Masya mengintip dari jendela pesawat yang menyuguhkan pemandangan bandara Soekarno-Hatta.Hatinya bergejolak. Akhirnya setelah hampir tujuh tahun tinggal di negara Paman Sam dia pulang... Sedikit tak percaya kini dia kembali menginjakkan kaki di Nusantara.
Masih teringat jelas di benaknya saat dia pergi meninggalkan bumi Pertiwi untuk pertama kalinya. Dengan semangat dan penuh harapan masa depan. Kini dia sudah meraihnya, mengambil gelar S2 di salah satu universitas ternama di Amerika sana. Hasil kerja kerasnya terbayar lunas saat dia lulus dengan cumlaude dan nilai hampir sempurna. Dengan nilai IPK 3,9 Masya berharap bisa membuat papa cukup bangga atas pencapaiannya.
Saat keluar dari pesawat dan menuju ruang tunggu, kepala Masya menggeleng kekiri-ke kanan berharap melihat papa menunggunya di sana. Hampir patah karena sosok yang di cari tidak ada, Masya menyeret kopernya menuju pintu keluar.
"Neng Masya!!" Masya menghentikan langkahnya saat suara yang tidak asing memanggil namanya. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan. Mencari sumber suara.
Masya tersenyum melihat bapak-bapak berkemeja kotak-kotak berwarna biru menghampirinya.
"Mang Iwan" seru Masya.
"Iya neng, ini eumang"
Eumang adalah panggilan paman dalam bahasa Sunda. Masya terbiasa memanggil supir pribadi papa dengan panggilan tersebut.
"Sini-sini neng biar eumang aja yang bawa kopernya"
"Eh ga papa mang"
"Atuh eumang teh tau neng Masya cape abis naek pesawat dari Amerika, biar ga makin cape biar mang aja yang bawa ya" ujar mang Iwan.
"Ya sudah, terimakasih ya mang" Masya tersenyum, seraya memberikan kopernya pada mang Iwan.
Dalam perjalanan pulang Masya selalu menatap ke luar jendela mobil. Dia merasa takjub sudah banyak perubahan yang terjadi di negaranya. Dia membandingkan dengan saat terakhir kali dia melewati jalan itu. Sebelum gedung-gedung tinggi itu ada. Sudah banyak sekali pesawahan dan beberapa tanah kosong dahulu kini telah menjadi bangunan, baik itu rumah atau bangunan lainnya.
"Mang papa kemana?"
Mang Iwan tidak langsung menjawab. Dia memperhatikan raut wajah anak majikannya yang duduk di jok belakang dari kaca dasbor.
"Anu neng bapak sibuk"
"Ouhh"
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara deru kendaraan bermotor dan klakson beberapa terdengar mengisi sunyi.
"Setelah ibu tiada, bapak selalu bekerja neng. Jarang sekali bapa pulang ke rumah, bahkan bisa berbulan-bulan bapa ga pulang neng. Sekali nya pulang juga ga lama, cuma satu dua hari. Rumah sekarang teh sepi neng"
Hati Masya seperti di sayat sembilu mendengar penuturan mang Iwan. Terasa perih dan nelangsa. Setelah kepergian sang ibu hampir delapan tahun yang lalu membawa banyak perubahan kedalam hidupnya. Rumah yang dulunya ramai sekarang sudah ikut tiada, hubungannya dengan sang papa kian lama kian renggang. Karena dahulu ibunya adalah jembatan antara Masya dan sang papa. Setelah kepergiannya jembatan penghubung itu pun ikut tiada.
Masya menghela nafas panjang. Mengusir sesak, dan rasa perih. Satu tetes air mata meluncur ke pipi, segera dia usap dengan punggung tangan.
Dia harus kuat..
Dia tidak boleh menangis lagi..
Masya tidak mau ibunya bersedih di atas sana karena melihatnya menangis.
Masya menumpukan punggungnya pada sandaran jok mobil, matanya terpejam. Menekan rasa perih di hatinya. Mengenang kembali wajah, senyum serta kelembutan sang mama. Wajah dan kenangan itu berputar seperti film dalam kepalanya. Semakin membuatnya sesak oleh kerinduan dan rasa sakit, karena seberat apapun rindu itu Masya sudah tidak bisa lagi merasakan belaian penuh kasih dan hangatnya pelukan dari wanita yang sudah membuatnya ada di dunia ini.
"Ma, asya kangen mama" lirihnya.
****
Masya memasuki sebuah rumah mewah dengan gaya klasik kontemporer dengan dominan berwarna putih. Mang Iwan berjalan di belakangnya dengan membawa koper dan barang bawaan yang lain.
Sebelum membuka pintu Masya menghela nafas panjang lalu menembusnya pelan. Mempersiapkan diri untuk segala perubahan yang mungkin terjadi di rumahnya. Tangannya yang memegang handle pintu mendorong pintu itu pelan.
Bibirnya tersenyum. Ruangan itu tidak berubah masih sama dengan tujuh tahun yang lalu. Foto keluarga dengan ukuran hampir satu meter pun masih tergantung di dinding ruangan tersebut. Di foto itu sang mama tampak tersenyum bahagia berdiri berdampingan dengan sang papa, Masya kecil berbando dan gaun warna peach tampak sangat ceria.
Beberapa saat Masya terpaku menatap Lamat foto itu.
"Nenggg!!" Masya memutar kepalanya ke asal suara itu.
Wanita setengah baya berdaster batik solo itu setengah berlari menghampiri Masya. Yang di sambut Masya dengan pelukan hangat. Masya tidak akan pernah lupa kepada orang yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu.
"Alhamdulillah ya Alloh, akhirnya neng pulang juga"
Masya yang mendengar perkataan mbak win itu hanya tersenyum.
"Iya mbak puji Tuhan.."
"Hayu neng, mau makan dulu atau mau gimana dulu? Itu mbak udah masak sayur asem kesukaan Eneng"
"Hmmm.. aku kayanya mandi dulu ini mbak ga enak badannya lengket, bau acem lagi" Masya sedikit bergurau sambil memegangi hidungnya.
Masya berlalu meninggalkan dapur. Menyusuri tangga menuju kamar yang dia tempati sejak kecil. Mata coklat Masya menelusuri ruangan 3×2 meter itu dengan takjub. Tidak ada yang berubah dari kamarnya masih sama seperti saat terakhir kali dia meninggalkan kamar itu. Sekilas Masya melihat sebuah boneka berbentuk tupai kecil berwarna abu-abu bergaris coklat di sudut lemari kecil di sudut kamar, berjejer dengan piala dan piagam yang pernah di dapatkannya dari lomba-lomba yang pernah di ikutinya.
Dengan jantung berdebar dan sedikit bergetar Masya mengambil boneka itu. Sekelebat bayangan seorang wanita muncul di dalam benaknya. Seorang wanita yang di cintainya.
Cinta pertama yang menghancurkan hatinya. Begitu dalam hingga rasa sakitnya masih terasa setiap kali teringat.Cinta yang salah. Dosa paling indah dalam hidupnya, jika benar cinta mereka adalah sebuah dosa.
Bahkan setelah tujuh tahun tidak ada yang mengisi relung-relung hatinya seperti wanita itu. Tidak tergantikan.
Masya mendekap boneka itu di dadanya. Butiran air mata berderai membasahi pipinya.
"Clara jesslyn" lirihnya dengan bibir bergetar.
Nama keramat yang tak pernah di ucapkannya setelah sekian lama. Masya menggigit bibir bawahnya menahan sesak bersamaan dengan air mata semakin deras.
Dengan tangan bergetar Masya meletakkan boneka itu di tempatnya semula.
Dengan lunglai dia meraih jubah handuk berwarna putih yang menggantung dekat pintu kamar mandi lalu berlalu masuk ke kamar mandi.
Selain ingin menyegarkan tubuhnya yang terasa lengket dan lelah karena perjalanan, dia juga ingin mendinginkan kepalanya yang terasa panas.
Masya melepaskan pakaian lalu berdiri di bawah shower membiarkan kepalanya tersiram air. Rasa dingin menusuk kulit kepalanya, merambat sampai ke otaknya. Berharap rasa dingin itu juga akan membawa bayangan wanita itu pergi mengalir bersama air yang membasuh seluruh badannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, kamu dan logika
Novela Juvenil"I can't sya, aku ga bisa meneruskan lagi kisah kita... kamu sudah bukan tujuan ku lagi" Suara Clara yang lembut itu seperti ribuan anak panah yang baru terlontar dari busurnya. Menusuk melalui telinga hingga menembus ke hati Masya. Rahangnya mengat...