1 - Kak Juna

307 52 7
                                    

SATU - Kak Juna

Aku memeluk pinggang Kak Juna sambil melihat sekeliling. Sepanjang jalan kanan dan kiri berjajar rumah-rumah besar. Kediaman keluargaku juga besar, tetapi tersisa separuh dari sebelumnya karena sudah Bunda jual untuk modal usaha sebuah kafe kecil di halaman depan rumah. Kafe Bunda juga menerima jasa katering untuk acara-acara seperti arisan, pernikahan, acara di kantor-kantor, dan lain sebagainya.

Karena aku dan Kak Juna juga ingin membantu Bunda, kami berjualan kue kering dan keripik buatan Bunda juga Bu Laksmi. Sebelumnya Bunda pernah bertanya kepadaku apakah aku tidak malu jika harus berjualan di sekolah? Tersenyum, aku pun menjawab pertanyaan beliau,

“Kenapa harus malu? Kan Senja nggak salah. Kata Bu Guru Azka, Nabi Muhammd Shallallahu Alaihi Wassalam juga dulu berdagang kan Bun.”

Bunda tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca kemudian memelukku sangat erat. “Maafin Bunda ya Senja. Semoga kelak Senja bisa jadi pengusaha sukses dan hidupnya selalu bahagia.”

Sejak kembali bangkit dari kesedihan mendalam, Bunda jadi sering meminta maaf karena pernah mengabaikanku. Namun, tentu aku selalu bilang Bunda tidak bersalah karena aku pun sedih ditiñggal Ayah, Kak Mentari, dan Kak Badai.

Aku tersenyum dan menepuk-tepuk punggung Bunda. “Senja bahagia asalkan selalu bersama Bunda.”

Pelukan Bunda kian erat saja. Teringat hal itu, aku memeluk pinggang Kak Juna makin erat.

“Kenapa, Senja? Kak Juna terlalu ngebut, ya?”

“Nggak, Kak. Senja cuma keinget sama Bunda.”

“Kan barusan pamitan mau ke sekolah. Masih kangen, ya? Mau balik lagi buat peluk?”

“Nggak, Kak, nanti kita telat. Aku peluk Kakak aja nggak apa-apa, kan?”

“Iya nggak apa-apa dong. Biasanya juga gitu.”

Aku tersenyum senang dan menyandarkan kepala pada punggung Kak Juna. Pemandangan pun berganti menjadi deretan pepohonan dengan bunga berwarna merah muda dan kuning. Indah.

Setibanya di sekolahku, Kak Juna memastikan aku melewati gerbang utama dengan selamat, sebelum kemudian ia melambai dan menjalankan kembali sepedanya menuju gedung sekolah menengah atas yang terletak tepat di samping gedung sekolahku. Iya, gedung sekolahku diapit oleh gedung SMP dan SMA.

Pulang sekolah, Kak Juna akan mengantarku ke rumah, kemudian ia kembali ke sekolahnya karena masih sekitar tiga jam lagi jadwalnya untuk pulang.

***

“Tadi gimana di sekolah? Apa suka dukanya berjualan?” tanya Bunda. Biasanya sehabis makan malam bersama, Bunda, aku, dan Kak Juna akan mengobrol bersama di depan televisi sebelum Kak Juna mengajariku menyelesaikan PR atau membantuku mengulang pelajaran.

“Ya biasa Bunda, alhamdulillah ada yang langsung nolak sebelum aku tawarin dagangan,” jawabku terkekeh dan Bunda mengusap kepalaku. “Tapi Bunda tenang aja, aku bakal tetep semangat. Soalnya aku sambil belajar dagang biar bisa bantu usaha kafe sama katering Bunda.”

“Iya, Nak, makasih ya.” Bunda kemudian beralih menatap Kak Juna. “Kalau kamu gimana, Jun?”

Tersipu malu, Kak Juna berkata, “Alhamdulillah habis semua, Bunda.”

Aku menimpali dengan kalem, “Pasti yang beli temen-temen cewek yang naksir Kak Juna ya kan, kayak kemarin-kemarin. Terus pasti mereka minta foto sama Kak Juna.”

Kak Juna tertawa. “Iya. Kok kamu tau?”

“Taulah. Nebak aja.”

Bunda tersenyum dan mengusap rambutku. “Bunda tidur duluan ya. Kalian jangan terlalu malam.”

“Siap, Bunda.” Serempak aku dan Kak Juna menjawab. Setelah Bunda masuk ke kamar, aku pun membuka buku lks dan menunjukkan PR-ku kepada Kak Juna.

Aku tahu, saat ini pasti Bunda sedang memandangi foto keluarga kami di kamar sambil menangis. Dua tahun sudah berlalu sejak kecelakaan itu, dan baru satu tahun belakangan Bunda bisa merelakan kepergian Ayah, Kak Mentari, dan Kak Badai. Dan, baru satu tahun ini juga Bunda memulai usaha kafe dan kateringnya.

“Kamu makin pinter aja,” ujar Kak Juna mengusap kepalaku dan aku tersenyum seraya mengacungkan ibu jari.

“Iya dong, kan aku punya guru muda yang hebat, Kak Arjuna Kavi!”

Kak Juna tertawa. “Bisa saja kamu. Ya udah beresin buku terus tidur. Jangan lupa minum air putih dulu.”

“Siap.” Setelah membereskan buku, aku berdiri dan menuju ke kulkas yang terletak di ruang makan kemudian menuang segelas air dingin. Setelah memastikan aku masuk ke kamar yang sama dengan Bunda, barulah Kak Juna berlalu keluar dari pintu dapur menuju paviliun yang terletak di samping rumah.

Dulu, di samping kiri rumahku ada taman besar dengan kolam renang, kandang burung, kolam ikan, dan gazebo untuk bersantai. Setelah semua itu dijual, yang tersisa hanya taman belakang, paviliun di samping kanan, dan halaman depan yang sebagian lahannya dibangun kafe kecil bernuansa kayu dan batu kapur.

Sejujurnya, aku merasa kesepian dan kedinginan karena tinggal di bangunan dua lantai dengan banyak kamar ini. Namun kata Bunda, mungkin kelak rumah ini akan ramai lagi dihuni lagi oleh para cucu… alias anak-anakku. Ah, Bunda, kenapa sudah berpikir sejauh itu, sedangkan usiaku saja sekarang masih 10 tahun.

***

Emerald, Selasa, 20 Agustus 2024, 22.26 wib.

Hai, hai, selamat datang di cerita baru aku. Semoga suka :-))

Makasih mba nofiasari_septi udh mau jadi alfa-beta reader aku.

Sayap Malaikat by EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang