CRANIUM
NALAN
(Phinya, turunlah ke lab di lantai tiga,) suara di telepon kantor membuat hati Pihnya mencelos. (Aku butuh bantuanmu. Ada masalah dengan peralatannya.)
Dr. Phinya tiba di laboratorium utama Institut Penelitian Antropologi Biokultural lima menit kemudian. Ia mendapati Busaya mengenakan jas lab putih dengan sarung tangan biru, berdiri dengan tangan di pinggul di depan televisi berukuran enam puluh lima inci yang terhubung ke kamera yang diatur pada pembesaran dua puluh kali dengan pencahayaan terang. Busaya sedang mengamati layar dengan saksama, alisnya berkerut.“Apa yang terjadi, Bua?” tanya Phinya sambil mendekati meja baja tahan karat dengan beberapa tulang rusuk di atasnya. Busaya menunjuk ke layar televisi.
“Bisakah kamu memeriksa tanda apa ini?” Phinya melihat layar dan melihat bekas luka di tulang rusuk kiri kelima korban kecelakaan pesawat. “Bekasnya masih baru.”
“Apakah kita sudah mengidentifikasi orang ini?”
“Belum, tapi aku menemukan ini dan memanggilmu untuk memeriksanya.”
“Apa kamu menemukan yang lain?”
“Belum,” jawab Busaya. “Menurutmu, tanda apa ini?”
“Aku tidak yakin,” kata Phinya. “Berdasarkan penampang melintangnya, itu tidak tampak seperti senjata tajam. Tandanya terlalu lebar dan membulat. Kalau itu pisau, penampang melintangnya akan sempit, dengan celah atau bentuk segitiga. Tapi tanda ini...”
“Peluru,” sela Busaya. “Iya, kan?”
“Bisa jadi,” Phinya setuju. “Mengingat pola spiral peluru saat mengenai dan menembus tulang, itu bisa membuat luka dengan penampang melintang seperti ini. Atau apa pun dengan penampang melintang yang membulat dan cukup panjang untuk menembus dan menyebabkan kerusakan. Kalau memang begitu, gaya yang dihasilkan pasti signifikan.”
“Menurutmu itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan?”
Phinya tidak langsung menjawab. Dia menyesuaikan pembesaran kamera menjadi empat puluh kali lipat untuk mendapatkan tampilan bekas tusukan yang lebih jelas.
“Sulit untuk mengatakannya, tapi kurasa bekasnya masih baru,” komentar Dr. Phinya yang baru pulang dari Inggris itu. “Aku tidak tahu apakah itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan, tapi yang pasti, tanda itu masih baru. Belum ada tanda-tanda penyembuhan. Meskipun bekasnya membulat, tetap saja itu tajam.”
“Kurasa ada yang aneh dengan kasus ini. Korban kecelakaan pesawat dengan tulang rusuk terkena peluru?” seru Busaya. “Semakin dalam kita menggali, semakin aneh hasilnya.” Katanya sambil mengambil foto layar untuk diteruskan ke tim forensik.
“Itu sudah aneh sejak tengkorak mumi itu muncul di TKP,” Phinya setuju. “Ngomong-ngomong... bagaimana pencarian informasi latar belakangnya?”
“Aku menelepon kemarin, dan mereka bilang masih ada dua lagi dalam antrian. Mereka akan mulai mencarinya sekitar minggu depan,” jawab spesialis antropologi fisik itu.
“Baiklah,” Phinya mengangguk. “Dan gambar rontgen tengkorak yang seharusnya kamu dapatkan?”
“Aku sudah menerimanya, tapi aku belum membuka emailnya. Aku akan memeriksanya dan mengirimkannya padamu nanti malam.”
“Karena aku sudah di sini, biar aku bantu,” Phinya menawarkan.
“Terima kasih, Dr. Phinya selalu baik,” kata Busaya, membuat Phinya memiringkan kepalanya dan tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRANIUM (VERSI INDONESIA)
Science Fiction... Novel Terjemahan GL Judul Novel : Cranium Judul Series : Cranium the series Penulis : Nalan Penerjemah : Foreverrin ...