⋆ sembilan

90 18 14
                                    

Author POV

Sudah hampir seminggu.

Raka menghitung. Bahkan kalender meja belajarnya itu setiap hari ia coret sebagai pengingatnya.

Sejak insiden itu, hati Raka menjadi gelisah. Selama 17 tahun hidup, belum pernah ia merasakan segelisah ini. Hampir seminggu pikirannya melayang entah kenapa, menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Dan sepertinya dia memecahkan rekornya sendiri dalam sehari bisa menghabiskan waktu 8 jam memegang smartphonenya itu.

Sejak itu juga baik Arlo dan Abizar tidak ada omongan lagi kepadanya. Seolah memberitahunya bahwa itu selesai dan final. Raka menggigit jemari kukunya, memikirkan kembali perkataan Abizar.

Akhir-akhir ini Raka memang sering sekali kepikiran omongan Abizar.

Dia sebenarnya tidak mau, tetapi ketika sedang melamun, omongannya selalu masuk ke pikirannya tanpa diminta. Jujur saja itu menganggunya.

Tapi, Raka tidak pernah mengeluh ketika suara Abizar muncul di pikirannya.

Dia pasti akan selalu bergeming, dan setelahnya meyakinkan diri kalau itu hanya halusinasi atau memberitahu dirinya sendiri itu karena dia terlalu benci dengan Abizar.

Hmm, benci?

Bukankah itu kata yang terlalu kuat?

Tetapi Raka tidak peduli. Dia bukan anak bahasa, menurutnya itu adalah benci.

Mata bulatnya melirik smartphone-nya yang berbaring di kasur, hening. Tidak ada notifikasi baru yang masuk. Dia menyenderkan tubuhnya di kursi belajar sambil mendesah lelah, sembari berpikir sampai kapan dia akan seperti ini.

Tanding basket.

Astaga, memang luar biasa informasi itu.

17 tahun. Dia tidak tahu caranya bermain basket. Dia lebih tertarik mengerjakan 45 soal kimia.

Dia tau perbandingan itu tidak sepadan, tapi tetap saja. Raka hanya tahu basic bermain basket—tidak, dia lebih condong ke teori, dia tidak tau apapun jika disuruh mempraktekkannya.

Perkataan terakhir Abizar kepadanya membangun pertanyaan besar di benaknya.

Apa Abizar benar-benar mau mengajarinya bermain basket?

Abizar sudah bilang dengan jelas kalau dia ingin melihat dirinya dipermalukan, tapi tetap saja tidak mungkin mengingat sifat kompetetif Abizar.

Walaupun mereka sering bertengkar, setidaknya Raka menyadari satu kesamaan dengan Abizar. Mereka berdua kompetetif.

Mungkin saja Abizar ingin memperlakukannya, tapi bukan berarti Abizar akan membiarkan mereka kalah. Mereka harus menang.

Dan Raka, walau enggan, dia ingin menang juga.

Manusia mana yang tidak ingin menang?

Benar, Raka tidak bisa bermain basket, namun bukan berarti dia ingin mempermalukan dirinya sendiri. Dia butuh latihan, jelas.

Namun yang belum jelas disini ialah, siapa yang rela menghabiskan waktunya untuk mengajari Raka basket selain ketua basket itu sendiri?

Beberapa hari yang lalu, Raka hampir nekat untuk menghubungi pelatih ekstrakurikuler basket, bertanya apakah bisa dengan senang hati mengajarinya.

Bahkan sebelum bertanya, ia mendapat informasi bahwa pelatihnya itu sedang pergi Haji.

Raka pun merasa harapan satu-satunya itu pupus begitu saja.

Abizar, hanya dia yang bisa mengajari Raka.

Tapi hati kecil Raka menjerit ketika mencoba menelan fakta tersebut. Lagi, selama 17 tahun hidup dia hanya pernah diajari oleh kedua orangtuanya. Dan Tuhan tau itu memang diperlukan dan Raka tidak mengeluh.

second chance ★ jikyu (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang