12

274 14 1
                                    

"gimana Ra?" Tanya Irma keesokan harinya saat mereka sedang menunggu dosen.

"Gimana apanya?"

"Itu lho, Andika. Yang kemarin ketemu"

"Dia baik" timpal Clara seadanya. Membuat Irma geregetan mendengar jawaban asal-asalan itu.

"Maksud ku, kamu merasa cocok ga sama dia? Atau dia masuk kriteria cowok idaman mu tidak?"

Clara menghentikan kegiatannya membuka-buka catatan. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Matanya menatap wajah Irma.

"Lalu kamu mau aku bagaimana ir? Aku belum bisa menilai seseorang yang baru sekali ku temui"

Irma menganggukkan kepalanya otaknya berusaha mencerna kata-kata Clara "Ah, iya-iya"

"Kalau begitu kalian harus sering bertemu!" tambah Irma. Senyumnya lebar memperlihatkan dua gigi gingsulnya dan lesung pipi yang menambah pesona gadis itu. Jika Clara laki-laki mungkin dia akan terpesona melihat senyuman manis itu.

"Jikapun sering bertemu belum tentu dia mau sama aku ir"

"Jangan merendah untuk meroket ya! Kamu tuh-" belum juga Irma menyesuaikan ucapannya. Dokter Arya dosen yang akan mengajar hari itu memasuki ruangan. Mau tak mau Irma menghentikan adu argumentasinya dengan Clara. Di dalam hatinya ada tanya kenapa Clara sekeras kepala itu.

Di liriknya Clara yang tengah sibuk membuka-buka catatannya. Seperti biasa wajah itu selalu serius ketika berurusan dengan materi pelajaran. Di lihatnya Clara yang sudah mulai mencatat. Lebih tepatnya merangkum apa yang sedang di ajarkan dokter Arya.

Heran. Kenapa Clara bisa serajin itu?

Dia saja sebenarnya malas ikut kuliah. Apalagi kuliah ilmu kedokteran jiwa. Dosennya nyentrik. Cara mengajar tidak enak. Membuat orang jadi mengantuk.

Bagaimana bisa dia bisa memikat pasien-pasien sakit jiwa yang datang ke tempat prakteknya. Orang normal saja bosan. Apalagi orang sakit.

Tetapi mungkin di sanalah letak kelainannya. Yang menjengkelkan untuk orang sehat, justru menyenangkan bagi orang sakit.

"Hari ini kita akan membicarakan gangguan seksual di bidang psikiatri," kata dokter Arya sambil mengenakan kacamata putihnya. "Yang pertama-tama akan kita bicarakan adalah homoseksualitas, yaitu kelainan hubungan seks baik secara fisis maupun psikis antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama"

Tangan Clara terhenti sejenak. Tidak di sengaja ingatan Clara melayang kepada gadis SMA yang akhir-akhir ini sudah tidak pernah di lihatnya lagi. Tiba-tiba saja Clara teringat raut  bahagia dari wajahnya saat malam gadis itu mengantarnya pulang. Serta membelikan satu kresek martabak berbagai rasa untuk dia dan keluarganya.

Gadis yang ceria. Asik. Tidak membosankan. Sepanjang perjalanan mereka malam itu Clara cukup terhibur dengan kelakar dan sikap jenakanya. Di dekatnya perasaan was-was Clara lenyap.

"Tidak menulis Ra?" Bisik Wisnu. Ketika di lihatnya Clara hanya menuliskan judulnya saja. Padahal dokter Arya masih terus memberikan kuliah.

Ternyata sambil kuliah pun ada saja yang memperhatikannya. Mengawasinya. Dan tiba-tiba Clara merasa takut.

Tahukah Wisnu apa yang sedang di pikirkannya?. Tahukah dia, jika mungkin salah seorang penderita yang sedang dokter Arya jelaskan ada di dekatnya?.

Clara menghela nafas. Terlalu keras hingga Irma dan Wisnu bisa mendengarnya.

"Are you okay?" Bisik Irma. Clara hanya mengangguk. Tangannya cepat menari di atas buku catatan. Berpura-pura mencatat tanpa mempedulikan wajah heran dua temannya itu.

Dia mendengarkan kuliah dokter Arya dengan sebelah telinga. Pikirannya sendiri melayang-layang entah kemana. Clara menyesal tidak duduk di tempat lain saja. Duduk di apit oleh Irma dan Wisnu malah jadi rikuh.

"Absen dulu Ra" Clara menerima daftar absensi dari tangan Wisnu. Di awasinya wajah Clara lamat-lamat. "Kenapa Ra? Ko ngelamun terus?"

"Ngantuk" jawab Clara asal. Di bubuhkannya tanda tangan di daftar absensi lalu memberikan daftar absensi itu kepada Irma.

Irma yang peka dengan buruknya mood Clara hari ini memilih untuk tidak meneruskan adu argumentasinya pagi tadi dengan Clara. Dia pun tidak terlalu banyak berbicara dengan Clara setelahnya. Dia tidak ingin memperburuk suasana hati Clara yang sudah kacau. Dia harus menunggu waktu yang tepat, apalagi jika dia ingin berbicara tentang Andika dengan Clara.

"Homoseksualitas bukan kelainan seperti psikosa. Seperti skizofrenia. Dimana penderitanya mengamuk menimbulkan keributan. Kegaduhan motorik sehingga orang di sekelilingnya tau, dia orang gila. Banyak kasus homoseksualitas di temukan pada orang yang kelihatan normal. Orang yang sehat. Bebas sama sekali dari gejala-gejala kelainan psikiatris. Secara sosial, mereka dapat menyesuaikan dengan baik di dalam masyarakat. Orang-orang ini pada umumnya termasuk golongan orang-orang intelek, menikah, punya anak dan punya kedudukan sosial yang baik dalam masyarakat, serta di terima di lingkungannya. Mereka di sebut kaum homoseksual yang laten, yang tersembunyi. Mereka dapat mengompensasikan kelainannya dengan baik, sehingga tidak mustahil mereka mendapat tempat yang terhormat di dalam masyarakat seperti orang-orang normal lainnya...."

Kalau orang lain bisa menutupi kelainannya, kenapa aku tidak? Pikir Clara muram. Kalau saja aku dapat memperoleh seorang suami... Punya anak.. punya kedudukan.. tidak mungkinkah aku juga berhasil meraih tempat yang terhormat di dalam masyarakat?

Kalau aku tidak memperlihatkan kelainan ku, kalau aku dapat menyimpannya baik-baik dalam relung gelap di hatiku sendiri... Kalau aku bisa mengelabui dunia, menikah dengan seorang laki-laki. Tidak bisakah aku menjadi wanita yang baik-baik, perempuan terhormat? Meskipun untuk itu aku harus menjual kebahagiaanku sendiri! Menikah dengan laki-laki yang tidak ku cintai!....

Sore itu saat Clara sedang menunggu angkutan umum di depan kampus. Tiba-tiba saja Andika muncul dan menawarkan tumpangan.

"Aku baru pulang dari kantor dan tidak sengaja melihatmu di sini" Andika memberikan penjelasan saat Clara bertanya mengapa Andika ada di dekat area kampus. Tidak seperti kemarin, kali ini Clara tidak menolak tawarannya terlalu keras. Dengan senang hati Andika mengelilingi mobil hanya untuk membukakan pintu untuk Clara. Gadis incarannya.

Menerima perlakuan itu Clara hanya sedikit tersenyum. Yang semakin membuat Andika semakin berharap bahwa mungkin Clara sudah mulai membuka pintu hatinya.

Dia terlalu hijau untuk mengerti bahwa Clara sedang memakainya untuk kompensasi.

Clara sedang melarikan diri dari seseorang. Seseorang yang sangat ingin di lupakannya. Clara ingin memindahkan perhatiannya yang di curi gadis itu kepada Andika.

Sesuatu keputusan yang akan sangat di sesali Clara di kemudian hari dimana akhirnya dia bertemu kembali dengan Masya, pertemuan tidak terduga. Di saat dirinya sudah menjadi seorang dokter. Di saat Clara menyadari bahwa perasaannya bukan hanya ketertarikan sepintas.

Aku, kamu dan logika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang