#3. Buku tentang Seon

31 3 0
                                    

Pedang di tangan Gi-jeong membuat Seon-u ketakutan.

"A-apakah hamba mengganggu Tuan?" tanya Seon-u tergagap-gagap. "H-hamba hanya berjalan-jalan untuk menghirup udara malam..."

"Ah." Gi-jeong mengangguk-angguk. "Rupanya, sepertiku, kau pun tak bisa tidur."

"I-iya, Tuan..."

"Aku bisa mengerti perasaanmu." Menghela napas berat, Gi-jeong menyatukan kedua tangan di balik punggung. "Tentu saja, aku juga merasakannya."

Gi-jeong menengadah pada rembulan, tersenyum getir.

"Baru 42 hari sejak Nona Hwa-yeong pergi. Tidak mudah bagi kita mengobati duka ini. Kadang-kadang aku merasa Nona Hwa-yeong sedang menungguku di suatu tempat."

Nyeri menggelenyar di dalam dada Seon-u.

Agaknya muncul sedikit kecemburuan di hati Seon-u, meski rasa cemburu itu tersamarkan oleh kerinduan akan nona majikan yang telah berpulang.

Seon-u mengagumi, dan sejujurnya merasa iri pada nona majikannya, sebab Gi-jeong sungguh mencintai Hwa-yeong dari lubuk hati terdalam.

Nona Hwa-yeong sangatlah beruntung, demikianlah Seon-u membatin.

Terlahir ke dunia sebagai putri bangsawan dengan paras molek tanpa cela serupa dewi. Memiliki sepasang orang tua yang memanjakannya. Dan ketika dewasa mendapatkan seorang sarjana tampan yang lembut budi lagi setia sebagai kekasih.

Tapi Seon-u tak bisa membenci Hwa-yeong.

Sang nona majikan memang pantas diberkati dengan semua keberuntungan itu, sebab Hwa-yeong sangat santun pada pelayan-pelayannya, khususnya pada Seon-u.

Meski Seon-u tidak luput dari kesalahan, Hwa-yeong tidak pernah menyakiti tangan kanannya itu dengan cara apapun.

Bagi Seon-u yang sebatang kara, Hwa-yeong satu-satunya keluarga.

Seon-u pun menyayangi Hwa-yeong.

Malam itu Seon-u bertekad, demi membalas jasa Hwa-yeong kepadanya, dia akan mengabdi pada Gi-jeong seumur hidup tanpa mengharapkan apapun.

"Jadi, Tuan, untuk apa pedang yang Tuan bawa itu?" Seon-u melanjutkan perbincangan.

"Aku hendak berlatih sampai tubuhku letih," jawab Gi-jeong. "Mungkin dengan begitu kantuk akan menjemputku ke alam mimpi."

"Dulu, setiap kali Nona Hwa-yeong tidak bisa tidur, hamba akan membuatkannya boricha (teh jelai) dicampur sedikit arak hangat," cerita Seon-u. "Apa Tuan mau mencoba minuman itu?"

"Kau mau membuat minuman itu untukku?" Gi-jeong cukup terkejut dengan tawaran Seon-u. "Di malam selarut ini?"

"Ya. Tidak akan memakan banyak waktu. Saya hanya perlu memanggang biji jelai."

Sejenak Gi-jeong menatap Seon-u.

"Baiklah," kata Gi-jeong. "Sementara kau membuat minuman itu, aku akan berlatih pedang di sini."

Seon-u membungkuk, lantas berlari-lari kecil menuju dapur.

Dengan cekatan Seon-u menyalakan tungku, lalu mengambil air di sumur untuk dijerang, serta mengambil segenggam biji jelai untuk disangrai.

Teh pun disajikan empat puluh lima menit kemudian, lengkap dengan segelas arak hangat sebagai bahan campuran.

Gi-jeong beristirahat dari latihannya. Dicicipinya teh arak tersebut. Rasanya nikmat sekali.

Gi-jeong menyisakan sedikit teh, lantas digesernya cawan teh itu ke arah Seon-u yang berdiri tidak jauh dari beranda tempatnya duduk.

"Seon-u-ya, habiskanlah teh ini selagi masih hangat," perintah Gi-jeong.

Calon Gundik Tuan Besar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang