Chapter | 13. White Lies

6 2 0
                                    

    Pagi ini ruang kelas tata krama terlihat sedikit berbeda dari biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

    Pagi ini ruang kelas tata krama terlihat sedikit berbeda dari biasa. Terdapat beberapa meja bundar dengan satu set cangkir lengkap dengan Pocil akrilik berwarna putih dengan motif bunga berwarna merah muda.

    Taplak meja rajut berwarna putih itu benar-benar sangat pas dengan meja kayu berwarna coklat yang terlihat cukup vintage.

    “Baiklah, kalian semua boleh duduk,” suruh Nyonya Brenda yang nampaknya tengah mempersiapkan praktek  mengenai table manner yang benar.

    “Aku sungguh bisa jelaskan semuanya padamu,” bisik Beth sembari sedikit menggeser kursinya ke arah Emma.

    Kali ini,  Emma terlihat tidak acuh pada Beth dan lebih memilih memperhatikan penjelasan Nyonya Brenda. Ia hanya sedikit kecewa saat mengetahui jika Beth berasal dari keluarga Roosevelt.

    Yah, keluarga Roosevelt. Itu artinya, Beth adalah seorang putri mahkota. Bagaimana bisa Beth tidak memberitahunya sejak awal?

    “Bisa kau rahasiakan ini dari yang lainnya?” Bisik Beth sekali lagi.

    Beth sengaja menyembunyikan identitasnya untuk mencari seorang teman sejati. Sialnya, ia malah di rundung habis-habisan di asrama ini. Bodohnya, Beth hanya diam seperti orang bodoh.

    “Aku pikir kita sahabat sejati, Beth.”

    “Tentu saja! Kau sahabat terbaikku dan aku akan menjadi sahabat terbaikmu selamanya.” sorot mata Beth menatap ke arah papan tulis.

    “Jika aku sahabatmu. Seharusnya sejak awal kau tidak menutupi identitasmu. Sahabat macam apa yang menyembunyikan identitasnya pada sahabatnya sendiri?”

    Beth mengambil cangkir di hadapannya sembari menyesapnya sesuai dengan instruksi Nyonya Brenda.

    “Aku punya alasan untuk yang satu itu.” Beth melirik Emma. “Tolong rahasiakan yang satu  ini, kau mengerti?”

    Emma mendengus. “Apa sekarang kau sedang mengancamku, Nona Roosevelt?” tanya Emma lalu meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja.

    Sorot mata gadis itu masih melihat ke arah Nyonya Brenda. Wanita itu masih begitu telaten mengajarkan ke muridnya cara menuangkan teh ke dalam cangkir dengan benar.

    “Oh, ayolah. Jangan membuatku menjadi pusat perhatian.” Beth mengambil gula berbentuk kotak dan memasukannya ke dalam cangkir teh miliknya.

    “Bagaimana jika kita bekerjasama saja?” Emma menoleh ke arah Beth. “Anggap saja sebagai upah tutup mulut.”

    Beth menghela napasnya. “Persahabatan macam apa yang harus membayar upah tutup mulut, hah?” Beth merogoh saku gaunnya untun mencari selembar uang. “Baiklah, jika uang ini bisa membuatmu bungkam maka...”

    “Bukan begitu maksudku, Beth.” Emma menolak uang yang barusan Beth berikan. “Aku sama sekali tidak membutuhkan uangmu.”

    “Aku hanya membutuhkan informasi darimu,” sambung Emma yang semakin membuat Beth penasaran.

My Debutante Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang