01

1.7K 164 4
                                    

Enjoy guys! (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

***

Malam.
Harusnya malam itu dingin bukan?
Malam itu dingin, gelap, seharusnya begitu.. bukan?
Tak seperti sekarang, terasa sangat panas. Sangat terang. Api membara di keseluruhan rumah cantik nan megah itu.

Banyak orang berseragam berlalu lalang untuk memadamkan api, maupun mengevakuasi beberapa warga yang tinggal di dekat rumah yang terbakar itu.

Suara sirine dimana mana, banyak wartawan yang memberitakan kejadian tersebut.

Seorang anak kecil berusia kisaran lima tahun itu, tengah menatap rumah cantik yang terbakar dengan nyala api yang luar biasa besarnya. Tatapan matanya kosong. Ia turut memperhatikan beberapa kantong jenazah yang dibawa oleh para polisi dan pemadam kebakaran.

"Sudah kosong!" Teriak entah siapa yang terakhir keluar dari bangunan itu.

Perlahan, air mengalir dari mata anak kecil itu. Ia menangis sembari melihat rumah nya yang sudah terbakar habis, berharap masih ada seseorang yang ia kenal keluar dari sana, namun hanya kehampaan yang menanti.

Kosong, rumah itu kosong.

Rumah? Aku bahkan tak punya rumah lagi.

Kemana aku harus kembali sekarang?

Aku sendirian?

Bukan kah aku masih sangat kecil?

Kenapa teman ku masih berada di pelukan orang tuanya, sementara aku tidak?

Kenapa aku berbeda?

Kenapa harus aku?

Kenapa?

Aku?..

Tangisan anak kecil itu semakin pecah, mengundang atensi beberapa warga dan wartawan.

Kini banyak sekali wartawan yang mendatangi nya, menanyakan pertanyaan pertanyaan yang sulit di mengerti bagi seorang anak berusia lima tahun.

Ia tak butuh orang orang ini, dia butuh pelukan hangat seseorang.

Banyak mata yang menatap nya, banyak kamera yang mengarah padanya, dia takut.

Rasanya sulit sekali betnafas, terlalu ramai.

Ini terlalu ramai.

Tolong, seseorang tolong aku..

Ia menutup matanya sembari meremas erat ujung pakaian nya, dan menunduk. Berharap semoga semua ini hanya sebatas mimpinya saja, dan seseorang akan segera membangunkan nya dari mimpi buruk itu.

"Tenang lah.."

Anak itu kembali membuka matanya. Kini, ia ada di gendongan seorang pria manis berambut merah. Mata Phoenix nya yang terang itu menatap nya dengan lembut. Salah satu tangan pria itu terulur mengelus kepala anak di gendongan nya, sembari ia terus berjalan menjauhi kerumunan wartawan, dan mendekati mobil ambulan.

Ia membawa masuk anak di gendongan nya ke dalam mobil ambulan, dan mendudukan anak itu di pangkuan nya.

Para petugas medis segera mengecek kondisi tubuh anak yang masih berada di pangkuan pria tadi dengan seksama.

"Maaf, apa anda walinya?" Tanya seorang petugas medis pada pria itu.

"Saya Harris C. Chana kebetulan saya tinggal di sebelah rumah anak ini. Orang tua nya cukup dekat dengan saya" jelas pria bernama Harris itu.

"Baik. Dia mengalami shock berat, seperti nya akan ada trauma besar dalam dirinya. Tak ada luka fisik, namun tetap harus dalam masa pantau medis." Jelas petugas medis

Harris mengangguk mengerti. Ia memeluk tubuh mungil anak kecil di pangkuan nya sembari bersenandung pelan. Suara lembut yang keluar dari Harris seakan akan meredamkan suara bising nya dunia yang sibuk itu.

"Tenanglah, Garin.. aku janji, semuanya akan baik baik saja.." bisik Harris di sela sela senandung nya.

Garin, anak kecil yang sedari tadi masih setia berada di pangkuannya, kini mengangguk pelan sembari membenamkan kepala nya di dada Harris. Ia kembali menangis sesenggukan.

Namun kini bukan karna kesedihan. Ia menangis karna merasa lebih tenang dari sebelum nya.

Perlahan, ambulan berjalan menjauhi tkp kebakaran itu, dan perlahan juga Garin mulai kehilangan kesadaran nya.























































[Rumah Sakit Anastasia] 09.17 AM

"Saya akan mengangkat Garin menjadi anak saya, jadi biar saya yang membayar biaya pengobatan nya"

Sang dokter mengangguk mengiyakan pernyataan dari Harris. Kini pria manis itu tengah mengobrol dengan sang dokter di luar ruang IGD.

"Sebelum nya, maaf tuan Chana. Ananda Garin masih disarankan untuk sementara waktu di rawat di Rumah Sakit, kami perlu melihat perkembangan dan kesehatan mental nya karna usia ananda Garin yang terbilang sangat muda. Apa anda berkeberatan?"

"Tidak, tolong segera siapkan kamar untuk nya. Kalau bisa jangan ruangan yang sempit dok, apa ada?"

Dokter itu berfikir sejenak, lalu mengangguk. "Bagaimana dengan ruangan VIP, tuan Chana?"

"Baik. Akan saya urus pembayaran nya segera dok"

Dokter itu mengangguk, lalu meminta salah satu perawat untuk mengantarkan Harris ke Administrasi untuk melakukan pembayaran.

Setelah selesai dengan semua itu, para perawat yang di perintahkan untuk membawa Garin ke ruangan belum juga datang sembari membawa anak itu. Akhirnya Harris kini kembali ke ruang IGD, dan disana ia melihat Garin yang sudah bangun, dan sedikit membuat kekacauan.

Anak itu melempar banyak barang ke arah perawat, menolak di sentuh atau di periksa. Dia tampaknya sedikit panik saat para suster datang untuk membawanya pergi.

"Shh.. Garin, no no.." Harris datang dengan pelan dan langsung mendekat pada Garin, perlahan ia mengelus kepala anak itu.

Garin yang melihat kedatangan Harris langsung terdiam, dan memeluk pria itu erat. Ia tentunya ingat siapa semalam yang menolong nya keluar dari mimpi buruk yang nyata itu. Karna saat dengan pria manis ini, Garin selalu merasa aman. Feeling seorang Garin Marthini entah kenapa selalu tepat sasaran.

"Jangan usir Garin.. jangan.." perlahan air mengalir dari mata anak bersurai hijau itu. Ia kembali menangis terisak di pelukan Harris.

"Ututututuu... Ga mungkin aku ngebuang kamu, Garin.. tenang ya? Kamu cuma mau di pindahin ke ruangan yang lebih tenang lagi. Disini kan rame.. takutnya nanti masa pemulihan kamu ke ganggu sayang.." Harris mengelus lembut kepala Garin sembari menenangkan anak itu.

Garin mendongak untuk menatap Harris dengan mata besarnya yang berkaca kaca itu. Membuat Harris mau tak mau dibuat gemas oleh nya.

"Kamu kenapa, hmm?.." tanya Harris lembut sembari tersenyum tipis.

"Janji.. jangan tinggalin Garin.. ya?.."

Harris tersenyum lembut, lalu mengangguk, dan ia memberikan jari kelingking nya pada Garin.

"Kamu tau janji jari kelingking, Garin?"

Garin memperhatikan tangan Harris, lalu ia menggelengkan kepala nya pelan, tanda ia tak paham. Harris terkekeh pelan, lalu mengikat jari kelingking nya dengan milik Garin.

"Begini. Sekarang, janji aku udah terikat. Berarti gabisa di langgar~" jelas Harris pada anak di hadapan nya.

Mendengar itu, mata Garin berbinar. Ia langsung tersenyum sembari mengeratkan ikatan jarinya pada jari milik Harris.

"Mm!.. " angguk Garin dengan semangat sembari tersenyum manis.













End of chapter 01
...
..
.

Stay away from my mom, guys! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang