Sebuah Pelukan

8 2 0
                                    


Hana pulang dari bimbingan dengan dosen pembimbing satu. Ia sangat bersyukur dapat ACC dari dosennya. Masih sisa beberapa step lagi. ACC dosen pembimbing dua, terbitkan artikel, dan ujian Bahasa Inggris.

Hana teringat percakapannya dengan dosennya sebelum pulang. Sekilas Hana tersenyum, ada desiran ketenangan menyentuh hatinya. Ada ketenangan yang lama ia rindukan.

"Bapak, saya sudah mencari beberapa jurnal yang bisa menerbitkan artikel saya. Khm,,, jadi,,, saya izin menerbitkannya di jurnal ini pak."

"Oh, iya silakan saja. Saya tidak membatasi itu."

"Ah,, ucapan Pak Fathih sangat menenangkan. Seperti aku melihat ayah."

"Tunggu, apa?"

"Apa seperti kakek? Tidak juga, aku bahkan hanya bisa melihat wajah beliau dari foto."

Lega. Itu perasaan Hana sekarang, ya cukup lega. Dulu ia sangat takut sebelum bimbingan, ia takut salah, takut dimarahi, takut dosennya salah tanggap dengan apa yang ia sampaikan. Hana mengakui dirinya tidak pandai berbicara, ia harus berpikir keras menyusun kata sebelum berbicara. Meskipun sudah mempersiapkannya, tidak menutup kemungkinan ia akan salah bicara. Ia juga sering dicap 'belibet' saat berbicara.

Kenapa Hana lega? Sebab tidak semua dosen membebaskan mahasiswa dalam mencari jurnal untuk menerbitkan artikel. Biasanya dosen akan membuat ketentuan harus menerbitkan di jurnal mana, dan memilih tingkat akreditasi yang cukup tinggi bagi mahasiswa. Ia juga merasa beruntung karena Allah mentakdirkan ia bertemu dua dosen yang tegas namun lembut. Hana mengakui kecemburuan teman-temannya.

Bukan berarti semua baik-baik saja kan?

Di tengah perasaan bahagia Hana melarang dirinya untuk merasakan emosi itu. Meskipun merasa keadaan cukup baik, perasaan bahagia tidak boleh menetap. Jangankan menetap, masuk saja sudah dihadang.

Menurutnya, akan ada badai lebih besar jika mengizinkan perasaan itu. Perasaan itulah yang akan menghanyutkannya ke tengah lautan dan ombak besar akan menelannya hidup-hidup.

Hana melaju menyusuri jalanan kota yang ramai dengan pikiran yang berkelana jauh. Sesekali, ia melirik spion, memastikan jalanan di belakangnya aman, namun pikirannya terlalu sibuk. Setelah memastikan lampu rambu lalu lintas berwarna hijau, Hana langsung belok ke kanan. Tiba-tiba, di sudut mata sebelah kiri, ia melihat sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos lampu merah di pertigaan jalan. Suara klakson yang mendadak melengking memecah kesadarannya, reflek Hana menaikkan kecepatan menjauh dari mobil tersebut. Roda motornya berputar kencang, menjejak aspal. Hitungan detik, mobil itu melesat hanya beberapa sentimeter darinya.

Ia menatap mobil yang kini semakin menjauh, merasakan campuran antara marah dan lega. Pandangannya kemudian beralih ke jalanan yang tetap ramai, mereka menatap Hana dengan tatapan iba. Terlambat sedikit insiden ini hampir merenggut nyawanya. Di tengah kebisingan kota, Hana menarik napas panjang, menyadari betapa tipisnya batas antara hidup dan mati.

Hana merasa aneh, kenapa ia tidak takut sama sekali? Justru orang lain yang histeris dan lebih terguncang ketimbang Hana. Posisinya pun serba beresiko. Mundur tidak mungkin, melambat juga ia sudah di dekat mobil itu. Menancap gas motor pun sebenarnya lebih berbahaya.

"Syukurlah tidak apa-apa. Terima kasih Ya Allah."

Batinnya.

Sampai di lokasi ujian Bahasa Inggris, Hana langsung mengeluarkan berkas-berkas syarat mengikuti ujian.

"Eh, Hana mau ujian?"

