STEV POV
Menjadi mahasiswa semester ahir memang bukan suatu yang menyenangkan. Ini bernar-benar menguras tenaga. Jika di izinkan aku harap bisa melewati fase membosankan seperti ini. Benar-benar menghabiskan waktu dan akal. Oh, seandainya aku tak menginginkan masa depan yang sukses, nilai yang fantastik, dan memikirkan nama baik keluarga aku pasti tak akan mau melakukan ini. Seandainya mahluk ciptaan tuhan yang sempurna dimataku itu tak ada di beberapa kelas tertentu, mungkin aku sudah mati karena lelah. [haha lebay banget]. Waktuku tinggal sebentar untuk berada di Indonesia. Selesai kuliah aku akan pulang dan melanjutkan magisterku di New York seperti yang Daddy minta. Aku meraih ponselku, menggeser layarnya untuk mencari galery. 'Waktu yang indah'
***
ANZA POV
"dek, kapan sih Bunda sama Ayah pulang dari Paris ?"-"gak enak ya dirumah berdua doang, sibuk sama tugas kuliah yang segudang" suara Anza yang terdengar putus ada.
"gue enak aja tuh. hahaha" ledek Abra.
"yaiyah lah lu enak, ada Elif sih. Nah gue ? Gak ada yang bisa diajak jalan. Lissa, Rio, Ian juga sibuk nyusun skipsi." curhat Anza sambil menyandarkan kepalanya dibahu Abra.
"makanya kak, lu itu jangan kelamaan jomblo. Nyari noh cowok yang kaya gue. Cakep, keren, mapan, masa depan cemerlang, calon dokter impian semua wanita. hahaha. Eh tapi gausah nyari deh kak. lu tuh cantik. Masa iya lu duluan yang ngejar-ngejar cowok" jawab Abra dengan kepedean tingkat tinggi dan yang ya that's right. Abra adik satu-satunya yang paling aku sayang.
1). Dia cakep, banget! iyalah ayah bunda diciptakan sempurna, ayah yang sangat tampat, bunda yang seperti gula, pastilah anaknya jadinya gini [gak sombong loh ya].
2.) Mapan ? entahlah. Aku bukan menyombongkan diriku karena dilahirkan menjadi orang kaya. aku bersyukur dengan hal ini. Don't forget, tanpa Ayah yang berjiwa bekerja keras memula bisnisnya. Kita tak akan senikmat ini menikmati hidup. Thanks for everything my hero *peluk cium ayah* [just imajination]
3.) Masa depan cemerlang ? good. Setelah menyelesaikan kuliahnya dia akan langsung bisa bekerja di rumah sakit milik nenek yang dikelola Om Dika - adik bunda.
4.) Calon dokter impian semua wanita ? yap! kecuali aku sih. Sebenernya kebalik yakan ? seharusnya aku yang calon dokter, secara aku ber-gender perempuan, dan Abra yang aka melanjutkan profesi Ayah. Kenapa aku yang ngewarisin ayah jadi CEO. Title CEO is not easy.
"dek, lu inget ga cowo yang jemput gue dulu itu ?" tanyaku dengan sejuta pikiran melayang entah kemana yang masih tak mau berpaling dari bahu Abra.
"yang mana ? yang ngobrol sama ayah ? inget. Tapi gatau orangnya sih. kenapa emang ? jawabnya enteng sambil mengotak atik laptop di pangkuannya.
"iya, ngobrol apaan ya sama ayah." Anza menutup matanya, memutar kembali waktu itu.
*FLASHBACK*
Tit tit ..
suara klakson mobil terdengar dari luar gerbang. Aku melihat jam diponsel 'masih jam 4' tapi Stev udah jemput. Aku segera menyelesaikan mandiku dan segera kebawah. Saat keluar kamar mandi ternyata bunda sudah berada dikamarku. Aku tersenyum pada bunda dan berlalu menbuka lemari. Mengeluarkan semua isi lemari, memilah-milah yang pas untuk jalan sama Stev. Aku harus tampil cantik malam ini. Aku terduduk frustasi dirajang, setelah beberapa menit aku ragu memakai baju yang mana. Bunda yang melihatku kemudian menghampiriku, berdiri didepanku sambil menyentuh pipiku dengan kedua tangannya.
"anak bunda. liat bunda" tanpa menunggu waktu lama aku menuruti kata bunda. Aku mentapnya penuh harap dan ragu-ragu.
"Anza bingung bun, mau pakai baju yang mana. Bunda tau, ini pertama kalinya anza merasakan setertarik ini pada laki-laki setelah patah hati bertahun-tahun lalu. Aku gak mau terlihat gak sempurna dihadapanya bun" jelas Anza.
"Bunda tau Anza, kamu anak bunda. Gimana bunda gak tau hal itu sayang. Bunda tau kok" kata bunda lembut penuh sayang "Tapi inget sayang. Cinta tak memandang siapa yang dihadapannya. Cinta senantiasa merasakan hatinya" bunda menghentikan bicaranya sebentar, lalu melanjutkannya lagi "Kalau dia tidak melihatmu cantik berati dia buta" candanya tertawa dan memilihkan baju untukku. Dress warna biru soft yang beberapa centi diatas lulut, berlengan panjang. Oke selera bunda sangant anggun. Aku memakainya dan bercermin 'manis'. Bunda membantuku menata rambutku yang berwarna coklat, aku hanya menguncir kuda rambutku, itu membuatku lebih santai dengan make-up tipis natural. terahir, aku memilih sepatu sneakers soft pink dan dengan tas kecil yang menjuntai disisi bahu kiriku. Sekali lagi aku bercermin memastikan tak ada yag kurang dariku.
Aku dan bunda menuruni tangga, terdengar suara ayah berbincang bincang ramah seperti berbicara padaku dan Abra.Ya, itu suara Stev. Kulangkahkan kakiku pasti seperti menata hatiku.
"Hai ayah. hai Ed" sapaku malu-malu pada mereka. Aku mencium pipi ayah sambil berbisik "yah, bolehkah bersamanya?" suaraku pelan sangat pelan. Stev meminta izin untuk mengajakku jalan. Om Derga memberi ijinnya asal Aku dibawa kembali dengan utuh dan satu lagi, Tak boleh macam-macam sedikitpun. Haha memang seperti itulah seharusnya seorang ayah. Harus protectiv kepada anak perempuannya, apalagi perempuan sepertiku yang cantik jelita [haha].
Aku dan stev berjalan beriringan menuju mobil. Tak butuh waktu lama untuk menghilang dari halaman rumahku.
''mau kemana kita ?'' tanyaku sambil menatapnya yang tengah sibuk berkonsentrasi mengemudi. Tak ada jawaban. Aku menatapnya, Seakan tak mau mensia-siakan waktu ini. Merekam jelas mahluk dihadapanku ini.
Matanya biru sebiru langit sangat indah.
Bulu mata lentik yang membuatku iri.
Hidungnya mancung yang ingin sekali kucubit.
Bibirnya tipis, kurasa aku ingin menciumnya.
Alis mata tebal, aku ingin menyentuhnya.
*to be continue*
Please Comment And Vote ...
Sorry about typo everywhere haha..
- PGD -
KAMU SEDANG MEMBACA
White Shadow
RomanceKatanya cinta butuh perjuangan Mungkin rasa ini yang banyak orang sebut dengan cinta Bertahun tahun penantian Bertahun tahun bertahan Rindu membara tak ada yang bisa memadamkan Hari demi hari Detik demi detik Aku membiarkan hatiku mati oleh rindu Ta...