Harapan?

559 40 0
                                    

๋࣭ ⭑

Setelah pertemuan itu, sudah satu bulan berlalu, dan banyak hal telah terjadi. Naru merasa perlu menjauh sejenak dari Bimo dan Vito, meskipun hatinya rindu dengan kehadiran Vito. Kini, di sela-sela jam istirahat, Naru duduk di meja dekat jendela bersama Kenzie. Ia merasa perlu berbicara dengan temannya.

"Ji, lo kan temen gua," ujar Naru membuka percakapan.

"Iya, terus?" Kenzie menatapnya sambil mengangkat alis.

"Lo bener temen gua kan, Ji?" Naru melanjutkan dengan nada sedikit ragu.

"Menurut lo?" Kenzie membalas, sedikit nada kesal.

Naru menghela napas, mencoba memulai dengan hati-hati. "Ji, gua mau nanya deh. Nih ya, gua punya temen, panggil aja Ruma. Jadi, ada suatu hari si Ruma ini kenalan sama orang kaya. Nah, si Ruma bisa kenalan karena dia deket sama anaknya orang kaya itu. Terus tiba-tiba, Ruma di ajak nikah orang kaya itu."

Kenzie menyimak dengan seksama, lalu menanggapi, "Jadi, si Ruma di ajak nikah sama om-om gara-gara dia deket sama anaknya?"

"Iya, singkatnya begitu," Naru mengangguk.

Kenzie tiba-tiba menyipitkan mata, "Siapa namanya cowoknya, Ru?"

Naru terkejut, merasa terjebak. "Hah? Ehmm, gak tau siapa ya namanya... Temen gua lupa bilang."

Kenzie tertawa kecil. "Kapan lo di ajak nikahnya?"

"Hah? Kok jadi gua? Bukan gua, Ji, temen gua."

Kenzie tersenyum. "Gak usah ngelak deh. Lu udah tiga kali manggil gua ke sini cuma buat bahas nikahan temen lu yang entah dari mana. Gua kenal lu bukan sehari dua hari, ya Ru."

Naru menundukkan kepala. "Iya, gua yang di ajak nikah."

"Sama siapa?" tanya Kenzie, penasaran.

"Lo inget kan anak kecil yang suka gua ceritain? Bapaknya yang ngajak gua nikah."

"Bocah yang teriak-teriak?" Kenzie mengulang dengan nada kaget.

"Iya," Naru mengangguk pelan.

"Buset, berani juga itu orang," ujar Kenzie sambil tertawa.

Naru hanya bisa menghela napas. "Gua gak tau, Ji. Gua harus kasih jawaban apa. Yang mau atau enggaknya itu ada di gue sendiri, tapi gue takut. Kalau gue gak cinta, gak usah nikah, kan?"

Kenzie menepuk bahu Naru, "Iya, Ru. Dengerin kata hati lo. Jangan paksa diri lo untuk sesuatu yang lo sendiri gak yakin."

Naru mengangguk, merasa sedikit lega. "Makasih ya, Ji. Maaf juga udah bohongin lo dua kali."

"Bapaknya cakep? Gantengan mana ama gua?" tanya Kenzie sambil mengangkat alis, mencoba meredakan suasana dengan sedikit bercanda.

Naru tertawa kecil, "50-50 lah, tapi gua tetep cakepan gua aja si."

"Geli banget, dah. Sana, buatin gua vanilla latte cepet!" Kenzie bercanda sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Iya, iya," Naru tertawa sambil beranjak menuju dapur kafe.

Waktu terus berjalan, dan meski shift Naru sudah selesai, pikirannya masih dibayangi oleh percakapan serius dengan Bimo. Setiap kali ia mencoba untuk mengabaikannya, ingatan akan pembicaraan itu selalu kembali, mengganggu ketenangannya.

marry a rich man | minwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang