Dengan berat hati Arsen mengantarkan Zia ke rumah sakit. Bi Mina pun langsung pamit untuk keluar sebentar ke Nyonya Laura karena ingin menjemput non Zia di lobby rumah sakit.
Ruangan rawat inap yang tadinya bau obat obatan berubah menjadi wangi, setelah itu muncul lah sosok nyonya Laura, Maura yang sedang berbaring pun jadi langsung mengambil posisi duduk.
"Anak saya yang perempuan sedang menuju ke sini tolong sayangi dia, selama ini dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari saya"nyonya Laura berucap seperti itu dengan wajah yang penuh kesedihan, bahkan hampir menangis.
"Saya sangat menyayangi nya, tetapi tidak bisa saya tunjukkan secara langsung". Dahi Maura berkerut karena tidak paham, kenapa bisa seperti itu?.
"Bukan hanya dia, tetapi yang lainnya juga, tolong berikan mereka kasih sayang seorang ibu yang selama ini mereka dambakan".
"Kenapa nyonya Laura bersikap seperti itu?". Maura dengar dari BI Mina kalau selama ini nyonya Laura sering memukul dan membentak anaknya, tapi kenapa begitu, bukankah tadi katanya sayang.
"Waktu saya hanyalah sebentar untuk menjelaskan semuanya, kamu bacalah diary saya yang saya simpan di dalam kamar, semua jawaban ada disana, saya pergi dulu ya, titip suami dan anak anak saya, saya menyayangi mereka".
Asap putih muncul kemudian nyonya Laura sudah menghilang dari pandangannya padahal belum sempat ia menjawabnya.
"Maura gak bisa baca dan tulis padahal". Maura jadi sedih, perlakuan nyonya Laura mengingatkannya tentang orang tuanya yang telah membuangnya.
Apakah orang tuanya seperti nyonya Laura yang punya alasan untuk tidak bersikap baik kepadanya, dan ternyata aslinya sayang.
Memikirkan hal itu sepertinya tidak lah mungkin mereka sayang sama Maura, kalau mereka sayang dan merasa terpaksa berbuat jahat kepadanya, kenapa Maura dibuang ke hutan?, padahal bisa dibuang dijalanan yang banyak orang lewat, mungkin saja ada yang ingin merawatnya.
Maura tau berjuang hidup di dalam hutan saat usianya 3 tahun tidaklah mudah, di umur segitu Maura belum bisa jalan, dia hanya bisa merangkak kesana kemari untuk mencari makan.
Sampai suatu hari ia bertemu dengan seekor monyet yang sedang memakan pisang, Maura mendekatinya, monyet itu berbagi dengannya, untuk ia bisa minum, ia akan menunggu hujan datang, atau tidak merangkak menuju sungai untuk meminumnya.
Maura selalu bersama monyet tersebut, monyet itu membantunya untuk bersembunyi saat pemburu datang, ketika pemburu sedang keliling dan meninggalkan tempat untuk ia istirahat, monyet itu diam diam mengambil makanan dan minuman yang mereka bawa agar dirinya bisa makan.
Memikirkan semua itu membuat dirinya sedih, rasa sedihnya berganti kaget karena teriakan sang bocah.
"Unda". Mendengar teriakkan girang dari sang bocah, Maura tersenyum lalu merentangkan kedua tangannya untuk memeluk bocah tersebut, wajahnya begitu cantik dan menggemaskan, tubuhnya yang harum khas bayi.
Pokoknya lucu banget, rasanya pengen nguyel uyel pipinya terus ia gigit.
Zia yang melihat bundanya tersenyum sambil merentangkan tangannya, ia pun jadi semangat dan bi Mina yang melihatnya pun langsung mendudukkan Zia didepan nyonya Laura yang sedang terduduk.
Maura langsung memeluknya erat, Zia merasa bahagia akhirnya ia berada dalam dekapan sang bunda.
Mulai hari ini Maura akan belajar menjadi ibu dan istri yang baik untuk suami dan anak anaknya nyonya Laura. Ia akan menyayanginya sepenuh hati. Ia akan memberikan perhatian kepada anak anaknya seperti dulu mamanya memperlakukan kakaknya.
"Zia sayang, maafin bunda ya yang selama ini jahat sama Zia, maafin bunda yang gak pernah kasih Zia kasih sayang, tapi mulai hari ini bunda akan memberikan kasih sayang bunda untuk Zia"ucapnya sambil mengelus kepalanya Zia dengan lembut.
"Zia udah maafin unda, Zia sayang banget sama unda". Maura langsung melepaskan pelukannya lalu memegang wajahnya Zia dan memberikan ciuman diseluruh bagian wajahnya Zia sampai bocah itu terkikik geli dan juga merasa bahagia dengan perubahan sang bunda.
"Terima kasih putri cantiknya bunda".
Melihat pemandangan indah di depannya dimana akhirnya nyonya Laura berubah, bi Mina tersenyum bahagia , melihat nona Zia akhirnya bisa merasakan kasih sayang bundanya yang selama ini bocah itu harapkan, semoga yang lainnya bisa menerima perubahan yang ada dalam diri nyonya Laura.
Suasana ruangan ini jadi hangat tidak sepi seperti sebelumnya, mereka berdua lagi saling kangen kangenan tapi tiba-tiba saja terganggu oleh suara perutnya Zia yang keroncongan minta untuk dikasih makan.
Kruk kruk kruk
Mendengar suara tersebut mereka berdua langsung menatap Zia. Zia yang ditatap hanya bisa menyengir.
"Zia belum makan dari tadi?". Zia menggelengkan kepala, gimana mau makan Zia kan dari tadi terus menangis, bahkan cookies yang menggoda selera saja tidak ia makan.
"Belum nda hehe, pelut na Zia demo unda minta dikasih mamam".
"Ya udah bibi beliin dulu makanan buat non Zia, non Zia mau makan apa?". Zia yang ditanya pun berfikir sebentar sambil mengetuk ngetuk dagunya.
Maura merasa lucu ia pun gemes lalu mencium pipi gembulnya, yang membuat Zia tersenyum senang tentunya.
"Zia mau makan chicken katsu ya Bi"ucapnya setelah berfikir lama ingin makan apa.
Makanan apa itu?
Maura bertanya di dalam hatinya karena selama ini ia hidup hanya makan tempe tahu dan telur kalau gak mie karena uangnya hanya cukup untuk membeli makanan tersebut.
Pernah beberapa kali ada yang mengasihnya uang yang warnanya merah, tapi sayang sebelum ia simpan, preman terlebih dahulu melihatnya dan langsung merebutnya.
Karena uangnya direbut oleh para preman, kadang Maura tidak bisa makan hari itu, bahkan ia harus menunggu larut malam untuk bisa makan dari tempat sampah yang berada dekat warung makan.
"Nyonya Laura mau makan apa biar bibi beliin?". Bi Mina ingat kalau nyonya belum makan lagi setelah tadi pagi makan bubur, dan untuk makanan rumah sakit gak mau dimakan.
"Bolehkah minta makan?"tanya nya yang membuat bi Mina bingung sendiri mendapatkan pertanyaan seperti itu, masa nyonya nya bertanya seperti itu.
"Boleh banget lah nyonya, gak ada yang melarang".
"Emm kalau begitu nasi sama tahu dan tempe aja" mendengar hal itu kedua orang beda usia langsung menatap bunda/nyonya Laura dengan rasa heran, sejak kapan cuma makan seperti itu, biasanya banyakin sayurannya.
"Hanya itu non, tidak ada tambahan?". Laura menggelengkan kepalanya karena ia juga bingung mau makan apa, jadinya makan sama yang biasanya ia makan.
Setelah memastikan tidak ada tambahan pesanan makanan yang akan ia beli, bi Mina langsung pergi keluar meninggalkan ibu dan anak yang mulai saat ini semakin dekat.
Bersambung