#7. Kertas, Kuas dan Tinta

20 3 0
                                    

Cawan teh arak itu telah kosong, namun perbincangan antara Tuan Bak dan Seon-u masih berlanjut.

"Mengapa kau memilih puisi itu untuk kau tulis di hadapanku?" Pertanyaan Tuan Bak terdengar seperti tudingan. "Kau tahu sejarah di balik puisi itu. Itu puisi seseorang yang takut menghadapi pembaharuan. Apa kau termasuk penentang kebijakan-kebijakan pemerintah Joseon dan lebih memilih gaya kepemimpinan zaman Goryeo?"

Seon-u menelan ludah gugup.

"M-mana berani hamba yang hanya seorang pelayan rendahan dan tidak berpendidikan ini menentang penguasa, Tuan!" jawab Seon-u. "Hamba menulis puisi itu karena puisi itu kebetulan menggambarkan isi hati hamba saat ini!"

"Isi hatimu? Pada siapa?"

"T-tentu saja pada Tuan Besar dan Tuan Muda! Tuan Muda sudah menyelamatkan hamba yang diusir oleh majikan hamba sebelumnya. Seandainya Tuan Muda tidak membawa hamba ke rumah ini, hamba pasti sudah mati kelaparan di jalan. Atau, mungkin lebih buruk lagi, sebab orang yang disuruh mencarikan hamba pekerjaan bisa saja menjual hamba sebagai budak atau ke rumah bordil!"

Tuan Bak terdiam setelah mendengar penjelasan gadis pelayan itu.

"Apabila hamba telah melakukan kesalahan, mohon ampuni hamba, Tuan..." Seon-u bersujud. "Hamba sama sekali tidak menyimpan niat buruk menulis puisi Poeun itu..."

Tuan Bak tarik napas dalam-dalam.

"Tidak, Seon-u-ya. Kau tidak melakukan kesalahan. Justru sebaliknya, aku mengagumi kecerdasanmu," ujar Tuan Bak lembut. "Akulah yang bersalah karena telah membuatmu takut."

Seon-u mengangkat wajah. Dilihatnya Tuan Bak sedang tersenyum lembut padanya. Seon-u kembali bersujud dengan sempurna.

"Duduklah," perintah Tuan Bak.

Mengikuti perintah tuannya, Seon-u pun duduk bersimpuh. Sejenak Tuan Bak termenung, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Kemudian Tuan Bak mengambil sebuah buku dan diserahkannya buku itu pada Seon-u.

"Kuberikan kau waktu tiga hari untuk membaca seluruh isi buku itu, sekaligus untuk merangkumnya dalam sebuah puisi karanganmu sendiri. Satu puisi akan kubayar dengan satu barang yang kau inginkan. Jangan coba-coba menjiplak atau menyadur puisi karya orang lain! Aku pasti akan tahu jika kau melakukannya!"

"Baik, Tuan!"

"Ada yang tidak kau mengerti?"

"Tidak, Tuan..."

"Kalau begitu, kau boleh pergi. Aku senang berbincang denganmu malam ini."

Seon-u pun bangkit sambil mengangkut cawan dan buku di atas nampan, lantas membungkuk dalam-dalam pada Tuan Bak sebelum meninggalkan ruangan. Di luar ruangan Tuan Bak, Seon-u mengembuskan napas lega. Pertanyaan-pertanyaan Tuan Bak tadi benar-benar membuat Seon-u tegang sampai-sampai dia sedikit mengalami kesulitan bernapas.

Wah, mengerikan, aku tidak tahu apakah Tuan Besar sedang menginterogasiku atau hanya iseng bertanya.

Seon-u memijat pelipis. "Rasanya kepalaku seperti mau pecah."

***

Buku pertama yang harus Seon-u baca adalah Kumpulan Catatan Penting dari Pembelajaran Kebijaksanaan Yulgok.

Seon-u tercengang ketika memindai isi buku itu. Buku itu tidak mudah dicerna oleh orang tidak berpendidikan seperti Seon-u. Buku tersebut ditulis oleh salah satu cendekiawan, filsuf dan negarawan terhebat di Dinasti Joseon.

Dan untuk memahami buku bertopik berat ini—yang topiknya mencakup filosofi moral, etika dan politik Joseon yang dipengaruhi oleh Konfusianisme dan metafisika—Seon-u hanya diberikan tiga hari.

Pada setiap waktu luangnya, Seon-u membaca buku itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan kadang dia membaca sampai lupa waktu. Jika Paman Hong tidak menegurnya, si gadis pelayan akan keasyikan memelototi buku itu dan tak sengaja membiarkan air yang sedang direbusnya menguap sampai habis.

Paman Hong pun jadi kesal.

"Hei, Seon-u, kamu itu cuma seorang babu! Tak perlu kau mengerjakan sesuatu di luar kemampuanmu!" hardik Paman Hong.

"T-tapi... apa salahnya saya mencoba memahami buku ini?" tanya Seon-u.

"Ambisimu tidak berguna! Toh kau tetap akan jadi babu setelah kau memahami buku itu!" lanjut Paman Hong. "Seon-u-ya! Kukatakan ini demi kebaikanmu sendiri! Lihat dirimu! Kau bahkan tidak punya nama keluarga!"

Diam-diam Tuan Bak menguping omelan Paman Hong pada Seon-u.

"Lebih baik segera kau kembalikan buku itu pada Tuan, dan katakan saja pada beliau bahwa kau tidak bisa memenuhi harapan beliau yang terlalu muluk untuk seorang pelayan yatim-piatu sepertimu!"

Omelan Paman Hong yang begitu merendahkan Seon-u membuat Tuan Bak geram. Tetapi Tuan Bak menahan diri untuk tidak membela Seon-u. Sang tuan besar tidak ingin memanjakan pelayan barunya yang sedang ditatar agar menjadi wanita tegar.

***

Suatu malam, Tuan Bak meminta Seon-u membuatkannya teh arak. Sudah tiga malam berlalu sejak Tuan Bak memberikan Seon-u tugas membaca dan merangkum dalam bentuk puisi. Tuan Bak pun menagih puisi Seon-u.

"Ayo, tuliskan puisimu untukku."

Seperti tiga malam silam, Tuan Bak memberikan Seon-u kertas, kuas dan tinta untuk menulis. Seon-u tarik napas panjang menenangkan diri. Dia pun mulai mengoleskan kuasnya perlahan pada lembaran kertas di hadapannya.

Di manapun sebatang pohon tumbuh, daunnya tetaplah hijau. Di Hanyang, atau di halaman gubuk seorang baekjeong (tukang jagal). Begitu pula manusia, di manapun dia tertusuk, darahnya tetaplah merah.

Tuan Bak langsung mengerti pesan dalam puisi singkat itu. Tuan Bak geleng-geleng kepala membacanya, terpesona oleh kecerdasan Seon-u yang lancang dan berbahaya. Di zaman ini segalanya masih diatur sistem kasta (dan bagian terendah dari kasta yang paling rendah adalah kaum baekjeong serta hamba sahaya), sehingga menganalogikan manusia dengan sebatang pohon terdengar seperti menghujat para dewa.

"Apa hubungannya puisi ini dengan buku yang kupinjamkan itu?" tanya Tuan Bak.

"Yulgok yang bijaksana merupakan salah satu tokoh penting dalam membangun masyarakat Joseon. Masyarakat ini dibangun atas Tiga Dasar (Samgang) dan Lima Disiplin Moral (Oryun). Tentu saja, buku ini membahas tentang hal-hal itu. Tetapi, setelah membaca buku ini, hamba pun menyadari. Dasar dari segala dasar adalah diri," jawab Seon-u.

"Dasar dari segala dasar adalah diri?" Mata Tuan Bak membelalak.

Seon-u mengangguk. "Menurut pengamatan hamba, sebelum mengabdi pada raja, berbakti pada orang tua, setia pada kawan dan membela kebenaran, tugas manusia adalah mengenal diri. Karena satu jiwa yang berbudi luhur, banyak jiwa akan terselamatkan."

Seon-u berhenti untuk melihat ekspresi wajah tuannya. Meski wajah Tuan Bak tampak datar, jantungnya berdegup liar. Hati sang tuan besar tergugah oleh pemikiran mendalam pelayannya yang masih begitu muda.

"Lanjutkan penjelasanmu."

"Nilai-nilai kebaikan Yulgok didasari oleh jeong, jiwa kebaikan. Setiap manusia memiliki jeong. Jeong itulah yang membuat manusia berpikir dan bertindak, dan memberikan makna kehidupan," lanjut Seon-u serius. "Jika manusia tidak mengerti jeong-nya sendiri, dia menjalani hidupnya tanpa tujuan, tanpa mengenal benar atau salah."

"Kau benar." Tuan Bak tersenyum. "Karena banyak manusia tidak mengenal diri serta jeong-nya, mereka hidup seperti binatang."

Tuan Bak menenggak habis teh araknya, kemudian menatap Seon-u lekat-lekat.

"Selamat. Kau lulus tes ini. Sekarang, katakan padaku, hadiah apa yang harus kuberikan padamu?"

Seon-u melirik kertas, kuas dan tinta Tuan Bak.

"Yang hamba perlukan adalah alat tulis, Tuan," jawab Seon-u malu-malu. "Hamba ingin menulis surat untuk Tuan Muda di Hanyang."

"Ambillah." Tuan Bak mengangguk. "Dan kabarkan putraku bahwa aku merindukannya."

"Terima kasih, Tuan."

[Akhir Bab 7]

Calon Gundik Tuan Besar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang