9. Investasi Bodong

312 46 9
                                    

-----oOo---


Pernah terdengar lantunan lagu sendu yang menguar ke penjuru ruangan. Nada-nada lagu itu bersahutan dengan rintikan hujan yang mengendap pada kaca jendela kamarnya. Atensi Restu yang baru saja keluar dari kamar Ale teralihkan pada lantunan lagu yang terdengar dari kamar Mada. Restu ingat betul malam itu. Malam dimana Mada terlihat begitu rapuh. Malam dimana sunyi dan temaram menguasai. Tak ada suara bahkan tawanya. Hanya terlihat dirinya yang meringkuk begitu pilu di samping ranjangnya.

Restu perlahan masuk. Remang-remang dapat Restu lihat jika ruangan itu benar-benar terlihat sangat kacau. Selimut dan bantal tak terletak sebagaimana mestinya. Remasan kertas berceceran di mana-mana. Bahkan gitar yang selalu ia bawa di tangannya itu tak terjamah. Mada hanya duduk memeluk lututnya, matanya menatap jendela kamarnya. Kilatan-kilatan itu bagaikan pertunjukan yang patut ia saksikan. Namun, mata sembabnya seperti berlari entah kemana.

“Bang...” Perlahan Restu berjongkok mendekati Mada. Lagu sendu yang bercerita tentang perbedaan keyakinan itu terus menggema dalam ruangan minimalis itu. Dalam suasana itu, mereka seperti sama-sama berubah menjadi melankolis.

Mada hanya bungkam. Bahkan ia tak menoleh sedikitpun pada Restu.

“Ada masalah? Cerita sama gue, Bang. Jangan dipendem sendiri,” tutur Restu dengan masih berusaha menyadarkan Mada.

Di sepersekian detik, Mada menoleh pada Restu dengan tatapan sendu itu. Namun, bibirnya mulai tersenyum hangat.

“Kenapa Bang?” tanyanya sekali lagi.

Mada menggeleng pelan, “Nggak papa, lagi kangen aja sama Bapak.”

Tangan Restu perlahan terulur untuk mengusap pundak Mada. Setahu Restu, lelaki berdarah Jogja itu memang sudah lama ditinggal Ayahnya pergi menuju ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Jadi, sebisa mungkin Restu menguatkannya.

“Kenapa dengerin lagu itu?” tanya Restu. Lelaki itu mulai duduk memeluk lututnya di samping Mada. Matanya juga mengikuti arah mata Mada. Menatap langit yang masih terus menurunkan rinainya.

Mendengar pertanyaan Restu, Mada menunduk dalam-dalam. Hembusan napas terdengar begitu berat di telinga.

“Dia kemarin bilang mau nikah. Dan yang jelas sama yang seiman. Yang jelasnya lagi tanpa minta persetujuan dulu dari gue,” katanya berusaha untuk baik-baik saja dengan terus tersenyum.

“Cewek itu?” tanya Restu yang hanya diangguki Mada.

“Dia yang minta putus kan? Kok bisa-bisanya dia minta putus dengan alasan mau nikah sama cowok lain?” Restu geram, tapi Mada hanya tersenyum tipis.

“Bukan jodohnya, Res,” ujarnya terlihat begitu pasrah.

“Lagian cewek mana yang mau digantung 5 tahun tanpa kepastian yang jelas,” katanya lagi. Kali ini disertai dengan senyuman canggung.

“Tapi 5 tahun itu bukan waktu yang singkat loh, Bang!” sahut Restu. Jujur saja ia ikut merasa geram.

Lelaki itu masih tersenyum menjawab ucapan Restu, “Bapak pernah bilang, Cinta itu bukan tentang seberapa lama bersama, tapi seberapa jelas dan ke arah mana tujuan kita.”

Setelahnya, Mada menoleh pada Restu. Masih dengan ekspresi yang sama, “Dan selama 5 tahun itu kita nggak tahu arah kita mau kemana. Kita berdua nggak punya tujuan. Kita hanya menjalankan alur yang diberikan tanpa menghiraukan gimana nanti endingnya.”

Sekali lagi Restu merangkul pundak Mada, berusaha sama-sama menguatkan. Karena kisah mereka memang sama.

“Dan rasanya kayak buang-buang waktu nggak sih? Tapi gue selalu bersyukur sih waktu gue terbuang nggak sendirian, tapi sama dia. Meskipun endingnya kita nggak sama-sama,” sambung Mada.

BALA-BALA GANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang