𝕋𝕖𝕣𝕡𝕚𝕛𝕒𝕜 𝔹𝕒𝕪𝕒𝕟𝕘-𝕓𝕒𝕪𝕒𝕟𝕘

0 0 0
                                    

Dua anak gadis dan dua anak lelaki sebaya—mereka berusia sekitar delapan tahun—sedang bermain layang-layang dengan riang di sebuah padang savana. Angin yang berembus kencang membuat layang-layang mereka terbang sangat tinggi.

Tidak jauh dari mereka, seorang lelaki remaja berusia tujuh belas tahun menggembalakan kambing milik tetangganya yang berjumlah lima ekor. Di sampingnya ada seorang gadis remaja yang juga berusia tujuh belas tahun. Dialah yang bertugas mengawasi anak-anak. Mereka berdua adalah dua sosok remaja yang sedang mengisi kekosongan di waktu liburan sekolah.

"Hari ini anginnya sangat kencang, ya!" Lelaki itu berbasa-basi.

"Ya, sepertinya tidak akan hujan malam ini!" jawab sang gadis.

"Entahlah, Niar! Di sana mendungnya cukup mencemaskan. Mungkin sebentar lagi akan ada badai."

"Mana …?"

"Itu …!"

Lelaki itu menunjuk gerombolan awan hitam yang dia maksud. Niar, nama gadis itu, menatap awan hitam itu dengan takjub; menerka-nerka apakah yang dikatakan temannya itu benar atau tidak.

Angin kembali berembus kencang. Rambut Niar yang melebihi pinggul, mendadak ikatan rambutnya putus dan mencambuk wajah pemuda yang duduk di sampingnya. Sesekali pemuda itu merintih kesakitan.

"Ah, maaf!"

Susah payah Niar merapikan rambutnya yang berantakan. Pemuda itu malah tertawa sejadinya melihat Niar kesusahan.

"Sini, kubantu!"

Sedikit malu tetapi mau juga, Niar membiarkan pemuda yang cukup dia kenal baik itu memegang rambutnya.

Lelaki itu dengan mudah mengumpulkan rambut Niar ketika embusan anginnya mereda. Sekalian dia bantu mengepang rambut Niar seadanya agar tidak lagi beterbangan ketika tertiup angin.

Anak-anak yang sedang riang bermain rupanya melihat kedekatan kedua remaja itu. Mereka sepakat berasumsi bahwa ulah dua orang yang mereka anggap sudah dewasa itu merupakan tindakan romantis.

"Bagaimana menurutmu, Tya? Kakakmu sepertinya cocok dengan Kak Refan," ujar anak laki-laki berambut ikal.

Gadis yang rambutnya sama panjang dengan Niar itu mengangguk setuju. "Kamu ada benarnya juga, Pras. Kak Refan cukup ganteng, keren pula. Kurasa tidak masalah punya kakak laki-laki seperti dia."

"Jadi, kamu sudah merestui hubungan mereka, Tya?" gadis satunya mengonfirmasi.

"Mau bagaimana lagi? Di desa kita hanya Kak Refan yang ganteng. Tentu saja, aku 100% merestui."

"Setuju! Kalau jodohku gantengnya mirip Kak Refan, aku juga mau!"

"Eehh??? Bagaimana denganku?"

"Kalau Pras, sih, standar!"

Pras, anak lelaki berambut ikal dan bertubuh cukup gempal itu murung. Kedua gadis kecil itu tertawa gelak sambil menepuk kedua sisi bahu Pras.

"Kalau misalnya, tiba-tiba ada pangeran yang datang dan lebih ganteng dari Kak Refan, bagaimana Tya?" Anak lelaki kurus yang sejak tadi sibuk dengan layang-layangnya, ikut-ikutan bicara.

"Entahlah, Egi! Kurasa itu mustahil! Aku tidak terlalu percaya dengan cerita dongeng!"

"Yah, siapa tahu nanti ada pangeran yang tiba-tiba muncul?" Egi bersikeras.

"Kalau kamu ragu, untukku saja, Tya! Mungkin dia mau menungguku dewasa?!"

"Dasar Vian! Tampaknya kamu harus berhenti melamunkan pangeran dari buku dongeng," sindir Tya.

SacrificeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang