"Aku ditolak lagi?"
Lirih Hana kecewa. Ia sudah mencari dan mengirim artikelnya ke banyak jurnal untuk diterbitkan. Ia cemas sebab sampai hari ini belum ada jurnal yang menerima artikelnya. Hana menepuk dadanya, sesaknya entah kapan bisa sembuh.
"Hana, fokus! Kita latihan buat test Bahasa Inggris aja dulu. Masih ada beberapa jurnal yang belum membalas email, Ya Allah, tolong hamba. Tolong hamba Ya Allah. Semoga diterima."
Bisiknya seorang diri. Hana menggunakan waktunya untuk persiapan sidang. Bersama kesendirian, musik provokatif dari Golden X, tidak lupa kopi. Beberapa hari ini jadwal makannya semakin berantakan. Rea yang selalu mengomelinya agar ia makan sudah pulang. Teman-temannya sudah pulang ke kampung masing-masing. Bahkan satu kost kosong, hanya Hana seorang yang masih di kostan.
Setiap malam Hana melakukan penghukuman, guna melepas sakitnya. Kemudian paginya merasa kesepian lagi meski malam sudah cukup lega. Hana suka kesunyian, tapi juga tidak. Hana benci keramaian, tapi juga tidak. Hana ingin mati, tapi juga tidak.
Ia sudah gagal mendapat pemotongan UKT. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya karena hal itu. Sebenarnya kapan ia pernah memaafkan dirinya? Sekarang ia mengusahakan agar bisa mengikuti sidang skripsi sebelum semester delapan. Ia selalu menerbangkan harapan-harapan pada Tuhan. Ia sungguh berharap rintihannya didengar.
Kamar Hana berserakan, laptop, lembaran-lembaran kertas, buku untuk ujian Bahasa Inggris, pena, dan benda-benda lainnya bertebaran di kamarnya. Tidak hanya kamarnya yang kacau, kepalanya jauh lebih parah kacaunya. Ia sangat khawatir tidak bisa mencapai targetnya. Ia sangat takut gagal lagi. Setiap hari ia hanya tidur dua jam. Malah ada satu hari penuh tidak tidur sama sekali.
Sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela yang sedikit tersingkap. Selama Rea pulang, Hana sama sekali tidak keluar kamar. Jendela kamar pun tidak ia buka. Ia mengisolasi diri, menghindari bertemu dengan manusia lainnya, menutup diri dari dunia luar. Meskipun semua tertutup, Hana masih bisa mendengar bisikan orang di sekitar tentangnya. Bohong jika ia bilang tidak peduli. Prioritasnya sekarang menutupi luka untuk sementara.
Tangan Hana penuh coretan yang ia buat sendiri. Kaki pun tidak luput dari coretan. Saat akan shalat ia menghapus coretan itu.
🥀🥀🥀
Musik hip-hop menggema memenuhi kamar, sehingga ia tidak mendengar suara lain. Makeup sudah menempel paripurna di wajahnya. Pakaian berwarna abu-abu dan hijab berwarna lebih cerah sudah membalut tubuhnya. Tidak lupa dengan cincin di jari telunjuknya.
Ia akan mengikuti ujian Bahasa Inggris, ia berharap besar bisa lulus ujian agar tidak mengulang. Karena diwajibkan membayar di ujian berikutnya. Hana menghitung-hitung pengeluaran yang sudah dikorbankan orang tuanya selama kuliah.
"Hah, aku sangat merepotkan. Coba aja ngga terlahir di dunia ini ya kan?"
Gumamnya seraya berkaca.
Ia memikirkan biaya-biaya yang sudah keluar, dan yang akan keluar. Uang penerbitan artikel yang tidak kecil, biaya ujian Bahasa Inggris jika tidak lulus, dan pengeluaran lainnya. Memikirkannya saja sudah berat. Ia sempat berpikir untuk membayar semuanya dengan uang yang ia hasilkan agar tidak terlalu membebani, tapi ibunya sudah lebih dahulu mengetahui pengeluaran-pengeluaran itu. Bukan karena beliau seorang guru atau karena pernah kuliah. Melainkan sebab rekan sesama guru di sekolah kebetulan juga memiliki anak yang kuliah di kampus yang sama dengan Hana. Jadi ibunya secara sengaja maupun tidak pasti sudah menerima informasi dari rekan kerja.
Ketika kepala Hana nongol dari balik pintu, orang-orang melihatnya dengan tatapan penasaran, lega, sekaligus tercengang. Menyiratkan kalimat, 'Ah, rupanya anak ini masih hidup.'
KAMU SEDANG MEMBACA
MELODI ANEMONE
Fanfiction⚠️Mohon bijak dalam memilih bacaan!⚠️ Perempuan yang mengalami penurunan semangat hidup, membiarkan dirinya terjebak dalam sangkar kelam, tidak mengakui adanya luka dalam dirinya. Ia menyukai banyak hal. Sayangnya hal itu hilang dari dirinya. Hingga...