Happy reading and enjoy, don't forget to vote and comment;)
.
.
.
Semilir angin sore menyapu dedaunan dan rumput di atas bumi, suara deritan pohon bambu yang memekakkan telinga dan daun-daun di atas pohon yang berseru pelan.
Owen Phoenix, terduduk merenung di atas dahan besar yang cukup tinggi dengan kaki yang terangkat sebelah, pipi yang disangga oleh tangannya. Kaki sebelahnya yang bebas berayun bosan di bawah sana.
Pupil emasnya terlihat mengkilat tersorot sinar matahari terbenam, sebuah senyum tipis dia bentuk dibibir tebalnya. Matanya beberapa kali berkedip sehingga bulu mata yang lentik terlihat indah bergerak.
Rambut berwarna coklat terang sedikit berantakan ditiup angin, kedua tangannya kini merapihkan rambutnya yang sangat berantakan.
Hanya berdiam diri melamun melihat perkotaan di atas sini, sangat membosankan sekali. Dia menghela nafas berusaha menghalau rasa bosannya.
"Kenapa tidak mencoba ke kota lagi? Bukankah sudah cukup lama untuk melupakan keluargamu yang terakhir?" Sebuah suara lembut dan ringan menyapa pendengaranya.
Pupil emas itu beralih ke bawah, menatap seseorang yang bersandar dibatang pohon tersebut.
Tidak terlalu terlihat wajahnya karena orang itu menundukkan kepala, hanya terlihat surai putih yang panjang terurai begitu indah saat tertiup angin.
Owen meloncat hingga kakinya menapak di atas rerumputan, menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tangan yang disimpan di pinggang sebelah.
"Hum ... Kupikir sudah 20 tahun lalu kan, Pak Tua?" tanyanya.
Si surai putih panjang itu mendongak menatap Owen yang berdiri di depannya. Terlihat sedikit keriput diwajah yang dulunya sangat tampan. Pupilnya yang hitam tidak terlalu terlihat dengan jelas karena matanya menyipit dan juga terhalang kacamata tua.
Pria sepuh itu berdehem. Lalu berkata dengan nada merajuk, "Itu sudah sangat lama. Bahkan umurmu lebih lama dariku, jadi jangan berlagak kau ini masih muda dasar bajingan tidak tau malu!"
Owen terkekeh, dia beranjak mengambil duduk di samping sang kakek tua tersebut. Kakinya terlipat bersila, punggungnya bersandar dengan malas dibatang pohon yang besar tersebut.
"Tapi wajahku masih terlihat muda tidak sepertimu yang sudah banyak sekali kerutan diwajah," gurau Owen.
Jasper, seorang pria yang sudah berumur sekitar 80 tahun. Rasanya Owen sangat puas ketika mengejek pria tua di sampingnya ini, meski sudah tua Jasper masih saja selalu merajuk dan kekanak-kanakan.
"Sialan kau bajingan abadi!" umpat sang kake.
Owen tertawa ringan, matanya begitu kosong menatap jauh ke depan. Melihat matahari terbenam di pegunungan sangat menyenangkan, tapi juga rasanya sangat bosan terus-menerus mengulangi hal yang sama.
"Tidak boleh mengumpat pada Dewa," pungkas Owen.
Jasper hanya merengut kesal, matanya yang sudah menyipit itu semakin tertutup saat dia memicing tajam. Menengok untuk menatap Owen, memperhatikan wajah pria di sampingnya dengan seksama. Setiap melihat wajah pria ini rasanya Jasper sangat ingin mengutuk dan memukulnya, namun dia tidak akan pernah melakukan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity and Destiny
FantasySebuah kebetulan, seseorang yang memiliki keinginan akan keabadian hidupnya dan seseorang yang ingin keabadiannya segera berkahir. Bertemu menjadi teman, sahabat, dan kekasih. Berbagi cerita yang begitu menyenangkan, dan menyedihkan. Bercengkrama da...