Izmi tiba di perguruan tinggi dengan campuran rasa antusias dan kecemasan. Kampus yang megah dan sibuk, penuh dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang, memberikan kesan awal yang penuh harapan. Namun, saat ia mulai mengarungi kehidupan kampus, dia segera menyadari bahwa dunia akademis tidak selalu sesuai dengan impian dan harapannya.
Hari-hari pertama di perguruan tinggi dipenuhi dengan orientasi dan perkenalan. Izmi merasa kagum dengan fasilitas yang ada, tetapi rasa tak nyaman mulai muncul ketika dia berusaha menyesuaikan diri dengan sistem yang lebih kompleks dari yang ia bayangkan. Di dalam kelas, Izmi segera menghadapi kenyataan pahit tentang korupsi yang merajalela di sistem pendidikan.
Beberapa dosen, yang seharusnya menjadi mentor dan pembimbing, terlibat dalam praktik korupsi yang mempersulit mahasiswa yang tidak mampu membayar biaya tambahan. Dosen-dosen ini sering memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti meminta pembayaran tidak resmi untuk nilai yang lebih baik atau untuk akses ke bahan kuliah dan fasilitas yang seharusnya disediakan secara gratis. Izmi merasa frustasi ketika dia melihat teman-teman sekelasnya yang lebih mampu membayar bribe mendapatkan nilai tinggi tanpa usaha yang layak.
Izmi sendiri harus berjuang keras untuk mengatasi biaya kuliah yang terus membengkak. Biaya hidup, buku, dan kebutuhan lainnya masih jauh dari kata cukup. Dia terpaksa bekerja paruh waktu di sebuah kafe dekat kampus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari setelah kuliah, Izmi menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, melayani pelanggan, sebelum akhirnya kembali ke kos untuk belajar larut malam. Kelelahan sering kali membayangi semangat belajarnya, dan kadang-kadang dia merasa terjepit antara pekerjaan dan studi.
Kehidupan di kampus tidak hanya menguji fisik tetapi juga mentalnya. Ketidakadilan yang dia alami sering membuatnya merasa putus asa. Dalam beberapa kesempatan, dia melihat teman-teman yang mampu secara finansial mendapatkan akses lebih mudah ke sumber daya akademis dan dukungan tambahan, sementara dia harus berjuang dengan keterbatasannya sendiri.
Di tengah semua kesulitan ini, Izmi berusaha menemukan dukungan dari teman-teman dan kelompok-kelompok mahasiswa. Dia bergabung dengan organisasi mahasiswa yang berfokus pada keadilan sosial dan pendidikan, berharap dapat menemukan ally dalam perjuangannya melawan ketidakadilan di kampus. Meskipun sering merasa terasing, dia menemukan beberapa teman yang setia dan peduli yang berbagi pengalaman serupa.
Suatu malam, setelah selesai bekerja dan belajar, Izmi duduk di kamar kosnya, kelelahan dan hampir putus asa. Dia mengingat kembali pesan-pesan penuh dorongan dari ibunya yang jauh dan merenungkan semua usaha yang telah dilakukannya untuk sampai sejauh ini. Dia tahu bahwa dia harus terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk mereka yang mungkin menghadapi tantangan yang sama di masa depan.
Di balik semua kesulitan dan tantangan, Izmi menemukan kekuatan dalam dirinya untuk terus melangkah maju. Dia mulai mencari cara untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi. Meskipun dia tidak dapat mengubah sistem secara langsung, dia berharap semoga kedepannya situasi seperti ini tidak dirasakan oleh orang-orang setelahnya.
Dengan tekad yang diperbarui, Izmi melanjutkan perjalanannya di perguruan tinggi, menghadapi setiap tantangan dengan keberanian dan semangat yang membara. Meskipun dunia kampus yang kejam seringkali terasa berat, dia tetap berpegang pada cita-citanya dan berusaha keras untuk mencapai masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk mereka yang mungkin akan mengikuti jejaknya di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa di Titik Nadir
De TodoJejak Rasa di Titik Nadir: Menceritakan kisah Izmi, seorang gadis di sebuah kota di salah satu pulau bagian Tenggara Ibu Pertiwi yang lahir dalam keluarga yang terpecah. Dikelilingi oleh kekacauan emosional dan konflik keluarga, Izmi berjuang untuk...