Bugh!
Satu pukulan keras itu mendarat tepat di bagian pipi kanan Shaka, meninggalkan luka lebam yang terlihat begitu jelas di kulit putihnya. Ini bukan kali pertama ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mereka—tiga orang berstatus teman sekelas yang membencinya tanpa alasan. Terhitung sudah tahun ketiga sejak mereka mulai merundungnya. Dan mereka sama sekali tidak pernah lelah atau bosan dengan hal itu.
Shaka bukannya tidak mau melawan. Hanya saja ia tidak bisa. Ada alasan tersendiri kenapa ia memilih diam alih-alih melaporkan mereka atau sekedar balas melawan walau hanya dengan satu pukulan. Ayah dan ibu menjadi salah satu alasannya. Shaka tidak mau membuat mereka khawatir. Terlebih sudah banyak masalah yang mereka hadapi selama ini. Ia tidak mau menambah beban pikiran orang tuanya.
“Masih gak mau ngaku?” Karel, orang yang baru saja memukulnya itu bertanya. Shaka menatapnya lalu menatap dua orang dibelakang pria itu yang tampak menanti jawabannya dengan raut marah.
“Udah deh ngaku aja, Lo kan yang ngadu ke guru kalo kita ngerokok dibelakang sekolah?” satu orang dibelakang Karel ikut menyudutkan—Gani namanya.
Dan Shaka masih betah membisu hingga saat Karel bertanya padanya perihal sama untuk kedua kali, barulah ia bicara.
“Bukan gue, Rel. Sumpah bukan gue yang ngaduin kalian!” Shaka berkata jujur. Sungguh, ia sama sekali tidak tahu soal hal itu.
Dirinya sedang duduk di kelas mengerjakan soal latihan yang diberikan guru saat Karel dan yang lainnya datang. Tanpa bicara apapun mereka langsung menyeret Shaka ke belakang sekolah, tanpa basa-basi langsung memukulnya dan menyudutkannya seperti sekarang.
“Kalo bukan Lo siapa lagi?! Selama ini Cuma Lo kan yang gak suka sama kita dan seneng kita dihukum?!” Bima mengepalkan tangan penuh amarah. Gara-gara orang yang mengadu ini, Bima, Karel, dan Gani harus membersihkan toilet sekolah selama sebulan.
“Tapi beneran bukan gue! Gue gak tau apa-apa soal itu! Bahkan gue aja gak tau kalian ngerokok.”
“Lo ini beneran minta dihajar ya!” Bima sudah ancang-ancang hendak melayangkan pukulan. Shaka pun sudah bersiap, menutup matanya dan siap menyambut rasa sakit dari pukulan yang akan ia terima untuk kedua kalinya. Namun rasa itu tak kunjung datang, hingga akhirnya Shaka memberanikan diri membuka mata.
Didepan, tangan Bima hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Ada tangan lain yang menahannya, menyelamatkan Shaka dari pukulan itu.
“Rel, kenapa ditahan sih?!” Bima mengerang marah. Di detik-detik terakhir Karel malah menghentikannya tanpa alasan. Sedangkan Karel hanya memandangnya tanpa ekspresi, menurunkan tangan itu dan menyuruh mereka untuk tak memperpanjang masalah.
“Udahlah, mungkin emang bener bukan dia yang ngadu.”
“Tapi, Rel—"
“Kita udah pergi kelamaan, kita balik aja ke kelas.”
Karel lebih dulu melangkah meninggalkan halaman belakang sekolah, membuat Gani dan Bima mau tidak mau mengikutinya setelah terlebih dahulu memberikan peringatan pada Shaka lewat tatapan mata seolah berkata, ‘Awas Lo, kita gak akan tinggal diam!’
🌱🌱🌱
Shaka meringis saat menyentuh luka di wajahnya. Menatap lekat luka itu dari pantulan bayangannya di cermin, ‘lumayan juga,’ Batinnya.
Shaka menghela napas, lanjut menyalakan kran air didepannya dan mencuci tangan seolah tak pernah terjadi apapun sebelum ini.
Toilet gedung kelas dua belas di ujung lorong selalu menjadi tempat pelariannya setiap kali Karel dan anak buahnya berulah. Tempat yang sepi, jarang dipakai siswa karena letaknya agak jauh dari ruang kelas. Sangat cocok untuk menenangkan pikiran, setidaknya bisa menghindari tatapan orang-orang yang suka menilai sesuatu dari sudut pandang mereka saja.
Shaka memang tak terlalu ambil pusing soal Karel dan teman-temannya, tapi tetap saja terkadang dirinya merasa sedih. Orang yang dulu paling menjaganya, paling khawatir bahkan saat dirinya hanya terluka kecil, kini malah yang paling sering menciptakan luka.
Terkadang dia rindu. Namun Shaka sadar, berlarut dalam kesedihan tidak akan mengubah apapun. Maka dirinya harus kuat, memejamkan matanya erat-erat saat merasakan panas disana.
'Gak! Gue gak boleh nangis! Menangis cuma bikin Lo jadi semakin menyedihkan Shaka!!’
“Sorry ya, soal yang tadi.”
Shaka membuka mata, sedikit terkejut dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba. Ia menoleh, mendapati Karel sudah berdiri disampingnya dan menatapnya dari bayangan cermin.“Tau darimana gue disini?”
Karel terkekeh lantas menoleh pada Shaka, “Lo kan emang selalu kesini kalo habis ada masalah.”
Dan hal itu membuat Shaka juga ikut terkekeh, “Merhatiin gue banget nih?”
Karel hanya tersenyum, memalingkan wajahnya. Dan pelan-pelan senyuman itu memudar, “Sorry, ya. Sumpah gue juga gak mau kita begini. Tapi gue—”
“Iya, ngerti kok.” Shaka dengan cepat memotong ucapan Karel. Terlalu malas membahas masalah ini. Shaka tahu Karel terpaksa. Karel sahabatnya yang dulu selalu menempel padanya seharian penuh, perlahan harus menjauh setelah mengenal Gani dan Bima.
Waktu itu Shaka bingung saat Karel menjauhinya selama di sekolah lalu kembali bersikap normal saat mereka di luar area sekolah. Dan saat Karel menjelaskan padanya alasan ia menjauh, sedikitnya Shaka paham.
Awalnya sulit menerima ini, tapi pada akhirnya Shaka setuju dengan kesepakatan yang Karel buat tiga tahun lalu, bahwa mereka harus berpura-pura tidak terlihat akrab selama di sekolah—lebih tepatnya didepan Gani dan Bima.
Karel meraih dagu Shaka, melihat luka kebiruan di wajah itu lalu meringis. “Kayaknya gue kekencengan ya mukulnya?”
“Ya menurut Lo aja!” sungut Shaka marah. Bisa-bisanya pria itu bertanya hal yang sudah jelas jawabannya.
“Iya iya maaf deh sekali lagi,” Karel merapatkan tangannya. Memohon dengan tatapan berbinar begitu, mana bisa Shaka menolak.
“Ya ya yaa~”
Karel tersenyum lebar, “Balik sekolah gue traktir deh. Mie ayam depan gang, mau gak?”
“Bener ya? Awas kalo bohong lagi!” Shaka menunjuk Karel tepat didepan wajah, mengingatkan bagaimana Karel melanggar janji untuk menemaninya membeli buku karena memilih pergi ke karaoke bersama Bima Minggu lalu.
“Iyaa. Janji!”
“Yaudah sana sana! Nanti diliat Bima sama Gani loh.” Shaka mendorong Karel. Bagaimanapun ini masih area sekolah. Mereka harus berpura-pura asing kan?
“Gak papa nih gue tinggal?” tanya Karel, sedikit tidak rela meninggalkan sahabatnya sendirian.
Shaka mengangguk yakin, “Gak papa, dah sana!”
“Oke deh, see you!!”
***
Hey, it's Liu!
Gimana part 1 nya?
Btw ini cerita bl pertama yang aku publish. Memutuskan buat publish disini biar dia gak hilang. Udah itu aja.
Kritik dan saran akan sangat diterima. Jangan lupa kasih bintang juga ya~
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (Boy) Friend
Novela JuvenilMereka yang harus berpura-pura asing antara satu sama lain. Apa yang sebenarnya terjadi? ‼️P E R H A T I A N‼️ Cerita ini mengandung unsur boyslove, yang tidak suka harap menyingkir, terimakasih 😊 ©thursdayliu Start : 06/08/24 End : ?