Gadis itu menyelesaikan make upnya. Menatap pada temannya dan segera memberikan gerakan agar temannya yang sedang memegang kaleng bir itu menyerahkan benda itu padanya. Tapi dia malah menemukan temannya memegang kaleng itu dengan lebih erat.
Tangan gadis itu terulur. "Serahkan padaku."
Si teman lebih erat memeluk. "Kau yakin? Sungguh ingin mengejarnya?"
Gadis itu mengangguk dengan yakin. Tidak memiliki pilihan lain, temannya melepaskan kaleng bir karena tangan gadis itu sudah memegang benda itu tanpa terlihat keraguan sama sekali di matanya. Dia hanya ingin mengakhiri mimpi buruknya pada pertunangan yang sangat tidak dia inginkan. Satu-satunya yang bisa membantunya adalah pemilik rumah di mana mobilnya berhenti.
Setelah menenggak habis kaleng bir tersebut. Dia keluar dari mobil dan melangkah dengan penuh percaya diri. Dia memang patut mendapatkan kepercayaan diri tersebut, wajah cantik tubuh mungil menggemaskan dengan rambut yang bergelombang indah. Biasanya dia akan selalu menaruh jepitan di bagian atasnya dan membiarkan bagian bawahnya tergerai berantakan.
Nama gadis itu adalah Winter Petersen. Si anak tunggal dari Petersen yang selalu mendapatkan apa pun yang dia mau. Ibunya memanjakannya dan ayahnya menyayanginya. Dia memiliki tunangan, kekasih masa kecil, begitu mereka menyebutnya. Tapi hanya Winter yang tahu betapa menyebalkan dan memuakkannya pria itu di matanya. Satu-satunya yang paling tidak dia inginkan di dunia ini adalah memiliki hubungan dengan tunangannya itu.
Dan satu-satunya yang bisa membantunya mewujudkan keinginannya adalah paman dari pria itu. Paman muda yang berwujud begitu tampan dan sanggup menyihirmu sampai kau kehilangan akal. Oh, membayangkannya saja Winter sudah kehilangan banyak air liur rasanya.
Dengan langkah sempoyongan, gadis itu masuk ke halaman rumah pribadi Ewan Thomson. Kemudian dia melewati jalan setapak di bagian sisi kanan. Melangkah ke pintu utama melalui jalan setapak tersebut. Tanpa mengetuk, gadis muda yang selalu mendapatkan apa yang dia mau itu segera mendorong pintu dengan dua daun pintu tersebut. Mengangkat satu tangan dan menunjukkan setengah sadar, dia mulai membuat ulah. Menyebut nama Ewan seperti hanya itu bahasa yang dia tahu.
"Ewan! Kau di mana?"
Tidak ada jawaban. Dia berkali menyebut dan pelayan yang akhirnya berada di belakang mendengar keributan yang dicipkatan gadis bermata indah itu. Pelayan mendekat dan segera meraih tubuh nona muda kaya raya yang manja itu.
"Aih, Nona Muda, apa yang anda lakukan di sini?"
"Ewan, di mana dia? Beritahu aku di mana dia?" tegas Winter dengan nada merengek seolah Ewan sudah menciptakan luka di perasaannya.
"Anda tidak boleh menerobos seperti ini, Nona Muda. Anda mabuk, saya akan membuatkan anda minuman hangat."
Bukannya mendengar kalimat penuh perhatian dari pelayan itu, Winter malah mendorong pelayan dan bergerak ke arah lorong di mana kamar Ewan berada. Dia melangkah cepat dengan sepatu hak berwarna hitam itu. Membawa langkah gontainya ke sosok yang benar-benar harus dia dapatkan malam ini.
Kemudian dia menemukannya, pria itu ada di ruangan di mana pakaiannya berada. Winter mendekat dan gaun ketat hitam yang dia gunakan tiba-tiba menjeratnya sendiri. Salah langkah, gadis itu terjerat sendiri dan hampir jatuh. Tubuhnya berputar dengan teriakan yang agak tidak karuan.
Ewan yang merasakan gerakan di belakangnya segera reflek mengambil tubuh lembut itu dan menariknya ke lengan. Membawa wajah mereka sejajar dengan pandangan penuh dingin ke wajah lembut Winter. Tapi tidak begitu dengan Winter. Meski diberikan tatapan dingin tidak menyenangkan, senyuman lebar penuh damba pada wajah itu tidak berubah. Bahkan dengan senang hati Winter membuat lengan Ewan menjadi sandaran punggungnya.
Pelayan yang melihat hanya bisa tercengang. Si gadis kecil yang beranjak dewasa memang terkenal dengan tidak ada aturan pada setiap langkah yang diambilnya. Bahwa dia melakukan segalanya dengan caranya sendiri dan selama ini semua orang menolerirnya. Itu membuat dia semakin berani. Tapi Winter tidak pernah mengusik Ewan. Dia selalu tahu akibatnya mengusik sosok itu. Dan entah kenapa sekarang malah si manis itu berbuat ulah.
Ewan menatap pelayan itu dengan desahan. "Kau keluarlah dulu," ucap Ewan ke arah pelayan pribadinya.
Pelayan dengan patuh meninggalkan. Tidak memiliki pertanyaan di kepala karena pertanyaan hanya akan membuat karirmu berada dalam bahaya. Dia cukup pintar untuk tidak mempertanyakan apa saja yang ada di rumah itu.
"Winter, kau mabuk dan datang mencariku. Kenapa tidak mendatangi tunanganmu?"
Winter berdiri tegak, dia mencobanya tapi tubuhnya oleng. Itu membuat dia akhirnya melingkarkan kedua lengannya di leher Ewan. Meski agak kewalahan dengan tinggi pria itu yang harus membuat dia berjinjit. "Aku ingin kau menikah denganku," tegas Winter tanpa basa-basi.
Ewan yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada di dalam kepalanya. Sejak kapan memangnya si manis ini tidak berbuat ulah. Dia sudah terbiasa. Ewan sedikit menundukkan kepalanya, membawa wajah mereka sejajar. "Lihat dengan benar. Kau tahu siapa kau?"
"Kau adalah Ewan Thomson." Winter menyelesaikan kalimatnya dengan pelukan ke tubuh Ewan. Pelukan itu erat bagai lintah yang mengandalkan satu-satunya keeratan terakhirnya. Senyuman mewarani merah pipinya.
"Kau tahu aku Ewan. Jadi berhenti berbuat ulah." Ewan berdiri tegak. Itu membuat dia terkejut saat Winter malah menempel padanya. membuat Ewan jadi menggendongnya dengan kaki gadis itu menekuk santai. "Turun," tegasnya.
"Janji padaku. Maka aku akan turun."
"Winter, kau cukup berani."
Gadis itu mulai bergerak dengan tidak teratur. Menggoyangkan kedua kaki jenjangnya dengan gerakan seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainanya. "Aku tidak mau turun. Aku tidak mau turun."
Dengan satu gerakan, Ewan membawa tubuh itu dalam gendongan satu lengannya. Dia dengan mudah mengangkat tubuh mungil itu dan segera membawanya ke atas ranjangnya. Melemparkan tubuh lembut itu ke sana dalam satu gerakan kasar. Ewan kemudian berbalik dan hendak pergi meninggalkan, hanya dua langkah dia kembali menatap tubuh itu dan menemukan Winter sedang mengintipnya. Ewan menyeringai dingin.
"Kau tidak mabuk," tegurnya dengan gerakan samar mendekat. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana, Ewan berdiri di dekat ranjang. "Katakan, bagaimana Marco menyinggungmu hingga kau berbuat ulah di sini?"
Winter yang tahu kalau Ewan memang tidak mudah dibodohi akhirnya membuka mata dan bangun. Dia duduk dengan kedua tangan sebagai sangga tubuhnya. "Kau tidak perlu bertanya. Lagipula, yang ingin aku nikahi adalah kau."
"Ada batasnya untuk bermain-main." Ewan mendekatkan sedikit wajahnya.
Winter segera bangun, berlutut di atas ranjang dan mendekat ke arah Ewan. "Siapa yang bermain. Aku serius."
Ewan mendengus dan jelas tidak terlalu ingin terlibat ke dalam permainan anak-anak yang sedang bermasalah itu. Dia hendak pergi tapi salah memperhitungkan gerakan Winter, pria itu segera merasakan tangan gadis itu dengan kekuatan penuh berada di lehernya. Menariknya mendekat dan akhirnya memiringkan kepala Ewan lalu menciumnya. Bibir itu menempel dengan erat, menyatakan kepemilikan mutlak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Trap (SEL)
RomanceWinter Petersen hanya memiliki satu keinginan sepanjang hidupnya, memutuskan pertunangannya yang dilakukan orangtuanya sejak kecil. Dan satu-satunya yang bisa mewujudkan itu semua hanya paman dari tunangannya sendiri, Ewan Thomson. Bisakah Winter me...