⋆ dua belas

75 10 0
                                    

Author POV

“Kak-”

“Nanti dulu,” potong sang kakak yang sekarang sedang fokus pada ponselnya dengan alis bertaut, nadanya bicaranya yang jelas dan mutlak membuat Abizar diam tidak berkutik.

Abizar mengamati kakak perempuannya—Zerina yang masih terfokus pada ponselnya. Sang Ibu sudah terbangun dari pingsan beberapa menit yang lalu namun memilih untuk tidak mengatakan apapun setelahnya. Dan itu membuatnya sedikit resah.

“Bu-”

“Dia dateng lagi kesini? Jam berapa?” potong sang kakak sambil memandang sang Ibu, nada bicara yang diucapkan tergolong santai namun ada keharusan di dalamnya yang membuat lawan pembicara harus menjawabnya.

Sang Ibu memandang Zerina cukup lama lalu mengangguk. “Iya, jam 2 an kayaknya.”

Respon itu membuat Zerina berdecak, “Terus lo kemana zar? Gak di rumah? Keluyuran lo?”

Alis Abizar bertaut, mendapati dirinya di cerca oleh sang kakak. “Kok malah nyalahin gue sih?”

“Siapa yang nyalahin sih?”

“Lah itu nada lo, sewot banget.”

“Gue nanya, lo kemana? Keluyuran siang-siang?”

“Lo bukan nanya, tapi nyalahin gue karena gak ada di rumah.”

“Ya emang lo ngapain di luar rumah terus? Main, kan?”

“Gak usah nuduh gak jelas deh. Sotoy lo.”

“Ya lo aja gak jawab pertanyaan gue.”

Sang Ibu yang menonton perdebatan ini pun menggeleng lelah. “Hey, udah. Abizar tadi sudah izin sama Ibu mau latihan buat turnamen basket sampai jam tiga.”

Setelah mendengar itu Zerina langsung diam, tetapi sorot matanya masih memicing kepada Abizar.

“Bu, ada apa sih ini?” tanya Abizar tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Gak usah dipikirin, ya? Biar-”

“Bu, aku udah besar, jangan rahasia-rahasian kayak gini lah,” potong Abizar.

“Dek, nurut kek.”

“Apasih kak. Lagian lo kenapa bisa tiba-tiba dateng kesini? Anak lo ditinggalin sama siapa?”

“Heii, heii, udah,” seru sang Ibu menengahi.

“Ayah kenapa Ibuu? Dia kesini? Terus Ibu kenapa?” sahut Abizar lagi, masih penasaran.

“Abi-”

“Dek,” Zerina mendesis lalu menarik Abizar keluar dari kamar sang Ibu. Ia membawa sang adik ke kamarnya sendiri, lalu menutup pintu kamar Abizar rapat. Sorot mata Zerina cukup tajam sebelum melanjutkan bicaranya. “Gue kasih tau lo sekali lagi, lo gak usah pikirin hal ini.”

“Gue udah gede, kak.”

“Lo masih SMA, Abizar Wistara.”

“Hampir tujuh belas tahun, tuh!”

“3 bulan lagi lo tujuh belas.”

“Kak, gue berhak tau gak sih soal Ayah? Jangan main rahasia-rahasiaan lah.”

Zerina memijat keningnya. “Iya lo berhak. Tapi gak sekarang, paham? Banyak pertimbangannya, ngerti dong!”

“Tapi-”

“Lo mending fokus sama sekolah, basket, belajar buat masuk perguruan tinggi, udah itu aja. Untuk sekarang ini biar gue sama Ibu yang urus.”

“Gak dong, kak. Lo udah ada keluarga sendiri, punya suami dan anak. Harusnya-”

second chance ★ jikyu (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang