6 [Perpustakaan]

13 7 3
                                    

happy reading and enjoy, don't forget to vote and comment;)
.

.

.

.

.

.

Menghela nafas saat melihat bangunan tua yang cukup besar berwarna coklat. Tertera di depan pintu masuk bangunan tersebut 'perpustakaan'.

Owen, sudah cukup lama berdiri di depan bangunan perpustakaan kota tersebut. Dia malas untuk masuk mencium bau buku-buku tua ataupun yang baru.

Dengan berat hati dia masuk ke dalam perpustakaan. Dengan tangan yang dia selipkan ke dalam saku celananya, manik emasnya melirik sekitar. Bukan tanpa alasan Owen berada di sini sekarang, dia akan menemui seseorang.

Sangat sunyi dan damai. Memang seharusnya begitu perpustakaan. Saat sudah menemukan orang yang sedari tadi dirinya cari tengah bersusah payah mengambil salah satu buku di atas rak yang cukup tinggi.

Dia bersandar pada rak buku, memperhatikan gadis yang masih berjinjit-jinjit untuk mengambil buku. Sebuah senyum tipis terpampang diwajahnya.

Setelah puas melihat bagaimana gadis itu melompat-lompat sedikit dan terus menggerutu. Akhirnya Owen berjalan mendekati gadis tersebut, tangannya terulur mengambil buku yang gadis itu coba ambil.

Gadis itu, Ellia. Dia terkejut saat merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya, dan tangan kekar yang terulur mengambil buku yang tidak dalam jangkauannya itu.

Dia mendongak melihat wajah Owen yang terlihat datar dan menyebalkan dimatanya. Dengan refleks dia mendorong tubuh tinggi Owen, meski itu tidak berdampak banyak pada tubuh Owen.

"Aku tau kau bodoh, tapi setidaknya gunakanlah mulutmu untuk meminta tolong kepada orang lain jika kau tidak dapat menggapai ini." Disodorkannya buku yang telah dia ambil barusan.

Ellia berdecak kesal, bibirnya mengerucut dengan tangan yang terulur untuk mengambil buku dari tangan Owen.

Kenapa pria ini selalu berbicara ketus padanya? Itu sangat menyebalkan! Sebelumnya selama dia di sekolah menengah tidak ada pria yang berani berbicara ketus bahkan mengejeknya. Karena dia cantik. Semua pria di sekolahnya dahulu menggangguminya dan berbondong-bondong agar menjadikan kekasihnya.

Ellia memilih mengabaikan pria menyebalkan ini, dia berjalan mencari tempat duduk yang pas untuk dirinya membaca buku. Setelah menemukan tempat yang pas dia segera mendudukkan dirinya di sana.

Owen menatap punggung sempit itu, dia terdiam masih berdiri ditempatnya dengan pandangan yang terus memperhatikan Ellia. Tanpa sadar dia terkekeh saat melihat reaksi Ellia yang sangat sombong itu.

Perasaan yang sangat amat familiar ini kembali lagi, kiranya sudah sejak 20 tahun lalu dia merasakan perasaan bahagia dan hangat pada hatinya.

Dengan langkah santai dia mendekati Ellia, tangannya tidak kosong tadi dia sempat mengambil asal buku yang ada dirak.

Tanpa meminta izin dia segera mendudukkan dirinya di depan Ellia, yang berbatasan dengan meja. Sebelum membuka bukunya, dia memperhatikan bagaimana kefokusan Ellia saat membaca. Terlihat cantik dan damai.

Lama memperhatikan Ellia, dia sempat memikirkan hal apa saja yang harus dia lakukan bersama Ellia. Yang jelas dia tidak ingin membuat kenangan yang sulit dilupakan, karena itu akan menyakitinya.

Menghela nafas berat dan membuka bukunya. Tidak benar-benar membacanya, dia hanya menatap huruf-huruf didalam buku tersebut, dengan pikiran yang tidak berada di tempatnya. Dia harus menerima bahwa waktunya dengan gadis di depannya ini hanya lima bulan. Sangat singkat!

"Ternyata kau benar-benar tidak memiliki rasa berterima kasih, ya?" sindir Owen.

Ya, setidaknya dia harus menghibur orang yang akan tiada ini. Dia harus memberitahu beberapa dosa dan juga sikap Ellia yang buruk, Ellia belum cukup mengerti apa arti kehidupan.

Ellia mengangkat kepalanya, kefokusannya buyar saat mendengar suara tidak asing dipendengarannya. Alisnya menukik tajam dengan sorot mata menatap tidak suka.

Perlu diketahui bahwa Ellia adalah termasuk katagori manusia paling fokus saat membaca buku. Dia bisa tidak memperhatikan sekitar jika benar-benar kefokusannya sedang berada pada buku yang dia baca.

"Hah?! Apa-apaan itu! Kau tau kata-katamu itu sangat jahat!" ketus Ellia.

"Bagaimana? Jahat? Tidak kah kau harus bercermin?" tanya Owen.

Ellia menggeram tidak suka. Tangannya terkepal kuat, selama dia hidup baru kali ini dia mendengar seorang pria seperti merendahkannya. Bukankah sudah dikatakan bahwa Ellia adalah Dewi yang dipuja oleh kaum pria.

"Bajingan kau! Tidak ada yang pernah seorang pria berkata kasar kepadaku bahkan, Papaku, sekalipun!! Kau tau aku adalah Dewi kecantikan yang dikagumi oleh semua pria!" desis Ellia.

Dia masih sadar diri bahwa tidak boleh berisik di dalam perpustakaan, itu sebabnya dia mengecilkan suaranya dan tidak berteriak.

Owen membuang nafasnya kasar. Inilah salah satu sifat manusia yang buruk, dia terlalu membanggakan dirinya hingga tidak pernah melihat ada orang lain yang tersinggung oleh perbuatannya.

"Kupikir umurmu sudah cukup dewasa untuk memahami semua itu. Kau bodoh, payah, sombong dan angkuh. Dengar, para pria itu hanya jatuh cinta pada kecantikanmu, jika mereka melihat buruk rupamu, apakah pria itu masih akan terus menganggumimu? Aku juga seorang pria aku lebih memahami apa motif tersembunyi para pria," jelas Owen.

Setidaknya ada sedikit kesopanan pada diri Ellia, gadis itu tidak memotong sama sekali ucapannya. Meski dapat dilihat bahwa wajah Ellia sudah memerah padam menahan kekesalan.

Ellia yang mendengar penuturan pria di depannya ini merasa tertohok. Dia merasa harga dirinya diinjak-injak sekarang, ini sungguh penghinaan dalam hidupnya.

"HAH?! Kau hanya orang asing yang tidak tau apapun tentangku!! Jangan bicara seolah-olah kau ini mengetahui semua hal di dunia ini, aku benar-benar muak bertemu denganmu!!"

Ellia sudah sangat marah dia beranjak dari duduknya. Menatap tajam Owen yang bahkan sedari tadi hanya fokus pada buku. Bahkan pria itu berbicara tanpa menatap dirinya, benar-benar membuat Ellia marah.

Owen terkekeh melihat kepergian Ellia. Dia bersandar pada sandaran kursi. Menatap kosong ke arah di mana tadi Ellia hilang dimakan jarak.

Entah keberapa kalinya untuk hari ini, Owen menghela nafas kasar. Dia bersenandung pelan. Otaknya berputar untuk mendekati Ellia, haruskah dia mendekatinya dengan cara lembut? Tapi bisakah?

Ah, jika dipikir-pikir dia juga sedikit merasa bersalah. Kata-katanya terlalu kasar, dia menyadari itu. Bagi Ellia orang yang mudah tersulut emosi kata-kata seperti itu bukanlah pilihan yang tepat.

"Astaga, aku harus melakukan apa? Satu lagi manusia yang sulit dipahami," gumamnya.

Dia kembali membaca bukunya. Kali ini lebih fokus, sejujurnya dia tidak menyukai perpustakaan ataupun buku. Tapi suasana di perpustakaan ini membuatnya terlena. Sangat sunyi dan damai.

Tanpa sadar dia telah menyelesaikan buku yang dia baca. Menutupnya dan menghela nafas, meregangkan sedikit otot-ototnya yang terasa pegal.

Manik emasnya bergulir menatap keluar jendela yang kebetulan dia duduk disisi jendela. Langit di luar sudah mulai gelap, dan itu artinya dia harus segera kembali ke tempat tinggalnya untuk beristirahat.

"Ayolah, waktu ku dengan gadis itu hanya sebentar. Baiklah, Owen! Ayo tidur saja jangan terlalu memikirkan orang yang tidak lama lagi akan tiada!" Owen menampar pipinya sendiri. Lalu berdiri dan berjalan keluar meninggalkan perpustakaan.

***

Alhamdulillah bisa doubelup, baca dri chp 5 ya trs ini. terima kasih ;)

Eternity and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang