14. Orang Terdekat

6 3 0
                                    

Mara tengah mengintai targetnya yang sedang berbicara dengan telepon. "Bisa-bisanya kau masih tersenyum bahagia saat anakmu sudah tiada." Mara tahu betul siapa lawan bicara dari targetnya. Siapa lagi kalau bukan wanita panggilan? Ia tersenyum remeh.

"Kau memang bukan ayah yang baik." Matanya bergerak ke kanan-kiri mengikuti gerakan sang target.

Ia berjalan pelan tanpa menimbulkan suara. Targetnya tengah duduk di salah satu sofa, membelakanginya. Ini sangat memudahkan aksinya untuk mempercepat mengeksekusi manusia tak berguna itu.

Perlahan tapi pasti, Mara telah sampai di belakang pria paruh baya itu. Tangannya mengeluarkan benda yang sering digunakan para dokter untuk memasukkan cairan bening. Masih belum sadar dengan keberadaan seseorang, pria itu masih fokus dengan benda pintar yang berada di tangannya.

Setelah menghitung sebanyak 3 kali, tangan Mara terangkat lalu menancapkan ujung benda itu pada pembuluh darah yang ada di leher. Dengan gerakan yang sangat cepat, ia berhasil mengambil benda itu lagi lalu memasukkan ke saku pakaiannya.

Merasa sakit, pria itu langsung membalikkan tubuhnya untuk mengetahui siapa yang berani menyuntiknya. Seketika itu juga matanya membulat sempurna. "K-kau? Apa yang kau lakukan disini?" Pria itu berjalan mundur, sedikit merasa takut.

"Terkejut aku bisa disini?" Mara menaikkan satu alisnya. "Kau bodoh sekal." Ia tertawa palsu, meremehkan kebodohan tergetnya.

"Bagaimana caranya tersenyum saat anakmu sudah tak bersamamu?" Ia menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan orang tuas satu ini.

Pria itu langsung mengeluarkan benda api yang selaku berada di tubuh bagian belakangnya. Menodongkan pistol itu tepat di depan Mara, hanya berjarak 1 jengkal. Begitupun dengan Mara, ia langsung membalas todongan pria itu.

"Kenapa? Terkejut ternyata aku masih hidup dan tak selemah dulu?" Mara tertawa puas melihat ketakutan di wajah pria itu. Sedangkan laki-laki itu bergidik, menyeramkan.

"Rasakan sakitnya. Kau tersiksa kan?" Mara tersenyum mengejek. "Itulah akibatnya jika bermain-main denganku."

Pria itu tak bisa bergerak. Ototnya terasa kaku, dadanya terasa sesak, kepalanya sangat sakit. Semua tubuhnya benar-benar kesakitan. Akan tetapi, tak satu pun yang bisa menolongnya.

"Selamat menikmati indahnya neraka, Tuan Edward." Mara pergi meninggalkan pria itu seorang diri. Ia berjalan keluar dari pintu utama. Menaiki tangga darurat menuju rooftop. Menunggu seseorang yang sedang perjalanan menemuinya.

"Aku sangat berterima kasih padamu karena mau membantuku mengatasi cctv dan segala sesuatu yang bisa menjadi bukti" ucap Mara saat mendengar bunyi kaki seseorang yang berhenti di belakangnya.

"It's okay. Ini pekerjaan yang sangat kecil," kata orang berkepala botak.

"Ngomong-ngomong apa kau menemukan jepit rambut yang sering ku pakai?"

"Maaf, aku tidak menemukannya. Kurasa jepit tersebut sudah diambil oleh kepolisian sebagai barang bukti."

"Baiklah, tidak apa-apa." Mara membuka seluruh pakaian luarnya. Setiap ia selesai mengeksekusi korbannya, pakaian tugasnya selalu dibakar untuk menghilangkan jejak.

Setelah menyalakan api, Mara pergi dari sana dengan pakaian yang sebelumnya sudah ia pakai dari rumah. "Ayo kita pergi!" ajaknya.

Mereka berdua berjalan beriringan. Menggunakan lift agar sampai cepat di lantai 1. "Target sisa 1. Cepat selesaikan tugasmu, agar balas dendam ini segera selesai."

"Target kita kali ini benar-benar seorang businessman yang terkenal. Ia memiliki apartemen di dalam dan luar kota. Sampai saat ini sekolah itu masih berjalan lancar seperti tidak ada ganggua. Kasus lama juga belum disinggung."

"Aku tidak masalah dengan itu. Aku ingin melihat bagaimana dunia memandangnya jika terbongkar kejahatannya." Mara tersenyum saat membayangkan orang-orang terus mengintimidasi korbannya.

"Yang pasti, tidak akan dipercaya lagi." Sampai di tempat parkir, mereka berpisah. "Sampai jupa lagi, aku akan mengabarimu jika ada waktu yang tepat untuk balas dendam."

"Baiklah. Sekali lagi, terima kasih atas bantuanmu. Jika kau membutuhkan biaya hidup, katakan saja padaku." Mara membuka pintu taksi.

"Ya. Aku akan melakukannya." Mereka berpisah

###

"Apa? Tuan Edward meninggal?" teriak Karl saat mengetahui kabar itu dari mulut Graffias.

"Bagaimana kalau kita kesana?" tanya Graffias pada kedua temannya, menatap satu per satu mereka.

"Maaf, aku tidak bisa ikut kalian. Sebentar lagi aku ada janji dengan seseorang. Ini tentang Nona Alisha. Ada yang harus aku selidiki lebih dalam." Slavik meminta maaf karena tak bisa bergabung untuk kasus pembunuhan yang baru saja terjadi.

"Tidak apa-apa. Selesaikan dulu, setelah itu kau bisa bergabung bersama kami."

Slavik mengambil jaket kulitnya yang berwarna hitam, memakainya. Menyambar kunci motornya. "Aku pergi sekarang, seseorang sudah menungguku."

"Ya, berhati-hatilah di jalan." Slavik menganggukkan kepalanya, lalu berjalan keluar dari unit apartemen Graffias.

Ia kendarai motornya menuju sebuah cafe yang tampak sepi, bukan berarti rugi. Ini karena para orang dewasa yang masih bekerja. Bisa dikatakan bahwa saat ini jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.

Di dalam cafe itu, Slavik menatap seorang wanita yang sedang duduk sendirian sambil bermain ponselnya. Ia tidak menyangka adik dari sahabatnya ikut terlibat dalam kasus Nona Alisha. Slavik berjalan memasuki cafe, duduk tepat di depan wanita itu. "Hai, Nona Savva," sapanya, tersenyum kecut.

"Kak Slavik, apa yang kau lakukan disini?" Ia masih belum menyadari bahwa sebenarnya yang menghubunginya ada sahabat kakaknya.

"Menemui seseorang yang terlibat dengan Nona Alisha Odetta." Seketika itu juga mata gadis di depannya membulat sempurna.

"Kau yang meneleponku kemarin?" Slavik hanya membalasnya dengan anggukan kepala.

Gadis itu menutup mulutnya saking terkejutnya ia. "Kak? Bagaimana bisa? Kau dan kakak sedang menyelidiki kasus pembunuhan?"

"Ya." Lagi-lagi gadis itu terkejut.

"Kumohon jangan lanjutkan." Tampak sekali ketakutan dari sorot matanya.

Alis Slavik terangkat satu. "Kenapa?"

"Dia sangat berbahaya." Ingin sekali gadis itu menceritakan semua yang terjadi padanya. Namun, ia bingung harus memulainya dari mana. Ia sangat gelisah. Takut hal buruk menimpa sang kakak.

"Kau pernah bertemu dengannya?" Pertanyaan itu sukses membuat gadis di depannya terdiam.

Berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban. "Ya," ucapnya.

Slavik mulai serius. "Apa yang terjadi? Apa dia mengatakan sesuatu padamu?" Jujur, ia juga mulai khawatir.

"Aku benar-benar takut. Dia berada dimana-mana. Dia tahu aku sedang dimana. Seperti memiliki banyak mata," ucapnya sambil melirik seluruh ruangan untuk memastikan orang yang ia maksud benar-benar tak ada disana.

"Kau percaya kakakmu, aku, dan Karl, bukan? Kami akan melindungimu." Slavik menepuk pundak gadis itu untuk sekedar menenangkan. Ia sudah menganggap gadis di depannya ini sebagai adiknya.

Gadis itu mengangguk. Ia sangat percaya pada kakaknya. "Bagaimana jika orang itu mencelakai kakak? Bahkan dia tahu namaku dan dari keluarga mana aku berasal."

"Kau tenang saja. Bukan hanya kau yang dia kenali, tetapi juga aku dan Graffias. Sedangkan Karl, entah mengapa ia tidak mengenalinya."

"Darimana kau tahu dia mengenal kalian berdua?"

"Kami bertemu dengannya saat di perkemahan musim panas."

Wanita Bergaun Biru (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang