Masya melangkah dengan pasti. Dagunya sedikit mendongak wujud dari rasa percaya diri yang tinggi. Air muka yang keras dan tatapan matanya yang tajam menjadi perpaduan sempurna dengan parasnya yang rupawan. Wanita yang angkuh dan dingin.
"Hai semuanya ini Bu Masya dia yang akan menjadi manajer dan mengepalai tim ini" suara pak Bram yang berat itu seperti mengapung di udara. Semua mata yang berada di ruangan itu tertuju pada Masya yang berdiri di sebelah pak Bram.
"Beliau ini sebelumnya bekerja di kantor pusat dan baru di pindahkan ke kantor kita hari ini"
Mata Masya nyalang menatap satu persatu orang yang berada di ruangan itu.
Nafasnya tercekat saat penglihatannya berpapasan dengan mata seorang gadis berkemeja pink yang juga tengah menatapnya.
Mata itu yang melempar Masya pada kenangan tujuh tahun yang lalu. Kenangannya bersama Clara.
Namun sedetik kemudian dia sadar bahwa gadis muda di hadapannya itu tidak mungkin Clara. Usianya dengan Clara terpaut enam tahun, jika usianya sekarang 26 maka usia Clara saat ini 32 tahun.
Masya meneliti penampilan gadis itu. Dia terlihat cukup modis berbeda sekali dengan clara-nya yang sederhana. Juga dia yang terlihat masih muda Masya mengira usia gadis itu mungkin di bawahnya.
Sekilas Masya melihat gadis yang di tatapnya itu tampak rikuh. Gadis itu menundukkan pandangannya tak sanggup menatap balik bola mata Masya.
"Nah, selamat datang Bu Masya semoga ibu betah kerja di sini" Masya tersenyum lantas menyambut jabatan tangan pak Bram.
"Terimakasih pak ..."
Sepanjang hari Masya tidak bisa benar-benar konsentrasi pada pekerjanya, bayang-bayang gadis itu dan bayangan Clara silih berganti hadir di benaknya. Benar-benar mengganggu!
Tok...tok...tokk..
"Masuk" balas Masya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
"Ini beberapa file yang anda minta Bu.."
Mata Masya melirik pada si pemilik tangan yang baru saja meletakkan sebuah map berwarna merah merah di mejanya.
"Apa kamu sekertarisku?" Tanya Masya.
"Iya Bu.. saya sekertaris ibu" Masya mengangguk-angguk.
"Siapa namamu?"
"Gracia Bu" jawab gadis itu. Kepalanya tertunduk, menatap meja. Tak kuat jika bertemu dengan tatapan mata Masya yang seperti ingin mengulitinya.
"Maaf karena sepertinya saya tadi tidak menyimak penjelasan pak Bram dengan baik"
"Iya tidak apa-apa Bu... Apa ada lagi yang lainnya Bu?"
"Tidak. Terimakasih Gracia"
"Kalo begitu permisi Bu"
"Ya, silahkan.."
Masya menatap punggung Gracia yang menghilang di balik pintu. Tangannya bersedekah di dada. Jantungnya menari-nari tak karuan.
"Benar-benar persis" desahnya.
*******
"Sya... Lusa nanti kamu mau kemana?" Tanya papa.
"Hummm...." Masya mempercepat kunyahan lalu menelan daging ayam yang sedari tadi ada di mulutnya.
"Kenapa gitu pah?"
"Temenin papa ke acara perusahaan yuk!?" Pinta papa lembut.
Sejenak Masya hanya terdiam. Dulu jika ada apa-apa mama lah yang selalu menjadi perwakilan papa kalo-kalo ada acara seperti ini. Entah itu acara keluarga, acara perusahaan, atau apapun itu. Kini Masya tau alasan kenapa papa memintanya untuk makan malam bersama malam ini.
Setelah delapan tahun ini adalah pertama kalinya mereka makan malam bersama. Terasa ada yang kurang dari makan malam ini. Sosok yang dulu selalu duduk di sebelah papa. Yang selalu menuangkan nasi beserta lauk-pauknya ke atas piring.
"Iya.. nanti Asya usahakan datang ya". Papa tersenyum lembut, di tatapnya anak gadisnya itu lamat-lamat. Waktu terlalu cepat berlalu, rasanya baru kemarin dia mengantar istrinya tengah malam ke rumah sakit untuk persalinan. Sekarang anaknya sudah menjadi seorang gadis yang cantik. Menjadi kebanggaan keluarga.
"Terimakasih ya sayang.." setitik penyesalan selalu bersemayam di hatinya ketika melihat Masya. Dia terlalu banyak bekerja. Mempercayakan semua pengurusan putrinya kepada istrinya tanpa benar-benar tahu seperti apa putrinya. Apa makanan yang dia sukai? Hobinya? Tempat favoritnya?
Jika bisa waktu di putar kembali dia ingin berada di sisi putrinya dari awal masih kecil dulu. Mungkin dia bisa bermain sepeda bersama. Main game bersama. Melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang ingin putrinya tuju. Bertukar cerita di meja makan.
Ah, namun apa guna menyesali apa yang telah terjadi. Putrinya kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Wanita karir yang sukses nan cantik. Menjadi kebanggaannya.
Semua belum terlambat masih ada hari esok. Setidaknya esok dia akan menjadi seorang ayah yang akan lebih baik lagi. Menganti semua waktu yang hilang di masa lalu. Tekadnya.
"Gimana kantor baru kamu?"
"Begitulah pah, tidak ada yang istimewa"
"Lalu rekan-rekanmu?"
Uhukkk
Masya yang sedang minum pun tersedak. Air matanya menggenang. Juga hidungnya yang terasa perih.
Saat mendengar pertanyaan papa tiba-tiba saja wajah Gracia hadir di benaknya.
"Ahhh, biasa saja pah.. tidak ada yang spesial" desah Masya setelah dia merasa perih di hidungnya sudah membaik. Sedang papa kini diam-diam mengamati anak gadisnya itu. Dia tau ada sesuatu yang Masya sembunyikan tentang rekan kerjanya. Dia dulu pernah muda juga!
Sebenarnya dia selalu penasaran dengan kisah cinta putrinya tersebut karena tidak pernah sekalipun dia mendengar putrinya jatuh cinta. Dulu waktu Masya masih SMA dia sering membawa Masya untuk berkumpul bersama rekan-rekannya, banyak pula dari mereka yang membawa anak lelaki seusia Masya. Namun tanggapan Masya selalu acuh tak acuh terhadap mereka. Dingin.
Dulu pernah ada salah satu anak dari temannya terang-terangan menyukai Masya, hampir setiap minggu datang ke rumah. Bawa buah-buahan, bawa bunga, bawa martabak, setelah enam bulan pemuda itu menyerah untuk mengejar Masya. Jangankan mendapatkan respon yang baik, Masya malah hampir tidak pernah keluar kamar jika pemuda itu datang. Dia menghindar. Cerita itupun dia dapat dari istrinya. Topik yang hangat setiap kali pulang kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, kamu dan logika
Ficção Adolescente"I can't sya, aku ga bisa meneruskan lagi kisah kita... kamu sudah bukan tujuan ku lagi" Suara Clara yang lembut itu seperti ribuan anak panah yang baru terlontar dari busurnya. Menusuk melalui telinga hingga menembus ke hati Masya. Rahangnya mengat...