6. Di Bawah Sinar Rembulan

495 38 10
                                    

-----oOo-----


Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Di dalam kelas yang hanya terisi beberapa mahasiswa, Nanang memutar badannya ke belakang menghadap Sekar. Kelas hari ini memang sedang kosong, karena Dosen yang mengajar mereka tiba-tiba saja membatalkan kelas begitu saja.

Selain Nanang dan Sekar, beberapa teman sekelasnya memang sengaja tidak pulang dan lebih memilih menunggu mata kuliah berikutnya di dalam kelas. Tapi yang berada di dalam kelas bisa dihitung dengan jari, selebihnya memilih nongkrong di luar kelas.

“Kenapa?” tanya Sekar pada Nanang, saat tiba-tiba saja teman dekatnya itu tersenyum menatapnya.

Nanang menggeleng seraya berkata, “Cantik.”

Hampir saja buku Sekar melayang ke kepala Nanang jika lelaki itu tidak mundur untuk menghindar.

“Huuu dasar buaya semarang,” sosor Sekar.

“Hehh maemunah. Lo buta apa gimana. Nggak lihat tuh cowok yang lo suka juga buaya?” Yang dimaksud Nanang adalah Johan. Karena Sekar memang menyukai Johan.

“Ya udah sih, terus kenapa,” ujar Sekar seperti acuh tak acuh.

“Pacaran sama gue aja lah. Johan mah ceweknya banyak,” seru Nanang.

“Ogah banget gueee pacaran sama elu, Naaaang,” terang Sekar.

“Ya udah sih selow. Gitu aja ngegas,” sahut Nanang.

“Lo itu sahabat gue dari SMA, Nang. Gue nggak bisa macarin elo. Gue tuh nggak mau nanti kita akhirnya canggung kalo udah nggak bareng-bareng lagi. Pokoknya gue nggak mau lo ninggalin gue. Kalo lo mau pacaran ya udah silakan, tapi jangan lupain gue dan jangan macarin gue. Lo ngerti nggak??” ucap Sekar panjang lebar. Bukannya menjawab atau sekadar mengangguk, Nanang justru hanya tersenyum menatap gadis itu dengan tangan yang menumpu dagu.

“Woyyy! Diajak omong itu jangan diem aja!” sosor Sekar.

Masih dengan posisi yang sama, Nanang akhirnya bicara, “Gue aja sampai sekarang masih nggak percaya kalo kita dipertemukan lagi, Kar. Dulu setelah lulus SMA, gue pikir nggak bakalan ketemu sama lo lagi karena gue ngerantau ke Jakarta. Eh, ternyata takdir berkata lain, lo akhirnya ngikut gue ke Jakarta.”

“Hehh! Jangan ge'er ya. Gue ke Jakarta ngikut kerjaan bokap, bukan ngikutin lo,” seru Sekar.

Seperti yang mereka katakan, mereka memang sudah berteman sedari SMA di Semarang. Nanang kira mereka tak akan bertemu lagi karena dirinya memilih merantau ke Jakarta. Tapi ia tidak tahu jika ternyata Sekar juga pindah ke Jakarta mengikuti pekerjaan Ayahnya. Nanang juga semakin terkejut saat mengetahui Sekar berada di Fakultas dan jurusan yang sama dengannya. Bahkan sekelas pula.

Nanang hanya tertawa dan menegakkan punggungnya, “Nanti malem ke rumah ya. Gue adain acara makan-makan. Ya... Anggap aja syukuran motor baru lah.”

Seketika mata Sekar membelalak dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “Lo beli motor baru??”

“Iya. Moge lagi,” kata Nanang bertingkah sombong sambil menyugar rambutnya ke belakang.

Sekar terkekeh melihat tingkahnya, “Idihh najis sombong amat.”

Nanang pun tergelak, “Nggak lah.”

“Motor baru nich. Selamat deh,” ucap Sekar sambil menepuk-nepuk pundak lebar Nanang.

“Iya, makasih. Alhamdulillah ada sedikit rezeki. Sebenernya udah dari beberapa hari yang lalu sih,” terang Nanang.

“Wahh. Tadi lo bawa ke kampus dong?” tanya Sekar yang hanya diangguki Nanang sebagai jawaban.

BALA-BALA GANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang