Konflik

588 44 1
                                    

๋࣭ ⭑

Sudah hampir tiga jam lamanya Naru mencari keberadaan sang Ayah. Akhirnya, ia menemukannya di sebuah bar besar di tengah kota, tak jauh dari kafe tempatnya bekerja. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat sosok yang dia cari, duduk di antara teman-temannya, tertawa tanpa beban.

Benar saja, surat itu ada di sana, di atas meja yang dikelilingi mereka. Pandangannya mengunci pada surat itu, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan mendekat, wajahnya memerah oleh amarah. Tanpa kata, ia meraih kertas itu dari meja.

Ayahnya terkejut, ekspresinya berubah dalam sekejap. Wajahnya menegang, merasa harga dirinya dipertanyakan di depan teman-temannya.

"Apa-apaan lo?" suara kencang dan tajam, penuh dengan amarah.

Naru menatap langsung ke matanya, tanpa gentar. "Ayah yang apa-apaan! Ini bukan punya Ayah." Dia tunjukkan surat itu, jari-jarinya gemetar.

"Anak kecil gak usah ikut campur urusan orang dewasa! Siniin suratnya!" Ayahnya berdiri, tubuhnya menegangkan otot-otot yang seakan siap menyerang.

"Gak! Ini hak Naru, bukan hak Ayah!" Naru berusaha menahan suaranya tetap tegas meski dadanya bergemuruh.

Wajah Ayahnya semakin mengeras, amarahnya mendidih. Dalam satu gerakan cepat, dia menarik kerah baju Naru, menyeretnya ke gang belakang bar. Di sana, hanya ada mereka berdua, dikelilingi oleh tembok dingin dan bayangan yang samar-samar.

"Lo pikir lo siapa, berani ngelawan gue?" suaranya dingin, hampir seperti desis ular. "Lo masih anak kecil yang gak ngerti apa-apa!"

Naru merasakan dinginnya tembok di punggungnya saat Ayahnya mendorongnya ke sana. Namun, ia tak mundur, meskipun hatinya berdegup kencang. "Naru gak akan biarin Ayah ambil hak Naru lagi. Naru udah cukup sabar, tapi sekarang, ini waktunya buat Naru."

Tatapan Ayahnya menusuk, tapi Naru tetap tak mengalihkan pandangannya. Di balik semua ketakutannya, ada tekad yang tak bisa ia goyahkan.

Wajah sang Ayah semakin memerah oleh amarah yang membara. Dalam sekejap, ia mengayunkan tangannya, menampar pipi Naru dengan keras. Tamparan itu diikuti oleh tinju yang meluncur cepat ke arah yang sama, menghantam rahang Naru dengan kekuatannya. Naru terhuyung ke belakang, lututnya lemas, hampir jatuh.

Namun, meski rasa sakit menjalar, Naru tak mau menyerah. Dengan tekad yang menyala, ia balas menampar sang Ayah. Gerakan itu mengejutkan sang Ayah, membuatnya mundur selangkah, tatapannya berubah marah sekaligus bingung.

"Oh, udah berani lo nampar orang tua lo, hah?!"

Naru tak menahan diri lagi. "Sejak kapan? Sejak kapan Ayah itu orang tua Naru? Ayah gak pernah ada buat Naru! Gak ada hak buat ngatur hidup Naru lagi!"

Ayahnya membeku sejenak, mungkin untuk pertama kalinya mendengar Naru berbicara dengan begitu banyak kemarahan dan kebencian. Tapi, bukannya mendingin, amarahnya justru makin memuncak. Dia meraih bahu Naru dengan kasar, mencengkeramnya erat.

"Sok tau lo! Lo pikir lo bisa hidup tanpa gue? Semua yang lo punya sekarang itu karena gue!" Teriaknya, nafasnya berat dan liar.

Naru tak gentar, meskipun cengkraman itu menyakitkan. "Semua ini? Semua ini bukan karena Ayah! Naru dapetin ini semua sendiri. Dan Naru gak butuh apa-apa dari Ayah lagi!"

"Seharusnya Ayah yang mikir!" Naru berteriak, suaranya bergetar oleh emosi yang selama ini terpendam. "Kenapa Ayah bisa sejauh ini? Coba Ayah pikir, siapa yang bayar utang ratusan juta Ayah di luar sana kalau bukan Naru? Naru mati-matian kerja, pulang sekolah sampe pagi lagi, demi siapa? Demi Ayah, biar Ayah gak ganggu kehidupan Naru sama Ibu!"

marry a rich man | minwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang