16. Anak Panah

3 2 0
                                    

Setelah mendapat sidik jari dari kakaknya, Slavik mengajak Katy untuk pergi ke tempat tinggal Nona Alisha. Ia sudah berjanji pada gadis itu sebelum Katy menceritakan semuanya. Saat ini Slavik tengah menunggu Katy keluar dari apartemennya, bersandar di pintu mobil sisi sopir sambil melipat tangannya sebatas dada.

"Lama sekali anak ini," gerutunya, melihat ke arah jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 19.30, lebih 30 menit dari waktu perjanjian.

Matanya menatap sinis ketika ia melihat gadis yang dibalut dengan kemeja maroon dengan rok selutut berwarna broken white, sedang berjalan ke arahnya. Hanya dengan melihatnya saja membuat emosinya sedikit naik. "Lebih 30 menit. Kau melewati batas perjanjian kita," ucap Slavik dengan nada yang tak enak didengar. Ia sangat kesal dan tidak suka dengan orang yang terlambat. Tidak sesuai dengan perjanjian awal.

Katy hanya tersenyum menampilkan giginya. "Maaf," balasnya sambil mengangkat 2 jarinya, peace.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua memasuki mobil dan memulai perjalanan menuju tempat tinggal Nona Alisha. Dari tempat mereka berpijak saat ini hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di flat Nona Alisha.

"Kau mendapatkan kuncinya?" tanya Katy, melihat sekilas ke arah Slavik.

"Tidak," jawab Slavik singkat. Kedua tangannya masih fokus memegang setir, sedangkan matanya menatap ke depan.

"Lantas bagaimana cara kita masuk jika tidak memiliki kuncinya?"

"Dengan sebuah trik," Slavik melirik sekilas ke arah Katy yang sedang mengaca.

"Apa?" Katy ingin sekali tahu trik apa yang Slavik lakukan untuk memasuki area Nona Alisha tanpa menimbulkan kerusakan, entah dari dalam maupun luar.

"Lihat saja nanti."

Sesampainya disana, gedung flat yang terdiri dari 6 lantai itu tampak remang-remang dan sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. "Apa benar ini tempat tinggalnya?" tanya Slavik pada Katy yang baru saja berdiri di sampingnya.

"Ya, tentu saja. Aku pernah kesini beberapa kali." Katy melihat raut wajah Slavik, tak ada ekspresi yang bisa ia baca selain datar. "Jika takut maka kembali saja."

Slavik memandang tak suka ke arah Katy. Gadis itu tampak meremehkannya. Ia sangat tidak suka. "Sejak kapan aku takut?" Alisnya terangkat sebelah.

Katy hanya menggaruk lehernya. "Ya sudah, ayo kita kesana. Dia tinggal di lantai 3."

Tanpa membalas ajakan Katy, Slavik berjalan mendahului gadis dengan surai bergelombangnya itu. Mendapati dirinya ditinggal, Katy berlari kecil untuk menghampiri Slavik. "Pendekkan langkah kakimu, kau kan lebih tinggi dari aku,". protesnya karena harus berjalan cepat demi mengamankan langkah kaki Slavik.

Melihat Katy yang sudah berkeringat, Slavik sedikit memelankan langkahnya. Mereka menaiki tangga yang mulai usang satu per satu tanpa bantuan penerangan. Hanya beberapa keberanian, jaket, dan benda lainnya yang mungkin nanti akan ia perlukan.

Slavik mengeluarkan benda yang diberikan oleh kakaknya. Menempelkan benda tersebut pada sensor lock door. Terdengar nada panjang yang menandakan bahwa pintu berhasil dibuka.

Melihat keahlian Slavik, Katy hanya bisa membungkam mulutnya yang sudah menganga lebar. Ia tidak pernah menyangka bahwa sahabat kakaknya ahli dalam pembobolan kunci. "Kau sangan ahli. Bagaimana kakau suatu saat aku meminjam bakatmu ini untuk membuka pintu brankas kakakku?"

"Jangan harap." Slavik memasuki flat Nona Alisha dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Diikuti oleh Katy di belakangnya.

"Semua tampak rapi dan bersih," gumam Katy sambil melihat-lihat seluruh isi ruangan itu. Bersih yang ia maksud adalah lantai flat itu. Tidak dengan dinding yang sudah berisi huruf-huruf yang tidak ia mengerti maknanya.

Slavik memfoto setiap barang atau sesuatu yang mencurigakan. Tak terkecuali huruf-huruf yang tertulis besar di dinding itu. Sama seperti yang terjadi pada Tuan Vyin. Bedanya alfabet yang teryulis adalah huruf I dan O. IO? pertanyaan yang muncul secara tiba-tiba itu belum menemukan jawabannya.

Mata Slavik menyipit saat melihat kotak yang tersimpan di dalam lemari yang sedang ia buka. Kotak itu membutuhkan pin atau sidik jari sari sang pemilik. Untung saja ia sudah memiliki salah satunya.

Perlahan penutupnya terbuka. Menampilkan berbagai benda seperti barang bukti.

Barang bukti?

Seketika itu juga mata Slavik memelotot. Ia segera berdiri dan duduk di salah satu kursi. Ia ingin melihat apa saja yang ada di dalam kotak tersebut. Ia yakin bahwa kotak ini bisa membantunya menemukan sang pembunuh dalam kurun waktu yang sangat cepat.

"Katy, aku menemukan sesuatu," ucapnya yang langsung membuat Katy menghampiri laki-laki itu.

"Apa itu?" Katy ikut melihatnya.

Namun, saat akan mengambil salah satu benda disana, sebuah anak panah lewat di celah antara kepala Slavik dengan kepala Katy. Sontak itu membuat keduanya terkejut. Memfokuskan matanya ke depan untuk melihat siapa pelaku pemanahan tadi. Akan tetapi hingga menit ke 15, tak ada tanda-tanda seseorang disana.

"Siapa kau? Muncullah." Slavik menantang orang tersebut untuk muncul di depannya.

Dengan gerakan secepat kilat seperti seorang ninja, sang pelaku langsung memborgol salah satu tangan Katy lalu mengaitkan borgol yang lain pada handle lemari buku. Kejadian itu berlangsung sangat cepat.

"Aaaakh." Teriakan Katy membuat Slavik langsung memusatkan seluruh perhatiannya pada gadis itu.

"Katy, apa-" belum sempat ia menyelesaikan pertanyaannya, seseorang berpakaian serba hitam ditambah dengan cloak gelap mendorongnya hingga membentur tembok.

Sosok hitam itu adalah Mara.

Mara mendekatkan pisaunya ke arah leher Slavik, membuat pria di depannya tak bisa berkutik. "Kau benar-benar keras kepala, Tuan," ucapnya dengan nada yang lembut tapi terdengar menakutkan bagi keduanya.

Slavik memang ingin bertemu langsung dengan si pembunuh tapi tidak dengan posisi seperti ini. Apalagi ada Katy yang ikut terancam.

"Siapa kau?" tanya Slavik yang berusaha menyembunyikan rasa takutnya.

Mara tertawa pelan. "Bukankah kita pernah bertemu, hm? Ternyata semudah itu kau melupakanku." Ia bergerak cepat untuk memborgol kedua tangan Slavik di belakang.

"Kau, bagaimana kau bisa secepat itu." Sungguh, kejadian ini yang paling mengejutkannya. Ia tidak pernah menduga bertemu dengan orang yang sangat cepat seperti para ninja di tv.

"Kak Slavik, kau tidak apa-apa?" pertanyaan Katy yang terdengar khawatir itu sukses mengalihkan perhatiannya. Termasuk Mara. Ia memejamkan mata sejenak, lalu melirik tajam untuk mengartikan bahwa ia tidak suka diganggu apabila sedang berbicara.

"Tidak apa-apa. Tetap diamlah," peringat Slavik. Ia mendengar isakan pelan dari arah Katy. Sepertinya gadis itu sedang menangis karena ketakutan.

Mara kembali melihat ke arah Slavik. Ia sedikit mendongak, dan mengakibatkan bibirnya terekspos sempurna. Bibir semerah ceri itu bisa Slavik lihat dengan jelas. Ia sangat tidak asing. Namun, ia lupa siapa pemilik bibir itu dan dimana ia pernah melihatnya.

"Sudah dua kali aku memperingatkan padamu, tapi ternyata kau malah meremehkan ancamanku." Slavik menatap waspada pada orang itu.

"Siapa kau?" tanyanya dengan nada yang pelan.

"Kau tahu lukisan itu kan? Akulah pelakunya." Mara sedikit menekan pisau itu, mengakibatkan leher Slavik terluka walau hanya sepanjang 1 sentimeter.

"Siapa kau sebenarnya?" desis Slavik karena ia geram pertanyaannya tak kunjung dijawab sejak tadi.

"Kau tahu salah satu laki-laki yang bersamamu waktu itu? Kakak dia bukan?" Mara tersenyum puas. Ia berhasil mendapatkan seluruh data diri serta informasi orang-orang yang sudah mengganggu kehidupan serta rencana yang ia bangun bertahun-tahun.

Wanita Bergaun Biru (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang