"Kak!"
Buru-buru Hana berlari ke dapur mendengar suara teriakan.
"Iya, bu?"
Jawab Hana, napasnya masih tersengal-sengal.
"Kamu masak nasi lembek banget, masukin airnya berapa tadi?"
Ibunya mengomel sejadi-jadinya perkara nasi yang lembek, itu adalah kali pertama Hana menanak nasi. Hana merunduk saja mendengarkan ibunya. Hana menyalahkan dirinya yang bodoh.
"Tapi ibu, bisakah menghargaiku. Sedikit saja? Ini pertama kali untukku."
Nasi yang sudah lembek itu tidak bisa diubahkan? Hana melangkah ke ruang makan, ia hendak minum untuk menenangkan dirinya. Ruang demi ruang ia lewati, entah hanya perasaannya saja, ruang makan terasa sangat jauh.
Tangan Hana masih bergetar, tanpa ia sengaja gelas yang ia pegang jatuh dan pecah. Gelasnya pecah, air tumpah berserakan. Hana mengambil lap untuk membersihkan kekacauan yang ia buat.
"Jatuh! Pecahin aja semua gelasnya! Pecahin semua!"
Lidah Hana tercekat, ia ingin bilang bahwa ia tidak sengaja menjatuhkannya. Alhasil ibunya memarahinya lagi. Hana ketakutan, ia meninggalkan ibunya yang masih berbicara padaya.
Setiap ruangan yang ia lewati seakan berpenghuni yang menatapnnya tajam. Hana melewati banyak lorong. Sejak kapan rumahnya punya lorong gelap?
Ia masuk ke kamarnya. Ia mendapati adik kecilnya yang baru saja bisa merangkak, bermain di atas kasurnya. Setidaknya pemandangan itu membuat ketakutannya berkurang. Hana mendekati adiknya.
Baru akan mendekati adiknya, adiknya terjatuh. Tentu anak kecil itu menangis karena sakit. Hana cekatan meraihnya. Hana merutuki diri yang terlambat sepersekian detik. Ibunya yang tengah makan di ruang makan lagi-lagi menyemburnya.
"Maaf bu, adik jatuh sendiri. Kakak tel,,"
"Sudahlah! Ngga ada yang bener! Kamu mau bunuh adik kamu kan?! Iya kan!"
Disudut ruangan lain, ada bayangan gelap beramai-ramai menertawainya, ikut memarahinya, dan mengolok-oloknya. Hana menciut, bak kerupuk disiram air. Dadanya sesak. Ia menggigit bibirnya yang bergetar.
Satu di antara bayangan itu berteriak padanya.
"Makan sana! Makan! Orang di luar sana susah nyari makan. Kamu? Udah ada nasi, sambal, lauk pauk lengkap, masih ngga mau makan? Ngga bersyukur! Kamu maunya apa! Cepat makan!"
"Kamu bodoh! Ngga berguna!"
"Gitu aja ngga bisa?!"
Suara teriakan itu berubah-ubah, tidak murni suara ayah atau ibunya. Suaranya semakin membesar dan semakin berat. Rasanya jantung Hana hendak lepas dari penggantungan.
Gulungan badai hitam mengelilingi Hana. Berusaha mengikatnya. Lingkaran badai mengecil mengikuti ukuran tubuh Hana. Banyak rantai beterbangan, menampar Hana tanpa ampun. Rantai-rantai tersebut melilit dan mencekik Hana.
Napas Hana tertahan, keringatnya bercucuran. Hana berupaya melepaskan diri. Ia mencoba berteriak memohon pengampunan. Semakin ia mencoba, semakin ikatan tersebut mengikatnya. Suaranya tertahan.
Hana terbangun dengan napas tersengal, matanya membulat sempurna menatap langit-langit kamar kost yang sempit. Keringat dingin membasahi wajahnya, jantungnya berdegup kencang. Ia merasakan denyut nadi yang seakan berteriak di setiap bagian tubuhnya. Segala ketakutan dan kecemasan tadi masih menggema dalam pikirannya, seolah rantai-rantai mimpi buruk itu masih mengekangnya.
Hana meraba wajahnya, memastikan dirinya terjaga. Ia terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri, menyadari bahwa itu semua hanya mimpi buruk. Suara gemuruh hati masih menggema, tetapi kini ia tahu bahwa ia aman. Ia mengambil minum, tangannya masih tremor.

KAMU SEDANG MEMBACA
MELODI ANEMONE
Fanfiction⚠️Mohon bijak dalam memilih bacaan!⚠️ Perempuan yang mengalami penurunan semangat hidup, membiarkan dirinya terjebak dalam sangkar kelam, tidak mengakui adanya luka dalam dirinya. Ia menyukai banyak hal. Sayangnya hal itu hilang dari dirinya. Hingga...