Tanya Sari yang ternyata juga ada di sana.

"Lhoh Sari. Sari ujian?"

Mereka bersalaman dan cipika-cipiki.

"Ngga, belum. Aku nemenin senior hehe."

Hana mengangguk paham.

"Hana ujian hari ini?"

"Oho, ngga, baru aja mau daftar."

"Hmm aku mencium bau-bau akan sidang."

"Ahaha, doa kan saja."

"Ah, Hana aku insecure liat kamu."

"Lhoh, kenapa?"

"Kamu udahlah baik, cantik, mana pakaiannya, ah,, aku ngerasa ketampar tau."

Hana tidak tau harus bilang apa. Dia hanya tersenyum saja.

"Doa kan aku biar bisa kaya kamu ya, biar istiqamah gitu lho."

Hana mengangguk.

"Hehe aamiin. Masa iya sih, kamu lho cantik, pinter, banyak prestasi."

"Ah, Hana bisa aja. Tetap aja aku malu kalau di dekat kamu."

"Masa orang cantik insecure sama aku yang kaya biji kopi."

"Biji kopi?"

"Iya biji kopi."

Sari tertawa kecil.

"Kok bisa sih orang seputih kamu dibilang biji kopi."

Hana tertawa dalam hati.

"Putih? Siapa? Aku?"

"Aku ngga putih, ngga."

"Kamu putih tau Hana."

"Tolong jangan puji aku. Kamu sempurna di mata aku. Kamu baik, ramah, suara kamu indah, wujud rupawan, cerdas, disiplin, tekad yang tinggi, kepercayaan diri yang bagus, kuat. Ahh,, tapi tidak menutup kemungkinan kamu dikelilingi luka kan? Semoga hidupmu baik-baik saja, jangan kaya aku ya. Kamu pasti berusaha keras untuk sampai di sini. Iya kan? Semoga Allah memberkahi dan meridhoi setiap langkahmu ya Sari."

"Ngga, ngga, aku bukan putih. Aku kuning langsat."

"Hehe iya deh, tapi aku ngga bohong lhoh, kulit kamu memang cerah."

"Alhamdulillah, kalau gitu. Huhu. Makasih banyak."

"Kamu ngga ada rencana pulang kampung?"

Hana menggeleng sembari tersenyum.

"Belum lama ini juga udah pulang."

"Owalah, jadi selama liburan di sini?"

"Sari,,, kalau aku pulang, bukannya usaha aku selama ini akan sia-sia? Aku ngga bisa tidur malam, rela ngga tidur siang supaya cepat selesai dan ngga jadi bebam orang tua lagi."

"Sari, aku berharap bisa ngga bayar UKT semester depan. Setidaknya ada yang bisa aku banggakan pada orang tua ku iya kan?"

"Dan orang tuaku akan mengatakan padaku, anakku hebat, bisa selesai tepat tujuh semester."

"Aku mengurangi jam tidurku Sari. Di saat ingin tidur malah aku tidak bisa terpejam."

"Sampai aku,,, rasanya,,, ingin minum obat tidur saja."

"Jika dibilang pengaruh kopi, tidak juga. Tubuhku sudah bebal sejak saat itu. Aku tidak bisa tidur dengan baik sejak saat itu. Justru kopi menemani kesepianku."

"Hana?"

Panggil Sari memutus lamunan Hana.

"Ah iya, hampir lupa, gimana tugas kemarin?"

"Udah kok. Makasih banyak ya udah bantu aku, aku ngga tau lagi mau minta tolong sama siapa."

"Orang seperti kamu mengatakan hal seperti itu? Bukankah temanmu banyak? Apa kau kesepian selama ini Sari?"

Secara tiba-tiba Sari memeluk Hana. Sontak Hana terkejut ketika dipeluk Sari. Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Lutut Hana lemas. Ia tidak biasa dipeluk. Ragu-ragu Hana membalas pelukan Sari. Wajah Hana memerah.

"Sama-sama Sari."

Sari melepas pelukannya, lalu pamit pulang pada Hana. Jantung Hana berdegup kencang. Ia mengelus dadanya dari balik jilbab.

"Wah,, begini rasanya dipeluk?"

"Sensasi macam apa ini?"

🥀🥀🥀

MELODI ANEMONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang