah, di tatapnya brankar yang membawa ibunya masuk ke ruang ICU dengan jerih. Dia tahu jikapun dia masuk hanya akan menghalangi para dokter yang sedang bertugas saja.
"Dok, tolonglah mama saya.." pinta gadis itu di sela tangisannya saat Clara akan memasuki ruangan. Untuk sepersekian detik Clara terpaku menatap gadis yang sedang terduduk lesu di kursi tunggu itu. Jika saja maskernya di buka semua orang di sana akan tahu betapa merahnya kulit wajahnya saat ini.
"Akan kami usahakan"
"Terimakasih dokter.." gadis itu memaksakan tersenyum. Namun bukan senyuman manis yang dahulu sering Clara lihat. Senyuman itu begitu getir. Beruntunglah sepertinya Masya tak mengenalinya.
"Leukimia..." Lirih Clara setelah selesai pemeriksaan. Di tatapnya pasien yang masih tak sadarkan diri itu. Barulah Clara sadari bahwa wanita paruh baya itu sekilas mirip dengan Masya. Ah... Gadis itu.
Sudah lebih dari satu tahun. Dan kini mereka kembali di pertemukan lagi oleh takdir. Seperti ada benang merah yang selalu terhubung antara mereka berdua. Mempertemukan mereka lagi dan lagi, sia-sia sudah Clara menghindar. Dia takkan pernah menang melawan semesta.
Clara berjalan cepat di lorong rumah sakit, sesekali dia menimpali suster atau keluarga pasien yang menyapanya. Malam ini dia sudah berjanji akan datang ke acara keluarga. Ah, mungkin lebih tepatnya ajang pamer di dalam keluarga. Persaingan tentang pendidikan, karir, kesuksesan dan masih banyak hal lainnya yang biasanya jadi sebuah pembahasan yang menjadi perbandingan antar anggota keluarga. Sudah sangat sering Clara di pamerkan bunda kepada seluruh keluarga saat anaknya telah lulus menjadi seorang dokter. Jika sudah seperti itu Clara hanya akan diam saja tersenyum. Meskipun dia sendiri tak pernah suka di perlakukan seperti itu tapi dia pun tak tega jika harus menghancurkan kesenangan bunda.
"Mau kemana dok buru-buru sekali?" Tanya dokter Nita.
"Ah, biasa dok saya ada keperluan. Mari dok..." timpal Clara seadanya. Langkahnya sama sekali tidak memelan, sengaja. Clara tidak ingin terlalu banyak berbicara dengan dokter Nita. Dia tau betul di bibir dokter Nita segala sumber gosip akan gampang sekali menyebar ke seluruh gedung. Itulah sebabnya mengapa Clara cukup menjaga jarak dengan dokter umum itu. Dia tidak ingin menjadi bahan gosip!
Di sore itu hujan turun dengan derasnya. Awan hitam yang sudah menggayut sejak siang hari akhirnya memuntahkan isinya. Terpaksa Clara menghentikan langkahnya di ambang pintu. Dia tidak mungkin berbasah-basahan menembus hujan untuk sampai ke parkiran.
"Ga bawa payung dok?"
"Woahhhhhhh!!!!" Pekik Clara. Kaget. Melihat Clara yang melompat ke depan dan hampir terjerembab reflek sepasang tangan memegang pinggul Clara. Tubuh Clara yang hanya 155cm itu hampir tenggelam di balik tubuh tinggi yang memeluknya erat dari belakang.
"Ah maaf dok.." ucap Masya rikuh. Di lepaskannya lengannya dari pinggul Clara. "Ini. Pakailah payung ini" sebelum pergi gadis itu sempat meletakkan sebuah payung lipat berwarna biru di tangan Clara.
Seperti tersihir Clara hanya diam mematung di depan pintu lobi rumah sakit. Kejadian itu begitu cepat. Namun dampak yang di timbulkan dari kejadian itu begitu dahsyat. Terutama untuk Clara dan Masya.
Berhari-hari setelahnya Masya tidak dapat melupakan kejadian di lobi tempo hari. Selera makannya hilang hampir semua makanan yang masuk ke mulutnya rasanya tidak enak. Tidur pun rasanya tidak terlalu nyenyak hampir setiap kali matanya terpejam bayangan Clara selalu datang. Namun malangnya mau tak mau Masya harus beberapa kali bertemu Clara, karena Clara lah dokter yang bertugas untuk memeriksa kondisi mama.
Setiap kali bertemu kecanggungan selalu menyelimuti mereka. Rasanya tidak enak. Jika bukan karena Masya sangat ingin mengetahui keadaan mamanya ingin sekali Masya kabur dari ruangan setiap kali dokter Clara sedang memeriksa.
Clara pun tau Masya ingin menghindarnya. Dia merasakan itu! Dia pun merasa tidak nyaman setiap kali harus berurusan dengan Masya. Apalagi melihat sikap gadis itu yang selalu menunduk setiap kali berpapasan dengannya.
"Hum.... Kamu nanti istirahat makan siang datang ke ruangan saya" Clara menyeringai kecil saat kepala Masya yang sejak tadi tertunduk kini tegak. Sungguh Clara tidak pernah suka di abaikan.
"Ada apa dok?"
"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu" mendengar suara Clara yang datar dan tenang Masya tidak dapat menolak. Lalu gadis itu mengangguk sebagai jawaban.
Di lihatnya punggung Clara hingga punggung itu menghilang di balik pintu. Ada perasaan cemas dan penasaran hinggap di hatinya. Di lihatnya jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit. Ah, setidaknya dia memiliki waktu untuk menyiapkan diri.
Sepanjang menjelang makan siang Masya tidak bisa duduk dengan tenang. Berjuta tanya menghantui pikirannya apalagi mengingat nada bicara dokter Clara tadi. Masya bergidik mengingat betapa datar dan tenangnya nada itu seakan membiusnya untuk tidak bisa menolak.
Berpuluh-puluh kali gadis itu melirik jam dinding dengan cemas. Sia-sia sudah dia melarikan diri dengan membaca novel dan bermain game di ponsel yang selalu di gemari nya. Dia bahkan tidak bisa fokus, dokter Clara begitu melekat dalam kepalanya.
Namun mau tak mau waktu makan siang akhirnya tiba juga. Jantungnya terasa melompat-lompat saat kakinya melangkah menuju ruangan dokter Clara.
Beberapa saat Masya mematung di depan pintu ruangan itu. Mengumpulkan keberanian. Gemetar tangannya mengetuk pintu.
"Masuk" Masya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya di bukanya pintu dengan ragu-ragu. Setengah tidak sadar kakinya melangkah menuju ruangan itu tak lupa di tutupnya lagi pintu itu. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Matanya terpaku menatap ujung sepatu ketsnya yang berwarna hitam. Membuat Clara jengah melihatnya.
"Silahkan duduk" tunjuk Clara pada kursi di depan meja kerjanya. Masya mengangguk lalu mendudukkan dirinya, sedang tatapan yang semula terpaku pada ujung sepatu kets kini beralih pada corak kayu tak beraturan yang di buat bahan untuk meja kerja dokter Clara.
"Mau sampai kapan kamu menunduk seperti itu?" Tanya Clara gemas. Namun Masya membisu, gadis itu tidak tau harus berkata apa.
"Sebegitu menakutkan ya saya buat kamu.." lirih Clara, tersenyum getir. Berharap dengan cara ini dia akan bisa mencairkan suasana yang tidak nyaman ini.
"Tidak dok, saya hanya....." Masya tidak dapat menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba otaknya encernya menjadi beku saat berhadapan dengan dokter Clara.
Clara tersenyum. Lihatlah! Gadis yang dulu mendekatinya dengan begitu berani dan percaya diri kini tengah salah tingkah di hadapannya.
"Saya hanya ingin mengembalikan payung ini" Clara mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna biru dari laci meja kerjanya lalu meletakkannya di atas meja.
"Terimakasih, sudah meminjamkan saya payung ini hingga saya tidak perlu kehujanan berjalan ke tempat parkir. Masya..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, kamu dan logika
Fiksi Remaja"I can't sya, aku ga bisa meneruskan lagi kisah kita... kamu sudah bukan tujuan ku lagi" Suara Clara yang lembut itu seperti ribuan anak panah yang baru terlontar dari busurnya. Menusuk melalui telinga hingga menembus ke hati Masya. Rahangnya mengat...