Wajah Refan memucat. Panggilan teleponnya terhubung dengan sistem yang menyatakan bahwa nomor yang dia tuju sedang di luar jangkauan.
Tubuhnya mematung di tempat. Isi otaknya mendadak kosong.
Di dalam hati dia merutuk tindakannya yang telah merundung kepala desa. Namun, dia meyakinkan diri bahwa apa yang dia perbuat adalah demi kebaikan.
Dia tidak ingin menjilat ludahnya sendiri. Meminta maaf juga tidak akan membuat keadaan membaik. Jadi, hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan: pura-pura jika teleponnya tersambung.
"Halo, saya Refan dari Desa Antera. Saya ingin …."
Dewan tertawa terbahak-bahak. Putrinya juga ikut-ikutan terkekeh tanpa alasan yang jelas.
Penjelasan Dewan selanjutnya membuat Refan tidak berkutik.
"Tidak usah repot-repot berakting, Refan. Saat ini, jammer penghalang sinyal sudah diaktifkan di desa ini. Kita tidak akan bisa menghubungi orang luar, begitu juga sebaliknya."
"Jammer Anda bilang? Sejak kapan di desa ini ada jammer semacam itu?"
"Refan …."
Yuna, putri kepala desa yang sejak tadi menempel Refan, membisikkan sesuatu.
Refan yang semula ingin melepaskan diri, berubah sikap. Dia menjadi patuh dengan tatapan kosong. Dia yang semula bersikeras melakukan pertentangan pun mendadak diam.
Para pemuda tergugah dengan sikap Dewan dan Yuna yang aneh. Dari yang semula hanya bisik-bisik, satu per satu memberanikan diri membuka pikiran.
"Pak, seharusnya Anda tidak memasang jammer tanpa persetujuan warga!"
"Jelaskan pada kami, tujuan Anda memasang jammer itu sekarang juga!"
"Pantas saja dari tadi aku kesulitan mengakses internet. Penyebabnya bukan karena jaringannya yang eror tetapi karena perbuatan Anda? Sebagai kepala desa, Anda sudah mengkhianati kepercayaan kami!"
Di saat para pemuda sedang fokus protes, orang-orang yang hanya menunggu di jalanan, digemparkan dengan kedatangan seorang wanita paruh baya.
Tidak ada yang tidak mengenalinya karena wanita itu adalah pekerja paling lama di kediaman Beno.
Wanita itu melangkah dengan gontai karena usianya yang mendekati uzur. Keringat yang mengucur di keningnya cukup deras. Berat badannya yang cukup berlebih membuat napasnya terdengar berat; mirip seseorang yang terkena bengek.
Orang-orang yang melihatnya berpikiran jika wanita itu bisa pingsan kapan saja. Para lelaki bergegas mendekatinya, takut jika yang mereka pikirkan benar-benar terjadi.
"Kenapa lari-lari, Bu Saras?"
"To … tolong! Semua … semua sudah dibunuh."
Semua terkejut. Perasaan terkejut itu berubah menjadi kepanikan.
Berbagai pertanyaan mereka lontarkan tanpa memedulikan Saras yang masih kesulitan bernapas setelah berlari cukup jauh.
"Apa? Dibunuh? Siapa yang dibunuh, Bu Saras?"
"Orang-orang di kediaman Beno … semuanya dibunuh tanpa ampun."
"Apa Bu Saras tahu, siapa pelakunya?"
"Hei, mungkinkah pelakunya sama seperti yang menyerang Seita dan Hans?"
"Ah, apakah yang pelakunya berbaju putih Bu Saras?"
"Bu-bukan … tapi, ada yang memakai baju putih juga di sana. Dia …."
"Sepertinya itu rekannya. Tidak bisa dibiarkan. Ayo ke sana, sebelum mereka kabur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice
Mystery / Thriller"𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒖𝒉 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒅𝒊𝒃𝒖𝒏𝒖𝒉! " Cuma pengen kasih tahu kalau cerita ini merupakan pindahan dari Joylada. Berhubung tanggal 31 Agustus 2024, Joylada server Indonesia ditutup, sayang kalau salah satu n...