13. Gelisah

5 4 0
                                    

Semenjak pesan itu datang, Slavik tak bisa tidur. Dia terus mencoba menutup mata, tapi inisial pengirim terus saja berjalan-jalan di otaknya. Berkali-kali ia menghela nafas untuk menyingkirkan pikiran negatif yang terus-menerus membuatnya gelisah.

Baginya, ini satu-satunya malam yang sangat panjang. Ia sempat menyelidiki nomor tersebut, tapi tak ada tanda-tanda bahwa nomor tersebut masih aktif. Tak ia temukan pemilik nomor tersebut dan dari mana pesan itu dikirim.

Menyalakan, lalu melihat pesan kemudian mematikan ponsel, ia lakukan tanpa henti. Firasatnya mengatakan bahwa ini tidak baik-baik saja. "Sial! Kapan pagi tiba," umpatnya karena merasa kesal pagi tak kunjung tiba.

Ingin sekali membangunkan kedua sahabatnya, tapi ia merasa tak tega. Ia tetap akan menunggu esok hari. Merasa bosan karena hanya berbaring di sofa, Slavik berjalan menuju balkonnya untuk sekedar menghirup udara malam yang begitu segar.

Ia duduk di lantai balkon sambil memeluk lututnya. Menatap kosong ke arah bawah. Tanpa sepengetahuannya, semu gerak-gerik yang ia lakukan selama di balkon tak luput dari pengamatan seseorang yang tempatnya tak begitu jauh dari apartemen Graffias.

Teropong terus menempel di salah satu matanya saat sang objek berada di tempat yang ia harapkan. "Ah, ternyata kau sedang melamun," katanya, tak lupa dengan seringai jahat.

Mulutnya terus menguap, rasa kantuk mulai menyerang, ia hentikan kegiatan mengamati itu. Meregangkan otot-otot tubuh yang sejak tadi ia ajak untuk bekerja. "Selamat Malam, Tuan," ucapnya sambil melihat ke arah Slavik untuk yang terakhir di malam ini.

Ia membalikkan tubuh, berjalan menuju ranjang. Mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah itu ke atas ranjang ternyamannya. "Ah, aku tidak sabar menunggu esok hari," ucapnya sambil tersenyum, sebelum benar-benar terlelap.

Esoknya, Graffias yang baru saja bangun, mengerucutkan keningnya kala melihat Slavik yang sudah rapi dengan setelah kemeja dan celana jeans hitamnya. "Kau mau kemana?" tanyanya sambil berjalan untuk mengambil air minum.

"Kembali ke tempat kemarin."

Graffias sangat bingung. "Ada masalah?" Bisa ia lihat raut khawatir di wajah tampan Slavik, saat laki-laki yang sudah siap itu mengangkat kepalanya.

"Lukisanku hilang." 2 kalimat itu sukses membuat mata Graffias membulat sempurna.

"Bagaimana bisa? Seseorang mencurinya?" Ia berjalan untuk membangunkan Karl.

"Tentu saja." Saat Slavik ingin pergi, Graffias menghentikannya.

"Kita berdua akan ikut denganmu. Tunggu sebentar."

"Ada apa?" tanya Karl yang baru saja bangun.

"Lukisan Slavik hilang. Cepatlah bersiap, kita kesana bersama." Seketika itu juga Karl segera menyiapkan dirinya. Tidak mandi, hanya menggosok gigi dan mencuci wajah. Memakai kemeja dark brownnya, lalu menyemprotkan parfum.

10 menit kemudian mereka berjalan cepat menuju parkiran. Graffias langsung melajukan mobilnya menuju gedung kemarin. "Kau pernah terlibat permasalahan dengan seseorang saat kompetisi atau sebelumnya?" tanya Graffias, matanya tetap melihat jalan.

"Tidak," jawab Slavik dengan nada yang lesu. Kemudian ia memperlihatkan pesan yang diterimanya tadi malam.

"Kau sudah melacaknya?" Karl mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik ketika ia selesai membaca pesannya.

"Sudah. Namun, tak terdeteksi. Bahkan tempat ketika dia mengirim pesan pun tak muncul."

"Bagaimana dengan orang tuamu?" Graffias khawatir jika orang tua Slavik malah memperburuk suasana hati anaknya.

"Tentu saja, kecewa. Namun, mereka terus berkomunikasi dengan panitia kompetisi."

Mobil Graffias tiba. Ketiganya langsung turun dan pergi ke lantai 3. Sesampainya disama, Slavik langsung di sambut oleh ketua pelaksana dan sang pemilik gedung.

"Maafkan kami, Tuan. Kami merasa menyesal karena tidak bisa menjaga lukisan anda dengan baik."

Kaki Slavik benar-benar lemas, akan tetapi ia paksa untuk tetap berdiri. Haruskah ia berhenti berharap jika keadaan seperti ini?

Nyonya Darya turut membungkukkan badannya. "Mohon maafkan saya, Tuan. Saya kurang bisa mengatur keamanan gedung ini hingga bisa dibobol oleh orang luar tanpa menimbulkan jejak."

Merasa tak enak, Slavik membantu Nyonya Darya dan Tuan Limof menegakkan tubuhnya. "Tidak perlu minta maaf, Tuan, Nyonya  Ini bukan kesalahan kalian. Kalian sudah bekerja keras untuk kompetisi ini dan berusaha menjaga semua karya para pelukis dengan baik."

"Mungkin memang inilah takdir yang kumiliki. Aku akan berusaha menghikhlaskannya. Namun, jika ada informasi tentang keberadaan lukisanku, kumohon hubungi aku saat itu juga."

"Baik, Tuan." Mereka kembali membungkuk untuk menghormati sang seniman.

"Bolehkan saya bertanya, Tuan?" tanya Nyonya Darya saat Slavik hendak pergi.

"Tentu saja, silakan."

"Apa anda memiliki lukisan lain? Yang mungkin bisa dipamerkan di Pameran Modkow."

"Apakah aku sungguh masih memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam Pameran Moskow, Nyonya?"

Nyonya Darya menganggukkan kepalanya. "Mungkin tidak sebagai pemenang Kompetisi Melukis Tahunan. Kami mencari beberapa lukisan para mahasiswa, akan tetapi sang pelukis harus mendapat surat rekomendasi dari pihak kampusnya. Jika anda berhasil mendapatkan surat tersebut, karya anda bisa ikut serta dipamerkan."

Slavik menganggukkan kepalanya. Ia mengambil ponselnya yang ada di saku celana jeans. Mencari sesuatu di galeri foto. "Bagaimana menurut anda tentang lukisan ini?" Slavik memperlihatkan lukisan miliknya pada Nyonya Darya.

"Kurasa ini bisa. Anda bisa mencobanya, Tuan. Lukisan ini tak kalah bagusnya dengan lukisan anda yang telah hilang," ucap Tuan Limof.

"Baik. Terima kasih atas informasinya." Kebetulan sekali ketua pelaksana pameran Moskow itu adalah Nyonya Darya.

Slavik menghampiri teman-temannya. "Bagaimana hasilnya?" tanya Graffias.

"Aku masih memiliki kesempatan, tapi harus mendapat surat rekomendasi dari pihak kampus."

Karl menepuk pundak Slavik. "Kejadian di perkemahan, kurasa bisa membantumu mendapatkan surat rekomendasi dari Profesor Ev. Saat masuk nanti, mari kita coba."

"Ya, jangan putus asa. Lukisanmu sudah menjadi lukisan terbaik di kampus kita. Tak mungkin Profesor Ev tak akan memberikannya." Graffias turut meyakinkan Slavik.

###

"Tepat sekali, dia sedang berada di Novosibirsk." Mara tersenyum saat membaca pesan dari mata-matanya yang mengatakan bahwa salah satu targetnya berada di kota yang ia tinggali.

Mara menelepon orang tersebut. "Dimana ia menginap?"

"Hotel Aquila nomor 104."

"Keberuntungan benar-benar berada di pihakku. Terima kasih atas informasinya." Setelah mendapatkan alamatnya, Mata mematikan sambungan teleponnya.

"Tak kusangka rencana ini berjalan begitu cepat." Mara segera mengemasi barang-barangnya untuk pergi ke tempat asalnya, Novosibirsk.

Menghentikan taksi yang lewat. Lalu menaiki kereta apa pun yang bisa membawanya ke Novosibirsk malam ini juga. Jika tidak ada kereta api pun ia akan mengendarai kendaraan lainnya, yang terpenting ia bisa kembali ke kota indah itu hari ini.

Wanita Bergaun Biru (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang