Jeno yang masih memegang keyakinan bahwa kehidupan dapat terlahir kembali, menemukan kebahagiaannya lagi saat bertemu dengan Reno. Namun, Reno yang kini berbeda, ia berada dalam wujud seseorang yang pada dasarnya hanya teman baru sekelasnya, Eric.
"...
Gak terasa sudah dua bulan gua menetap di sekolah ini. Gua juga gak nyangka bisa jadi sahabat sama orang yang dulu gua benci setengah mati. Dasar Jeno.
Gua memperhatikan segerombolan orang yang mulai masuk ke kelas. Entah kenapa, mata gua terus mencari sosok yang belum terlihat. Dia belum datang? Apa dia terlambat? Sial, kenapa gua malah jadi kepikiran dia, hahaha.
Sosok tinggi dengan sepatu putih itu akhirnya muncul di kejauhan. Dengan senyum cerah, dia melambaikan tangan ke arah gua. Kali ini, dia tampak terlambat—sesuatu yang jarang terjadi, karena biasanya dia sudah hadir tepat pukul setengah tujuh pagi. Dia meletakkan tasnya dengan santai, lalu memutar kursinya menghadap ke belakang meja gua.
"Tumben pagi," ucapnya sambil tersenyum.
"Gua selalu pagi, cuma lu nya aja yang malas, Jen."
"Masa?" jawabnya dengan nada sedikit menjengkelkan.
Kedua tangannya bersandar di meja, "Jangan lupa, ada janji yang harus kita selesaikan hari ini."
Gua mengangguk sambil tersenyum, "Oh, janji yang itu. Gue ingat. Tapi sebelum kita lanjut, gue ada sesuatu buat lo."
Mengeluarkan sebuah kotak makan dari bawah meja dan meletakkannya di hadapannya. "Ini hadiah buat lo. Suka atau enggak, terserah lo."
Saat tutup kotak makan itu dibuka, aromanya menyebar. "Ini nasi goreng teri yang gua buat subuh-subuh tadi. Gua tau lu suka banget sama nasi goreng teri nenek. Tapi kali ini, gua pengen lu juga suka sama yang buatan gua."
Jeno tersenyum lebar, matanya penuh antusiasme saat mencicipi nasi goreng itu. "Wah, ini enak banget! Aku jadi penasaran, apa rahasianya?"
Gua terkekeh, "Rahasianya? Cinta dari nenek, ditambah sedikit usaha dari gua."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selepas pulang sekolah sekitar jam 3 sore, kami menyempatkan diri untuk mampir ke pasar. Tujuan kami kali ini adalah membeli sebungkus plastik bunga dari nenek penjual yang selalu jadi langganan Jeno. Kenapa tidak langsung beli di dekat tujuan? Jeno bilang dia sangat senang bisa berkunjung dan membeli bunga dari nenek tersebut.
Ketika kami sampai, Jeno langsung mencari nenek itu dengan antusias. Setiap kali datang, Jeno selalu memeluk nenek tersebut dengan senyum lebar.
“Kayak biasa ya, Jen?” tanya nenek sambil menyiapkan bunga.
“Iya, Nek,” jawab Jeno, penuh semangat.
Nenek menyerahkan se-plastik bunga tersebut dengan tangan yang penuh keramahan. Jeno segera mengeluarkan uang dari saku, siap untuk membayar. Namun, saat Jeno hendak menyerahkan uangnya, nenek itu dengan lembut menolak.
"Nggak usah, Nak," kata nenek sambil tersenyum. "Nenek senang bisa membantu. Bunga ini, seperti kenangan-kenangan indah yang kita simpan di hati."
"Tapi Nek…" Jeno mencoba bersikeras.
"Nggak usah khawatir, Jeno. Dari kemarin-kemarin juga nenek udah bilang gapapa. Yasudah, buruan jenguk. Jangan sampai keburu gelap. Nenek titip salam ya."
Jeno dan gua pun langsung izin pamit untuk melanjutkan tujuan janji yang kami buat kemarin.
Jarak dari pasar ke lokasi yang kami tuju ternyata tidak terlalu jauh. Kami berjalan kaki, menghabiskan waktu perjalanan dengan obrolan ringan dan sesekali bercanda.
Akhirnya, kami tiba di sebuah pemakaman. Jeno mengulurkan tangannya ke arah gua, mengundang untuk melangkah masuk. Gua tersenyum dan menerima uluran tangannya.
"Ayo Jen."
Kami melewati deretan batu nisan hingga tiba di tempat yang dituju. Jeno terlihat tersenyum, namun ujung matanya tampak berkaca-kaca.
Memasuki melewati berbagai batu nisan dan akhirnya ini dia, Jeno terlihat tersenyum namun ujung matanya terdapat air mata. Dengan hati-hati, dia mengambil sebotol air, menyiramkan di atas kubur, lalu menaburkan bunga yang kami beli.
"Halo, Ren," katanya lembut. "Aku datang jenguk lagi."
Tangan gua merangkulnya dan menepuk pelan bahunya, mencoba memberikan dukungan agar dia tetap tenang. “Halo Reno! Gua Eric, sahabat kakak lu.”
Jeno hanya tersenyum, matanya masih terfokus padaku saat aku berbicara. “Kakak lu itu orangnya bawel kalau mau tahu, tapi dia juga perhatian banget. Pasti lu senang dan nyaman sama dia.”
Gua melanjutkan, “Pokoknya, tenang aja, kakak lu aman sama gua. Boleh kan sesekali dipukul kalau gua sedikit jengkel sama dia? Haha.”
Jeno tertawa kecil, dan sejenak suasana menjadi lebih ringan. "Reno pasti senang bisa ngedenger itu. Terima kasih, Eric."
"Kamu tahu, Ren, kemarin kakak main hujan-hujanan sama Eric kayak dulu kita. Rasanya senang bisa ngerasain kembali masa-masa itu."
Gua merasakannya seperti bisikan yang samar—seberapa dalam rasa rindu Jeno terhadap saudara kembarnya. Rasa itu seolah menyentuh gua langsung di sini.
Jeno kemudian menunduk, mengelus lembut batu nisan dengan penuh perasaan. "Jadi disini kakak udah ngerasa nggak kesepian lagi, karena udah punya sahabat. Kakak bersyukur. Kamu di sana juga tetap bahagia ya. Suatu saat, aku akan datang dan menemui kamu. Tunggu aku ya."
Ada apa ini, tanpa sadar gua mengangkat jari kelingkingku ke arah Jeno. "Sahabat selamanya?" ucap gua.
Jeno menatap dengan senyum lembut, lalu perlahan-lahan mengulurkan kelingkingnya untuk bersentuhan dengan milik gua. "Sahabat selamanya," jawabnya, matanya bersinar dengan tekad dan kehangatan.
Ini adalah kali kedua kami berjanji kelingking, dan kali ini terasa lebih istimewa karena kami melakukannya di hadapan kembaran Jeno.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Agak mellow dikit gapapa ya di chapt ini :))
Maaf banget kalo kesannya lamaaaaa banget buat update (padahal emang iya lama) hehe 🤣
Aku mau minta pendapat dari kalian untuk chapt ini ✨