Ewan dengan sepenuh tenaga mencoba menahan godaan itu, meraih lengan Winter dan segera mendorongnya dengan kasar. Dengan cepat Winter jatuh ke ranjang dan segera menatap Ewan yang dipenuhi dengan api kemarahan di wajahnya. Seolah api itu siap membakar siapa pun yang ada di depannya.
Dengan wajah takut, Winter bergerak mundur memakai kedua tangannya sebagai alat berjalan. Tapi mata Ewan tidak melepaskannya, pria itu segera naik ke atas ranjang dan merangkak mendekat ke arah Winter. Itu membuat gadis itu semakin mundur.
"Maaf, aku tidak melakukannya dengan baik. Kau harus maklum, itu pertama kalinya."
Wajah Ewan berkerut tidak yakin. "Kali pertama?"
"Kau jangan menertawakanku," keras Winter dengan perasaan malu. "Itu ciuman pertama."
Ewan dengan gertakan di giginya menyentuh bibirnya. Dia menekan bibir bawahnya dan kemudian melihat ibu jarinya hanya untuk menemukan darah di sana. Oh tentu saja, gadis kecil yang mengaku baru berciuman untuk pertama kalinya itu menggigit bibirnya dengan sangat tidak berpengalaman. Ewan kemudian menatap Winter dengan dingin mencekem. "Keponakanku membuatmu kesal, kau datang memprovokasiku. Jangan lupa, aku pamannya." Ewan hanya tidak mau menjadi alat bermain gadis yang sedang kesal dengan tunangannya itu. Jadi Ewan akan melupakannya.
"Kau tidak dibolehkan pergi," cegah Winter yang tahu Ewan hendak pergi. "Kau belum setuju menikah denganku."
"Kau harus pulang. Aku tidak punya waktu bermain dengan anak kecil." Ewan melangkah ke kamar mandi. Dia butuh mandi dan menenangkan dirinya sendiri. Dari bayangan lembut gadis kecil itu dan dari aroma tubuhnya yang memikat. Ewan mengabaikan panggilan Winter.
Winter menatap dengan kesal. "Ewan, kau harusnya tahu, anak kecil paling sulit diatur. Lihat saja."
Gadis itu kemudian bangun dan bergerak ke arah lemari. Dia mencari pakaian yang bisa dikenakannya. Saat menemukan kemeja putih dengan aroma Ewan di sana, Winter merasa hangat. Dia melepaskan pakaiannya kemudian dan memasang kemeja itu. Kemudian mematikan lampu lalu membuka tirai jendela, menyisakan hanya tirai putihnya dengan cahaya dari luar sana menerangi tubuhnya. Dia memperlihatkan diri yang seolah tercipta dari perpanduan keindahan bulan dan dinginnya malam.
Tapi itu hanya beberapa saat karena Ewan sudah keluar dari kamar mandi dan segera menyalakan lampu hanya untuk tercengang menemukan gadis itu yang sudah mengenakan pakaiannya dan memperlihatkan keindahan surgawi yang harusnya tidak dapat ditolak pria normal.
Ewan mendekat dengan perasaan teraduk di mana dia benar-benar ingin melempar anak kecil itu enyah dari pandangannya. "Apa yang sedang kau lakukan?"
Winter menatap Ewan dengan lugu. "Aku ingin ... tidur denganmu."
Ewan kehilangan suaranya.
Winter meremas tangan menunggu apa yang akan dilakukan Ewan padanya.
"Bisa kau katakan sekali lagi apa yang kau katakan barusan?" tanya Ewan mengeja setiap katanya.
Dengan mata meredup penuh sayu, Winter menatap Ewan. "Aku ingin tidur denganmu," ucapnya sedikit malu tapi sama sekali tidak ada kegentaran.
Ewan memicingkan matanya.
"Marco mengatakan meski aku membuka pakaian di depannya, dia tidak akan pernah tertarik padaku. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau juga tidak tertarik?" Winter menundukkan pandangan kemudian setelah mengatakannya. Gurat merah ada di pipinya.
Ewan memejamkan mata, menambat setiap kesabaran di dadanya dengan kekusutan perasaannya. Dia menaikkan satu alisnya, mendesah dan menekan tangannya ke bola matanya yang tertutup. Dia menatap Winter kemudian. Mendekat, Ewan meraih tubuhnya. Menggendong tubuh lembut itu yang membuat Winter menyembunyikan senyumannya.
