#4. Ayah Panutan

27 3 0
                                    

Kendati nyaris terjaga sepanjang malam, Seon-u tetap bangun sebelum matahari terbit. Seon-u pun memulai pekerjaannya di rumah keluarga Bak, seperti dulu dia bekerja di rumah keluarga Gim. Dimulai dari merebus air, menanak nasi, membuat sup dari hwangtae atau ikan Pollock yang dikeringkan. Paman Hong, yang bangun selepas terbitnya matahari, sungguh gembira melihat si pelayan baru sangat cekatan. Karena itulah Paman Hong merayakannya dengan menyanyi.

"Oho! Siapa yang merusak pagiku dengan nyanyian sumbang?"

Terdengar seorang pria berseru. Suaranya lebih berat daripada suara Gi-jeong. Tidak lama kemudian, tuan besar pemilik rumah muncul di ambang pintu dapur, di mana Seon-u dan Paman Hong berada.

Seon-u segera bangkit dari jongkoknya untuk membungkuk memberi salam pada Tuan Besar Bak Eon-ji.

Paman Hong terkekeh-kekeh, lalu melanjutkan nyanyiannya.

"Oho! Rupanya Hong Tua yang merusak pagiku?" Tuan Besar Bak berkelakar lagi.

"Benar, Tuanku!" sahut Paman Hong. "Namun, izinkanlah Hong Tua ini bernyanyi, karena hamba sedang gembira!"

"Apakah gerangan yang membuatmu gembira?" selidik Tuan Bak Eon-ji.

"Karena anak bernama Seon-u ini, Tuan!" Paman Hong memperkenalkan Seon-u pada tuannya. "Akhirnya hamba bisa menanggalkan beban di pundak hamba dan menyerahkan beban itu pada anak ini!"

"Aigo, aigo. Coba kulihat." Tuan Bak Eon-ji mengamati Seon-u. "Bukankah kau gadis pelayan di rumah Tuan Gim? Mengapa kau ada di sini?"

"Tuan muda yang membawa gadis pelayan itu ke sini." Pertanyaan Tuan Bak Eon-ji dijawab Paman Hong. "Dulu anak ini melayani Nona Hwa-yeong. Karena Nona Hwa-yeong telah tiada, Nyonya Gim menyuruh anak ini pergi dari rumah itu. Untunglah tuan muda memikirkan hamba yang memang sudah lama membutuhkan seorang pengganti."

Tuan Bak Eon-ji menghela napas berat. "Benar, benar," ucapnya kemudian.

"Omong-omong, mengapa Tuan datang ke dapur?" tanya Paman Hong. "Apakah gerangan yang Tuan butuhkan?"

"Aku hanya sedang berjalan-jalan. Tumben sekali, semalam tidurku sangat nyenyak. Ketika bangun pun aku merasa sangat segar," jawab Tuan Bak Eon-ji. "Dan karena kudengar suara sumbang dari arah sini, aku pun datang ke sini."

Tuan Bak Eon-ji dan Paman Hong tertawa bersama.

"Baiklah, aku akan kembali ke ruanganku," pungkas Tuan Bak Eon-ji. "Bekerjalah yang rajin, Seon-u."

"Ya, Tuan."

Seon-u dan Paman Hong membungkuk, sementara Tuan Bak Eon-ji berlalu.

"Sepertinya Tuan Besar sangatlah ramah, ya, Paman?" komentar Seon-u.

"Tentu saja! Aku sudah mendampinginya sejak beliau remaja dan masih tinggal di Hanyang! Beliau orang yang hangat pada siapapun, termasuk ketika mendidik putranya, dan pada rakyat jelata seperti kita!"

Pantas saja Tuan Muda Bak Gi-jeong begitu lembut dan pemaaf padaku, pikir Seon-u. Rupanya Tuan Muda mencontoh ayahnya.

"Karena itulah, perlakukan tuanku dengan baik, Seon-u. Beliau telah banyak menderita sejauh ini. Pada usia 15 tahun, tuanku difitnah dan diusir dari Hanyang oleh saudara-saudara kandungnya sendiri, hingga sampailah beliau di Nagan berdua saja denganku," tutur Paman Hong. "Untunglah di sini beliau menemukan perempuan yang tulus mencintai beliau, yakni mendiang nyonyaku, ibu dari Tuan Muda Bak Gi-jeong."

Seon-u terdiam menyimak kisah Paman Hong.

"Ibunda Tuan Muda merupakan putri dari selir seorang hyeongryeong (pejabat kotapraja), karena itulah beliau berstatus cheonmin (rakyat jelata). Meski demikian, beliau mendapatkan pendidikan selayaknya seorang putri yangban (bangsawan). Beliau tidak buta huruf, tangkas berhitung, dan sangatlah cerdas. Beliau gemar membaca. Kegemaran itu tampaknya menurun pada Tuan Muda."

Paman Hong memasukkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku untuk membesarkan api.

"Nyonyaku melahirkan Tuan Muda ketika masih berusia 17, sementara tuanku berusia 20 tahun. Sayang, hidup nyonyaku tidaklah panjang. Tatkala Tuan Muda berusia 6 tahun, nyonyaku tiada. Namun, sejak hari itu, tuanku tidak mau menikah lagi. Agaknya tuanku pun tidak pernah jatuh cinta lagi."

Paman Hong menghela napas berat.

"Menurut tabib, tidak menikah mempengaruhi keseimbangan yin-yang tuanku," kata Paman Hong sambil bersedekap. "Akibatnya, tuanku mudah jatuh sakit. Padahal usia tuanku masih cukup muda, dua puluh tahun lebih muda daripada aku, jadi baru 43 tahun sekarang. Tapi beliau lebih sering membicarakan tentang kematian daripada aku seolah beliau yakin hidupnya akan segera berakhir."

"Penyakit apa tepatnya yang Tuan Besar derita?" tanya Seon-u khawatir.

"Entahlah. Bahkan tabib pun tidak tahu. Yang pasti, pencernaan beliau sangat lemah, dan seringkali beliau pingsan akibat nyeri ulu hati," jawab Paman Hong.

"Nyeri ulu hati?" Seon-u bergumam.

"Ya, karena itulah, beliau menyukai makanan-makanan yang lembut dan tawar seperti sup taoge. Beliau juga tidak terlalu suka makanan-makanan yang digoreng. Sebenarnya beliau sangat menyukai gimchi, tapi jika terlalu banyak memakannya, beliau akan bolak-balik ke kamar mandi. Jadi hidangkan sedikit gimchi saja pada jam makan. Kau pun harus selalu menyiapkan sup."

"Baik, saya mengerti, Paman."

***

Ketika menyajikan sarapan, Paman Hong memerintahkan Seon-u tetap berada di ruang makan untuk melayani kedua tuannya.

Diam-diam Seon-u mengamati kedua tuan itu. Memang benar yang dikatakan Paman Hong, Tuan Bak Eon-ji awet muda, dan tidak kalah tampan dibanding putranya. Ayah-anak itu tampak seperti kakak-adik.

Tuan Bak Eon-ji dan Gi-jeong berbincang ringan sambil menikmati hidangan.

"Kau baik-baik saja?" Tuan Bak Eon-ji membuka obrolan.

"Tentu saja, Ayah," jawab Gi-jeong. "Bagaimana kabar Ayah?"

"Kau bisa lihat sendiri, ajalku belum datang." Tanpa bermaksud menyindir putranya, Tuan Bak Eon-ji mendengus tertawa. "Apa yang kau harapkan dari orang tua pesakitan sepertiku?"

"Ayah!" Gi-jeong selalu marah bila mendengar ayahnya mengungkit-ungkit soal kematian, apalagi wafatnya Hwa-yeong membuat Gi-jeong semakin sensitif dengan isu itu. "Tolong jagalah kesehatan Ayah! Masih terlalu dini untuk mati! Saya masih belum menikah!"

Mendengar omelan Gi-jeong, Tuan Bak Eon-ji malah tergelak terbahak-bahak dan bertepuk tangan.

"Siapa yang bisa mencegah maut? Banyak bayi berumur semalam mati. Orang-orang baik mati. Orang-orang yang begitu kita cintai pun mati." Sambil tersenyum Tuan Bak Eon-ji bertutur. "Pernah dengar peribahasa ini: setelah seratus tahun, Lushan akan lebih hijau?"

Gi-jeong diam saja, seperti enggan menjawab.

"Gi-jeong-a, putraku, setelah seseorang meninggal, dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berlanjut tanpa mereka."

Tuan Bak Eon-ji lanjut menasihati.

"Aku tahu, tentulah sangat sulit melepas kepergian seseorang yang kau cintai. Namun, ikuti alamiahnya. Kapal akan mengarah sendiri ke jembatan ketika tiba di ujungnya." Tuan Bak Eon-ji mencicipi teh pencuci mulut buatan Seon-u. "Putraku, dalam perjalanan hidup, ada saatnya kita hanya perlu bersabar dan membiarkan hal-hal berjalan dengan sendirinya."

Gi-jeong masih tutup mulut, walaupun sepertinya ucapan sang ayah masuk ke hatinya. Begitu pula ke hati Seon-u. Gadis pelayan yang duduk di depan pintu ruang makan itu tergugah oleh sikap lembut dan kata-kata bijak sang tuan besar.

[Akhir Bab 4]

Calon Gundik Tuan Besar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang