🍡 A N O Z 7 🍡

339 47 2
                                    

Berdiri di ambang pintu dengan nafas terputus-putus, Rasa-rasa bukan sekali dua kali dia melihat anak terlantar. Walau begitu bukan berarti dia tidak termangu melihatnya kembali.

Di dalam ruangan yang sempit dan berlumut itu, sekuncup tempat tidur goyang bergerak perlahan, menimbulkan suara berderit yang memecah keheningan kala ini. Tempat itu bergoyang ke kanan dan ke kiri, angin dari jendela tak berkaca berhembus kencang menusuk kulit Hanson.

Di atasnya, terbaring seorang bayi yang tampak tak terurus, dengan selimut kusam yang hampir menutupi seluruh tubuh mungilnya. Terpaku pada bayi mungil itu, melewatkan anak kecil disamping si bayi.

Bayi yang kiranya 5 bulan itu tertidur resah, kulit iritasi yang merah, nafasnya agak terengah. Dan di samping tempat tidur goyang itu, ada seorang anak laki-laki yang duduk bersila di lantai. Tubuhnya kurus kering seperti ranting, dengan pakaian lusuh yang terlihat beberapa ukuran terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil. Matanya sayu, seolah tak ada lagi energi tersisa dalam dirinya. Wajahnya pucat, menunjukkan kurangnya nutrisi dan cahaya.

Lekuk tulang si anak terlihat jelas, sama seperti si bayi.

Hanson merasa hatinya mencelos melihat kondisi kedua anak itu. Ia tak bisa memalingkan pandangannya dari mereka, terutama dari si anak laki-laki yang tampak tak berdaya dengan luka di sekujur raga. "Kenape ni bocah?" pikir Hanson, tetapi tak ada jawaban yang datang, hanya deru napasnya sendiri yang terdengar di ruangan itu.

"Anak haram kah?" tanyanya lirih, meski ia tahu tak akan ada jawaban. Anak laki-laki itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah sudah terlalu lama hidup.

Setiap kali Hanson melangkah, gravitasi enggan menerimanya. Langkah yang diambilnya terasa semakin berat, seolah ruangan itu menolak kehadirannya. Hanson akhirnya berhenti di samping tempat tidur goyang, menatap bayi yang masih tertidur dengan napas lemah.

"Kalian anak haram?" gumamnya, berharap anak laki-laki itu akan memberi petunjuk. Tapi anak itu hanya diam, menundukkan kepala seolah-olah kehadiran Hanson tak mengubah apapun.

Hanson mengulurkan tangan, ragu-ragu, lalu menyentuh bahu anak laki-laki itu dengan lembut. Sentuhan itu membuat si anak mendongak, dan untuk pertama kalinya Hanson melihat ada kilatan ketakutan di matanya.

"Tenang, aku tidak akan menyakitimu," ujar Hanson pelan, berusaha menenangkan anak itu. Tetapi sebelum dia bisa mengatakan lebih banyak, ruangan itu tiba-tiba bergetar lembut, dan suara tangisan bayi mulai terdengar, menggema di seluruh ruangan.

Hanson segera memutar tubuhnya ke arah bayi itu, hatinya mencelos. Dia tahu, ada sesuatu yang sangat salah di tempat ini. Suara tangisan bayi itu semakin keras, menambah suasana mencekam yang memenuhi ruangan sempit itu.

"Dewa goblok! Ini anak haram atau anak iblis!?"

Tak ada jawaban. Hanya ada kekosongan yang menyimpang. Iris mata bayi itu merah, rambutnya hitam legam sedangkan si anak laki-laki bermata ungu dengan rambut hitam yang agak panjang.

Tangannya terulur perlahan menuju bayi yang terbaring di tempat tidur goyang itu, niat hati hanya untuk menimangnya, memberikan rasa aman yang jelas tidak dimiliki si bayi. Namun, sebelum Hanson bisa menyentuh bayi tersebut, si anak laki-laki yang kurus kering mendesis marah. Dengan gerakan tiba-tiba, dia mendorong Hanson sekuat tenaga, membuat Hanson terjengkang ke lantai.

Tidak sempat mengumpat, dia terjatuh dengan pantat mencium lantai dahulu. "Sshh!"

Hanson terkejut, tetapi tubuhnya tetap tenang. Sambil duduk di lantai yang dingin, dia memandang anak laki-laki itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Anak itu tampak seperti hewan liar yang terpojok, siap untuk melindungi adiknya dengan segala cara.

[TRANSMIGRASI] Invisible Twins || Crt ke 6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang