𝔹𝕒𝕘𝕒𝕚 𝔹𝕦𝕟𝕥𝕒𝕝 𝕂𝕖𝕞𝕓𝕦𝕟𝕘

1 0 0
                                    

Sebuah ruangan tertutup berukuran 4x5 meter menjadi tempat Zulheif disekap. Dia sedang tidak sadarkan diri setelah mengalami penyiksaan yang bertubi-tubi. Tidurnya bahkan di atas cairan merah yang menggenang di lantai.

Bajunya sudah raib, badannya dipenuhi merah darah yang mengering. Kelelahan memaksanya tidur lebih lelap. Indera di sekujur tubuhnya juga abai pada suhu dingin ruangan.

Di balik pintu, tiga orang lelaki bersulang ria. Mereka adalah Alfred, ayahnya, dan Rippa, seorang buronan yang tempo hari diusir warga.

Rippa masih mengenakan seragam putih milik Zulheif. Dialah yang melakukan penyerangan terhadap Seita dan Hans atas suruhan Alfred dan ayahnya.

Dia bisa bertemu dengan mereka berdua secara tidak sengaja saat berada di hutan. Setelah diiming-imingi harta yang banyak, buronan itu akhirnya mau bekerja sama mereka berdua.

Mereka bertiga meneguk anggur merah bersamaan. Alfred menuangkan anggur merah ke gelas kosong mereka.

"Aku sangat puas dengan rencanamu. Hanya dengan mengumpan remaja itu, semua masalah selesai!"

Ben yang sedikit mabuk, memuji kecerdasan Rippa. Alfred juga ikut-ikutan memujinya.

"Berkatmu, sekarang aku merasa sangat puas. Pasti Niar dan keluarganya sedang menderita sekarang. Itulah akibatnya jika menolak iktikad baik kami."

"Padahal hanya memberi tahu sedikit cerita tentang pertemuan remaja itu dan Niar, efeknya bisa sejauh ini."

"Itu tidak ada apa-apanya dibanding bayaran yang kalian berikan."

Mereka kembali tertawa terbahak-bahak tanpa takut ada yang marah karena terganggu. Tempat tinggal keluarga Beno sangat besar dan luas. Mereka tengah berada di dalam paviliun yang tidak kalah besar dari rumah utama.

Rippa menaruh gelas kosongnya di meja. Tidak seperti dua orang yang sudah memerah pipinya, Rippa sama sekali tidak mabuk. Resistansinya terhadap alkohol cukup tinggi.

Alfred terus saja menuangkan anggur merah itu jika gelas sudah kosong. Kali ini Rippa tidak mengambil gelasnya.

"Ngomong-ngomong, kamu adalah buronan, bukan? Kejahatan apa yang kamu lakukan, Rippa?" Ben membuka percakapan.

"Penyelundupan organ dalam ilegal. Aku juga sering terjun dalam mencari mangsa yang cocok. Mataku cukup bagus untuk melihat orang yang punya organ bagus atau tidak."

"Pasti itu ka-ka …."

"Karunia, Ayah!"

"Ah, itu … pasti kamu punya karunia yang sangat hebat."

"Lalu, kenapa kalian berani mempekerjakan orang sepertiku?"

Ben beserdawa setelah kebanyakan minum.

Alfred malah tertidur setelah memangku kepalanya di meja. Dua orang yang lebih dewasa, mengabaikannya.

"Ingatkah kamu akan pertanyaanku di hutan yang lalu?"

"Kamu bilang, 'Apakah aku bisa membunuh atau tidak?', dan kujawab iya."

"Sebenarnya, aku memang ingin mempekerjakanmu untuk membunuh keluarga Seita. Mereka telah mempermalukan kami karena menolak pinangan kami."

"Hanya itu?"

"Tentu saja, tidak!"

Efek mabuk telah membuat Ben semakin melantur bicara. Kata-katanya juga semakin sulit untuk dicerna. Sampai akhirnya, Ben ikut-ikutan tertidur di kursinya.

Rippa yang sudah terbiasa dengan orang yang sangat mabuk, mampu menangkap inti dari keseluruhan yang Ben katakan.

Alasan Ben ingin menikahkan Alfred dengan Niar karena Niar masih keturunan dari pendiri Desa Antera beberapa abad silam. Dikabarkan jika ada orang yang bisa menikah dengan keturunan pendiri Desa Antera, kesejahteraan akan menyertainya seumur hidup.

SacrificeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang