Di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas namun tertata rapi, seorang pria tengah sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Zayyan, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, menyusun semua barang keperluannya yang dianggap penting. Barang-barang yang ia masukkan cukup banyak, karena ia berencana untuk tinggal di sana dalam waktu yang cukup lama. Paling lama empat tahun dan paling cepat tiga tahun, hingga ia menyelesaikan studi S2-nya. Ya, Zayyan akan melanjutkan pendidikan pascasarjananya di luar negeri. Keputusan ini telah ia pertimbangkan dengan matang sejak setahun yang lalu.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar Zayyan. Adiknya, Chika, masuk dan duduk di kasur di sebelah koper Zayyan. Dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, ia memperhatikan kakaknya yang sedang sibuk berkemas. Tak sengaja, pandangannya tertuju pada sesuatu yang mengusik pikirannya.
"Apa kakak masih merindukannya?" tanya Chika sambil mengambil sebuah bingkai foto kecil dari dalam koper Zayyan.
Zayyan, yang sedang fokus pada kegiatannya, mengangkat pandangannya dan menatap adiknya.
"Chici, kembalikan!" ujar Zayyan dengan nada datar.
Chici adalah panggilan sayang Zayyan untuk Chika.
"Aku bisa melihatnya, Kak. Dari matamu, aku bisa melihatnya dengan jelas." ujar Chika dengan suara lembut namun penuh ketegasan.
"Chici, tolong jangan melewati batas. Kakak tidak ingin membahasnya." balas Zayyan sambil melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara Zayyan yang merapikan barang-barangnya. Chika meletakkan kembali bingkai foto itu ke tempatnya, mencoba memahami perasaan kakaknya yang mungkin masih terluka.
"Kak, aku bukan anak kecil lagi yang bodoh dan tidak tahu apa-apa." kata Chika dengan nada tegas.
"Mungkin Mamah atau Kak Reza tidak mengetahuinya, tapi aku tahu Kak. Aku bisa merasakannya" lanjut Chika, menatap Zayyan dengan tatapan prihatin.
"Chi, daripada kamu ngomong gak jelas terus, mending kamu bantuin Kakak beres-beres." balas Zayyan tanpa mempedulikan ucapan adiknya barusan. Ia kembali fokus pada kopernya, mencoba mengalihkan perasaannya yang mulai terusik.
"Kak. Jujur, aku merasa ikut sakit melihat Kakak menderita seperti ini. Aku nyesel karena udah ngomong gitu ke Kak Sing. Aku..." Belum sempat Chika menyelesaikan ucapannya, Zayyan lebih dulu memotongnya.
"Chika. Semua itu udah masa lalu, jangan mengungkitnya lagi." ujar Zayyan dingin, menatap kosong ke arah pakaian yang belum siap ia lipat.
Chika menghela napasnya, lalu beralih menatap kakaknya dengan serius namun tulus.
"Oke, aku nggak akan membahas itu lagi. Tapi satu hal yang harus Kakak ingat dan pertimbangkan." ujar Chika serius.
"Cari kebahagiaan Kakak sendiri. Jangan pedulikan orang-orang yang mungkin nantinya akan menghina atau mencela Kakak. Teruslah melangkah dan berjuang untuk menggapai kebahagiaan itu" lanjut Chika.
"Turuti dan ikuti kata hati Kakak sendiri, jangan ragu untuk melangkah. Aku akan mendukung apapun yang menjadi pilihan Kak Zayyan. Aku akan terima Kakak meski Kakak bukan Kak Zayyan yang dulu lagi. Apapun itu, asal Kakak bahagia, aku ikut bahagia." ucap Chika sambil memegang punggung tangan Zayyan.
Zayyan terdiam, merasakan hangatnya sentuhan adiknya yang penuh dengan kasih sayang. Kata-kata Chika menembus dinding tebal yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya. Ia menyadari betapa besar dukungan dan cinta yang diberikan Chika kepadanya. Tanpa disadari, matanya mulai berkaca-kaca.
Setelah itu Chika tersenyum, lalu berdiri dari duduknya.
"Kak Gerald udah nunggu Kakak di depan. Aku ke sini cuma mau kasih tau itu aja." ujar Chika. Kemudian ia pun melangkah meninggalkan kamar Zayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MyHyung (Sing & Zayyan XODIAC)
FanficInfo: cerita ini hanyalah karangan semata jangan di sangkut pautkan dengan kehidupan nyata mereka. Author hanya meminjam nama dan visual mereka untuk kebutuhan cerita.