Hujan Dalam Hati

25 2 0
                                    

Izmi duduk meringkuk di sudut kamarnya yang sempit dan gelap. Suara teriakan dan bentakan ayahnya masih bergaung di telinganya. Ia memeluk lututnya erat, berharap dapat meredam ketakutan di hatinya yang sekali lagi menyaksikan aksi kekerasan ayahnya.

Bukan kali pertama Izmi menyaksikan situasi mengerikan itu. Ayahnya, seorang pria kasar dan pemabuk, sering pulang dalam keadaan mabuk dan melampiaskan kemarahannya dengan memukuli ibunya. Kadang Izmi turut menjadi sasaran umpatan dan sumpah serapah.

Sejak kecil, Izmi sudah terbiasa dengan wajah lebam ibunya dan umpatan-umpatan kasarnya.
Tidak ada kehangatan dalam keluarga mereka yang berantakan. Ayahnya tak pernah peduli pada Izmi ataupun ibunya. Ia hanya seperti seorang tamu yang sesekali singgah di rumah itu, membawa kekerasan dan ketakutan. Sementara ibunya terlalu takut untuk melawan atau pergi meninggalkannya.

Bahkan pernah di suatu ketika Izmi menemukan ayahnya tergeletak tertidur di halaman rumah karena sisa mabuk semalam. Sungguh pemandangan yang tidak biasa bagi gadis sepolos Izmi.
Di usia yang masih belia, Izmi sudah terbiasa dengan luka dan tangis. Masa kecilnya terampas begitu saja oleh situasi rumah tangganya yang menyedihkan. Ia ingin lari, menyelamatkan diri dan ibunya dari lingkaran kekerasan ini. Namun kemana ia harus pergi? Siapa yang akan menerimanya?

Setitik air mata mengalir di pipi Izmi. Dalam hati kecilnya, ia merindukan kehangatan dan kebahagiaan seperti yang dimiliki teman-teman sebayanya. Mereka semua tertawa dan bermain dengan riang, sementara Izmi selalu dibayangi ketakutan akan kekerasan ayahnya yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Izmi menengadah, menatap langit malam melalui jendela kamarnya yang retak. Hujan turun dengan derasnya, seolah ikut menangisi kehidupannya yang malang. Dalam kesunyian, Izmi berharap suatu hari ia akan terbebas dari belenggu keluarga yang hancur ini. Ia ingin bahagia, tanpa rasa takut dan luka.

Namun malam itu, Izmi kembali terlelap dengan air mata membasahi bantal. Hujan di luar tak kunjung berhenti, seperti hujan dalam hatinya yang tak kunjung usai.

Jejak Rasa di Titik NadirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang