-----oOo-----
Malam ini Kost Nusantara kedatangan tamu VVIP lagi. Siapa lagi kalau bukan Rara, anak Pak Heri si pemilik Kost. Gadis itu datang tanpa bilang, biar surprise katanya. Seperti biasa, orang pertama yang ia cari setibanya di Kost adalah tak lain dan tak bukan Saddam Mahasin, abang tercintanya. Bukan Johan? Jelas saja bukan.“Abang mau kemana?” tanya Rara pada Johan yang sedang mengotak atik motornya di halaman depan.
“Loh, Rara?” Johan yang sedang berjongkok depan motornya itu mendongak.
“Kok malem-malem ke sini, ngapain?” tanya Johan.
“Nggak papa. Pengen main aja. Mau kemana?” tanya Rara lagi.
“Ini mau futsal tapi motor tiba-tiba mogok,” ujarnya.
“Kenapa nggak dibawa ke bengkel aja?”
Lelaki itu berdiri seraya mengusap kedua tangannya yang kotor, “Nggak papa. Nyoba dicek sendiri dulu. Kalo beneran nggak nyala, yaudah bawa ke bengkel. Masuk gih, di luar dingin.”
“Bang Saddam di dalem nggak?” Tiba-tiba saja wajah gadis itu berseri-seri.
“Lagi futsal dia. Tadi mau nyusulin, tapi nggak bisa gegara motor mogok. Bentar lagi juga balik. Tungguin di dalem aja,” jelas Johan.
Johan dibuat salah fokus dengan muka pucat Rara dan tangan gadis itu yang terus memegangi perutnya. Lantas, lelaki itu mendekat dan bertanya, “Kamu nggak papa, Ra? Kok keliatan kayak nggak enak badan? Perut kamu sakit?”
Gadis itu hanya tersenyum seraya menggeleng. “Oh, nggak papa. Biasa lah, lagi datang bulan. Jadi bawaannya lemes.” Padahal Rara betulan lemas, tapi ia berusaha baik-baik saja di depan Johan.
“Serius nggak papa? Pulang aja ya, Abang anterin,” tawar Johan. Tapi Rara menolak.
“Iiih dibilangin Rara nggak papa, Abang.”
“Masuk aja kalo gitu. Jangan di luar, dingin,” tutur Johan.
Tanpa penolakan, Rara langsung beranjak memasuki rumah. Karena sudah dianggap tamu VVIP, maka ia tak sungkan-sungkan untuk menuju ke lantai atas melewati Panji dan Nanang yang sedang berada di ruang tamu.
“Eh, ada prawannya Pak Heri nih. Tumben malem-malem ke sini?” ucapan Nanang itu spontan menghentikan langkah Rara.
“Iya nih, cewek tuh nggak boleh main malem-malem ke Kost cowok.” Ale yang baru saja turun dari lantai atas ikut menyahut.
“Nggak papa lah, dia kan cowok, Le,” seru Panji sebelum terkekeh diikuti Nanang. Sedangkan Rara di sana sudah memasang tatapan tajam pada lelaki bongsor itu.
Tangan Rara sudah mengepal kuat, tapi dikarenakan hari ini badannya terasa tidak seenak biasanya, ia biarkan saja gurauan Panji itu. Tanpa membalas, Rara kembali melanjutkan langkahnya untuk menaiki tangga menuju lantai dua.
Sampai di lantai dua, Rara berjalan ke arah pintu yang bertuliskan nomor 02. Gadis itu berdiri di depannya sebelum mulai membuka pintu itu. Saddam memang tak pernah mengunci kamarnya, karena anak itu sudah percaya seratus persen pada penghuni lainnya. Sebelum memasuki kamar itu, Rara sedikit meremas perutnya yang terasa sakit. Tapi kemudian ia kembali melangkah ke dalam.
Matanya mengamati setiap sudut kamar Saddam. Dulu sekali, ruangan ini adalah kamarnya sendiri sebelum ditempati Saddam dan didekor ulang oleh lelaki itu. Kamar bernuansa hitam dan abu-abu itu selalu terlihat rapi. Bahkan ada satu yang membuat Rara betah untuk berlama-lama di dalamnya. Yaitu wangi. Aroma sitrus bercampur woody menguar ke penjuru ruangan. Itu adalah aroma khas Saddam. Dan Rara menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALA-BALA GANG
General FictionIni bukan cerita tentang para geng motor yang menakutkan dan mengintimidasi banyak orang. Bukan juga tentang bagaimana tepung terigu, wortel, kubis, kecambah yang bersatu menghasilkan Bala-bala yang nikmat. Bukan! Ini hanya kisah tentang tujuh lela...