𝕋𝕠𝕝𝕒𝕜 𝕋𝕒𝕟𝕘𝕘𝕒 𝔹𝕖𝕣𝕒𝕪𝕦𝕟 𝕂𝕒𝕜𝕚

0 0 0
                                    

Koga berjalan menyusuri lorong putih, melewati semua orang yang memandangnya dengan tatapan heran. Wajahnya yang penuh lebam cukup mengejutkan karena jarang ada yang berkelahi sampai separah itu.

Orang-orang berjas putih yang menawarkan diri untuk mengobati, sama sekali tidak dia acuhkan. Darah yang menetes dari hidung dia biarkan begitu saja. Tidak ada yang bisa menghentikan langkahnya menuju ruang direktur.

Seorang wanita yang tampak lebih mudah sepuluh tahun dari usianya yang mencapai 38 tahun itu sedang mempelajari laporan ketika Koga membuka pintu. Papan nama di mejanya menunjukkan dua buah kata yang dibaca dengan Lenny Defraz. Wanita yang selalu berpakaian rapi dan suka mengenakan blush warna hitam itu tidak memedulikan keberadaan sang remaja meski sudah berdiri di seberang mejanya.

"Aku sudah mencegahnya. Tolong tepati janjimu!" ucap Koga datar. Setelah itu dia segera memutar arah, melangkah menuju pintu keluar.

Wanita itu meletakkan kertas-kertas di tangannya kemudian menatap punggung remaja itu. "Apakah ibu tidak pernah mengajarimu bersikap sopan?" Suaranya lembut tetapi penuh penekanan. Walaupun begitu, dia hanya ingin menegur putranya yang bersikap sedikit tidak sopan.

Langkah Koga terhenti. "Kupikir Ibu tidak pernah menganggapku sebagai anak!" ucapnya tanpa menoleh.

"Jaga omonganmu! Kemarilah!"

Koga menunduk lesu. Dengan berat hati dia berbalik, kembali berjalan mendekati sang direktur.

Wanita itu yang merupakan ibu kandung Koga, tidak berkomentar apa-apa meski melihat wajah putranya babak belur. Dia menunggu Koga berada cukup dekat sampai duduk di kursi seberang meja.

"Apakah itu harga dari usahamu menghentikan mereka?"

"Benar! Asal sesuai dengan yang kuinginkan, aku akan menerimanya."

"Kamu yakin mereka akan sungguh-sungguh berhenti memikirkan cara untuk kabur?"

"Pasti! Maka dari itu, tepati janjimu!"

Koga menatap ibunya dengan dingin, begitu juga ibunya.

Dua orang ibu-anak itu tidak seperti keluarga kebanyakan. Karena banyak hal, mereka menjadi keluarga yang tidak harmonis. Mendekati baik-baik pun tidak.

Bagaimanapun, wanita itu tetaplah seorang ibu. Dia beranjak dari kursinya lalu mengambil sebuah kotak P3K dari lemari di belakangnya. Kursinya dia pindahkan agar bisa duduk lebih dekat dengan putranya.

"Mendekatlah, biar ibu bersihkan lukamu!"

Koga mengikuti keinginan ibunya tanpa banyak protes. Dia mengubah posisi kursinya agar berhadap-hadapan dengan ibunya. Ibunya mulai menyemprotkan antiseptik ke kulitnya yang terluka dan membersihkannya dengan hati-hati.

Sentuhan kasa di wajah terasa nyaman karena ibunya sangat lihai berurusan dengan itu. Antiseptik yang digunakan juga tidak perih. Plester-plester tidak terasa telah tertempel sempurna, menutupi lukanya yang terbuka.

Dari awal sampai akhir, keduanya tidak berbicara ataupun sekadar bertukar senyuman. Dilihat sekilas, siapa pun tidak akan ada yang bisa menyadari jika keduanya memiliki hubungan darah. Paras mereka juga tidak terlalu mirip, kecuali di bagian mata.

"Selesai. Terserah kalau ingin pergi sekarang."

Ibunya merapikan alat-alat itu kemudian menyimpannya ke tempat semula.

Koga termenung sejenak sebelum mengungkapkan pertanyaan yang mengganjal di benaknya.

"Bu, apakah yang dikatakan Al ... A-9071 itu benar? Tentang pemeriksaan lanjutan yang bersifat ekstrem itu, aku tidak pernah mendengarnya. Sayangnya, aku juga tidak bisa mengabaikan kemampuannya. Jadi, tolong katakan padaku yang sebenarnya!"

SacrificeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang