46. From the past (II)

107 7 0
                                    


*kata-kata sensitif.
____

Hidup terkadang tidak memberikan pilihan pada sebagian orang. Walau begitu, semua harus tetap dijalani dengan penerimaan, karena jika tidak, semua akan terasa jauh lebih melelahkan.

Amira adalah salah satu siswi berprestasi di sekolahnya. Ia beberapa kali menyumbangkan piala untuk sekolahnya setelah mengikuti beberapa olimpiade hingga ke tingkat provinsi. Ia adalah siswi teladan yang senantiasa bertutur sopan dan sikap lemah lembutnya.

Namun mimpinya harus terhenti karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak mencukupi. Segala mimpi dan ambisinya harus dikubur dalam-dalam. Sempat menangisi keinginannya, kemudian perlahan ia mencoba menerima itu dan berkahir membantu sang Ayah di rumah makan kecil yang mereka punya.

Ayahnya memiliki sakit asma yang sering kambuh. Ia tidak tega jika harus meninggalkannya sendiri tanpa ada yang mengurusnya.

"Ayah duduk saja ya, biar Amira yang antar makanannya," katanya sambil membantu ayahnya duduk di kasurnya. Sedari tadi Amira melihatnya batuk-batuk sambil memegangi dadanya.

Tanpa sadar bahwa seseorang terus memperhatikannya.

Amira menyajikan makanan di hadapannya, tangannya sempat ditahan. "Maaf, apa ada yang kurang?"

Pria itu mendongakkan wajahnya setelah melepas masker hitam yang ia kenakan. Seketika Amira merasa cemas.

"Halo manis, apa kabar?"

"Lepas!" Dirinya mulai panik sebab pria itu bersikap kurang ajar dengan mengelus tangannya.

"Ssttt... jangan takut sayangku, aku kan tidak macam-macam," ucapnya tenang dengan nada menyeringai.

Mata pria itu bergerak dengan memindai tubuhnya, Amira rasanya ingin berteriak, namun jika begitu, ayahnya yang sedang beristirahat akan terbangun.

"Ku tawarkan sekali lagi, apakah kamu mau menjadi istriku?"

"Istri ketigamu!"

"Aku berjanji, kaulah yang akan paling kusayangi." Amira merasa muak dengan kata-katanya.

"Tidak mau!"

Kalau dulu ia akan langsung marah, kali ini pria terlihat cukup tenang. "Kenapa? Sekarang kan kau sudah lulus sekolah. Sayang kalau kau hanya berakhir di sini sebagai seorang pelayan rumah makan dan mengurusi tua bangka yang sakit-sakitan."

"Jaga bicaramu, kau menghina ayahku," meski tidak sekeras sebelumnya, namun kata-katanya penuh peringatan.

"Oh maaf, kau memang anak yang sangat berbakti. Aku jadi semakin menyukaimu," seringai itu terlihat amat menakutkan dari sorang pria berusia empat puluh tahun yang menyukai gadis yang belum lama lulus sekolah.

"Lepaskan dia!!" Suara keras yang datang dari arah pintu berhasil menggaet atensi keduanya. Pria itu sempat lengah, hingga Amira berhasil lepas dan berlari kearah lelaki yang baru saja datang untuk meminta perlindungan.

"Dasar anak ingusan," ejeknya.

Ia berjalan mendekat dengan mata tajam yang penuh tantangan. Lelaki itu tak gentar menatapnya lebih tajam tanpa ciut sama sekali walau posturnya kalah jauh.

"Awas saja kalian berdua," katanya memberi peringatan.

Pria itu memilih pergi. Hingga Amira pada akhirnya bernapas lega.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya lelaki itu penuh kekhawatiran, ia memeriksa dengan matanya.

"Tidak apa-apa, terima kasih."

"Kau gemetar? Pria itu melakukan sesuatu." Amira hanya menggeleng pelan, namun lelaki itu malah memeluknya.

"Aku harusnya bisa melindungimu dengan lebih baik."

Blue and Gray [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang