Izmi memandang layar laptopnya dengan mata yang mulai buram. Suasana malam di kamar kosnya terasa semakin berat, seiring dengan beban tugas kuliah yang menumpuk dan ketidakadilan yang dia hadapi di lingkungan akademisnya. Meski demikian, dia berusaha keras untuk menjaga harapan dan semangatnya tetap hidup, mengingat betapa pentingnya pencapaian gelar pendidikan bagi masa depannya.
Selama beberapa minggu terakhir, Izmi harus berhadapan dengan berbagai ketidakadilan—baik dalam bentuk penilaian yang tidak adil dari beberapa dosen maupun sistem yang tampaknya tidak berpihak pada mahasiswa. Namun, dia tidak membiarkan hal itu mematahkan semangatnya. Izmi terus berjuang, meski sering kali merasa kelelahan yang mendalam.
Salah satu bentuk dukungan yang ia andalkan adalah komunikasi dengan ibunya melalui telepon. Namun, meskipun percakapan telepon tersebut dimaksudkan untuk memberikan semangat, sering kali berakhir dengan ketegangan. Ibunya, yang tinggal di negeri orang untuk bekerja, tidak sepenuhnya memahami beban yang dihadapi Izmi. Sesekali, percakapan mereka berubah menjadi perdebatan, terutama ketika ibunya mengekspresikan kekhawatirannya tentang beban studi Izmi atau meragukan pilihannya.
Izmi menahan napas dan mencoba untuk tetap tenang. "Aku tidak bisa, Bu. Ini adalah waktu yang penting dan aku sudah berusaha sebaik mungkin. Aku tahu ini berat, tapi aku perlu melanjutkan," jawabnya, berusaha keras untuk mengungkapkan tekadnya sambil menahan rasa lelah.
Meskipun diskusi ini sering kali berakhir dengan ketegangan, Izmi memahami bahwa ibunya juga merasa lelah dan stres dengan situasinya. Mereka berdua berada dalam jarak yang jauh, dan kesulitan yang mereka hadapi sering kali membuat komunikasi mereka terasa lebih menantang.Di tengah semua ini, Izmi mulai mencari cara untuk menjaga semangatnya tetap hidup. Dia mulai mengalokasikan waktu untuk istirahat dan melakukan aktivitas yang disukainya, seperti latihan pencak silat dan berjalan-jalan di taman kampus untuk mengurangi stres. Momen-momen kecil ini memberikan dorongan yang dibutuhkannya untuk tetap berjuang.
Izmi juga mulai berbicara dengan teman-teman dan mencari dukungan dari mereka yang memahami perjuangannya. Mereka saling berbagi pengalaman dan memberi motivasi, membantu Izmi merasa tidak sendirian dalam perjalanan ini.
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugas kuliah yang menuntut, Izmi duduk di mejanya dan membuka aplikasi telepon. Dengan tekad baru, ia menelepon ibunya lagi. Kali ini, mereka berbicara dengan lebih terbuka dan saling memahami. Izmi menjelaskan lebih dalam mengenai tantangan yang dihadapinya, dan ibunya akhirnya mulai melihat usaha dan dedikasi Izmi dari sudut pandang yang berbeda.
"Mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang kamu lalui," kata ibunya dengan lembut. "Tapi aku tahu kamu sudah berusaha keras. Aku bangga padamu dan akan terus mendukungmu."Kata-kata tersebut memberikan kelegaan bagi Izmi. Meskipun perjalanan masih panjang dan penuh tantangan, ia merasa memiliki dukungan yang lebih baik dari ibunya. Dengan harapan dan semangat yang diperbarui, Izmi melanjutkan perjuangannya dengan keyakinan baru. Dia tahu bahwa meskipun lelah dan menghadapi ketidakadilan, dia memiliki kekuatan untuk bertahan dan mencapai tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa di Titik Nadir
RandomJejak Rasa di Titik Nadir: Menceritakan kisah Izmi, seorang gadis di sebuah kota di salah satu pulau bagian Tenggara Ibu Pertiwi yang lahir dalam keluarga yang terpecah. Dikelilingi oleh kekacauan emosional dan konflik keluarga, Izmi berjuang untuk...