Gadis itu pikir akhirnya dia berhasil. Siapa sangka Ewan malah melemparnya keluar dari kamar beserta semua pakaian yang sudah dia lepaskan. Lalu tanpa mengatakan apa pun, Ewan menutup pintu kamarnya.
Dengan gesit Winter segera bangun, tidak mau meratapi betapa menyedihkanya dia. Gadis itu coba membuka pintu tapi dikunci. Dia mengetuk pintu dengan kesal. "Paman, buka pintunya. Paman, aku serius."
"Kau berbau alkohol. Pulanglah dan cuci tubuhmu, sekalian otakmu juga," timpal suara dari balik pintu.
Winter menatap pintu itu dengan dendam kesumat. Gadis itu berjanji Ewan tidak akan pernah lepas dari tangannya. Dia selalu mendapatkan yang dia mau.
Dengan menyedihkan Winter akhirnya meninggalkan rumah Ewan. Masih mengenakan kemeja pria itu tanpa celana dan hanya celana dalam. Dia menaruh gaunnya di pundak dan memakai sepatu haknya dengan langkah gontai yang dibalut dengan duka. Berjalan di bawah malam yang pekat dengan bulan bersinar penuh, gadis itu tampak begitu kesepian dan sendirian. Seolah tidak ada yang bisa menyayanginya di dunia ini. Seolah semua yang dikenalnya hanya menjadikannya hiburan mereka semata.
Siapa pun yang melihatnya akan merasa kasihan padanya. Gadis cantik itu seharusnya tidak berada pada posisi ini.
Winter mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. Kalau tahu akan dingin, dia harusnya memakai selusin jaket saat datang menghampiri pria itu. Winter hanya tidak menyangka kalau Ewan akan mengusirnya tanpa peduli sama sekali.
Saat dia masih sibuk melamun, suara mobil yang berdecit berhenti di dekatnya terdengar. Dia mengabaikannya sampai dia mendengar suara yang sangat dihapalnya di luar kepala.
"Naik ke mobil, aku akan mengantarmu pulang."
Winter menatap ke arah Ewan yang sudah menurunkan kaca mobil. Pria itu mengenakan pakaian lagi. Tadi dia sudah memakai piyama tidurnya. Winter hanya menatap sebentar dan kembali menatap ke depan. Dengan dingin dia berkata, "Mamaku tidak mengizinkan aku masuk ke mobil orang asing."
Ewan menarik napas. "Aku akan menghitung samapi tiga. Tiga ... dua ... sa...."
Winter melangkah dan akhirnya masuk ke mobil. Dia meletakkan gaunnya di belakang dan hendak memakai sabuk pengaman saat tali itu malah tersangkut dan tidak bisa dia tarik bagaimana pun keras dia melakukannya.
Ewan sepertinya butuh banyak tambalan kesabaran malam ini. Dia mendekat dan membantu Winter memakai sabuk pengamannya. Winter menatapnya dan pandangan mereka menjadi lekat. Mata gadis itu entah kenapa selalu memberikan gambaran seorang gadis kecil yang kekurangan kasih sayang. Sejak lama itu mengganggunya, tapi lebih mengganggu sekarang dari pada sebelum-sebelumnya.
Menatap pada pakaian gadis itu di mana pahanya benar-benar terpampang nyata, Ewan bicara, "kamu keluar dengan berpakaian seperti ini. Apa yang kau pikirkan?"
Winter segera menarik turun kemeja itu dengan kedua tangan. Tapi jelas tidak membantu sama sekali.
"Apa sebenarnya yang membuatmu kesal?" tanya pria itu lagi dengan sabar.
"Tentu saja aku kesal. Marco tidur dengan perempuan lain di belakangku, apa aku tidak boleh kesal?"
"Jadi, itu yang membuatmu mendatangiku?" Ada nada aneh saat Ewan mengatakannya. "Kau ingin membalas dendam padanya dengan cara ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Trap (SEL)
RomanceWinter Petersen hanya memiliki satu keinginan sepanjang hidupnya, memutuskan pertunangannya yang dilakukan orangtuanya sejak kecil. Dan satu-satunya yang bisa mewujudkan itu semua hanya paman dari tunangannya sendiri, Ewan Thomson. Bisakah Winter me...