6 - KAFE SENJA

102 24 5
                                    

Sayap Malaikat
6 – Kafe Senja


Aku sedang menunggu Bang Haikal di sebuah meja outdoor di kafe Senja. Bunda memang sengaja memberi nama kafenya memakai namaku, katanya agar ke mana pun aku pergi kelak, aku akan kembali pulang ke rumah di mana ada kafe Senja di halaman depannya. Dan kata Bunda, supaya aku ingat bahwa sampai kapan pun aku akan selalu menjadi anak Bunda.

“Haikal belum datang?” Kak Juna duduk di depanku setelah sebelumnya meletakkan segelas jus mangga dan sepiring apple pie di hadapanku.

“Sebentar lagi. Dari sini rumahnya lumayan jauh, Kak.”

Tidak lama, kami melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan gerbang yang terbuka lebar, kemudian seseorang yang kukenal turun sambil membawa tas ransel.

“Tuh Bang Haikal.” Dari bawah teduhnya pohon anggur yang terlindung atap UV, aku melambai kepada Bang Haikal. Sore ini kafe ramai seperti biasa, tetapi untungnya aku masih kebagian meja berkat bantuan Kak Juna.

“Maaf lama ya.”

“Nggak. Bang Haikal nggak nyasar kan?” 

Bang Haikal tersenyum. “Nggak dong, kan Pak Martin udah hafal daerah sini.”

Aku mengangguk-angguk.

Kak Juna menepuk bahu Bang Haikal. “Ayo duduk. Mau minum sama makan apa?”

“Teh anget aja, Kak.”

Kak Juna mengacungkan jempol lalu masuk ke dalam kafe.

Mendongak, pandangan Bang Haikal tertuju pada segerombolan anggur berwarna hitam. “Boleh minta?”

“Boleh dong, tapi rasanya masam, Bang. Orang-orang yang datang ke kafe biasanya suka ngambil sih,” jelasku hendak berdiri, tetapi Bang Haikal menahanku.

“Aku ambil sendiri aja.” Karena tubuh Bang Haikal tinggi, ia bisa menjangkau segerombolan anggur terendah dengan mudah. Ia mengambil beberapa butir kemudian kembali duduk di kursi di hadapanku. “Manis.”

Aku mengerutkan kening. “Masam, Kak, aku kan sering makan.”

Bang Haikal tersenyum. “Manis, kan aku makannya sambil lihatin Senja.”

Untuk beberapa saat aku terdiam seraya mencerna kata-katanya sebelum kemudian wajahku terasa panas. Aku hanya diam dan menunduk karena malu.

Terdengar kekehan Bang Haikal. “Maaf, bercanda. Ada PR yang susah?”

Aku mendongak dan menatap Bang Haikal yang tampak santai, membuatku kembali santai. “Ada beberapa, Bang. Tapi Bang Haikal kerjain PR Abang aja dulu, baru nanti Abang bantu PR aku.”

“Gampang. PR kamu aja dulu. Mana?”

Aku tersenyum dalam hati. Aku harap, pertemanan kami akan berlangsung lama, dan semoga saja Bang Haikal sebaik Kak Juna.

Tidak berapa lama, Kak Juna membawakan teh hangat pesanan Bang Haikal dan sepiring cheese cake dengan hiasan buah murbei berwarna hitam di atasnya.

“Eh tapi aku nggak pesan, Kak….”

“Bonus buat teman Senja.” Kak Juna tersenyum kemudian kembali masuk ke dalam kafe.

“Kalau ini manis,” jelasku seraya menunjuk murbei di atas kue. Pohonnya ada di halaman belakang rumah.”

Bang Haikal menatapku takjub. “Boleh kapan-kapan lihat?”

Aku mengangguk. “Boleh, Bang.”

Kami melanjutkan mengerjakan PR sambil menyantap kue dan minuman. Setelah selesai, Bang Haikal berpamitan kepadaku dan Kak Juna. Ada Bunda juga yang tiba-tiba menghampiri meja kami.

“Lain kali main lagi ya. Makasih udah mau jadi temen Senja.”

Bang Haikal tersenyum kepada Bunda. “Aku yang makasih Tante karena Senja udah mau jadiin aku kakaknya.”

Bunda tertawa lalu merangkul bahuku. “Terima kasih kembali, Haikal.”

Begitu mobil hitam Bang Haikal berlalu, Bunda merangkulku menuju rumah. “Haikal ramah dan sopan, baik juga.”

“Iya kan.” Aku mengangguk. “Lain kali Bang Haikal mau ke sini lagi mau lihat pohon murbei katanya.”

“Awas loh nanti ada yang cemburu.”

Aku mengerutkan kening menatap Bunda. “Cemburu? Pacarnya Bang Haikal?”

“Mungkin. Dan… kakak kamu yang lain.”

“Siapa?  Kak Juna? Mas Hanafi? Mbak Sri?”

Bunda tersenyum kecil dan mengangguk-angguk.

“Mereka nggak perlu cemburu. Kan aku sayang mereka juga.”

“Iya deh anak Bunda yang tiap hari makin cantik dan manis aja.”

“MasyaaAllah tabarakallah.”

“MasyaaAllah tabarakallah,” ucap Bunda lagi sambil mencubit pipiku dengan gemas kemudian setelah menutup pintu rumah, ia kembali ke kafe.

Malam hari, aku tidak punya alasan untuk meminta bantuan Kak Juna untuk mengerjakan PR, tetapi aku kangen kepada Kak Juna padahal setiap saat juga selalu bertemu Kak Juna.

Namun, kakiku melangkah sendiri ke paviliun dan mendapati Kak Juna baru selesai mandi.

“Kenapa? PR-nya ada yang belum selesai?”

Aku menggeleng. “Mau minta dibacain dongeng sebelum tidur.”

Kedua alis Kak Juna terangkat. “Katanya udah gede nggak mau dongeng lagi?” godanya.

Aku menyodorkan sebuah buku berjudul “Hutan” kepada Kak Juna yang kuambil dari perpustakaan di lantai dua dekat kamarku.

“Sesekali masih mau.”

Kak Juna tersenyum. “Ya udah.”

Dengan pintu kamar terbuka dan aku sudah berbaring di kamar lengkap terbalut selimut dan tetap memakai jilbab, Kak Juna duduk di kursi membacakan cerita “Hutan”. Di mana seorang gadis kecil yang tersesat di dalam hutan lalu berteduh dari derasnya hujan di teras sebuah gubuk tua. Kak Juna dan Ayah sudah sering membacakannya, tetapi tetap saja aku tidak bosan dan kuharap tidak pernah bosan.

Aku menguap. Suara Kak Juna jernih, dalam, dan meninabobokan. Hanya sebentar Kak Juna bercerita, aku sudah mengantuk. Rasanya damai.

Sayup sayup terdengar suara Kak Juna bersalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sebelum aku benar-benar terjatuh ke alam mimpi.

***

Emerald, Sabtu, 28 September 2024, 10.05 wib.

Selamat liburan, semoga Senja & Kak Juna bisa sedikit menghibur kalian 🥰🥰🥰

Sayap Malaikat by EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang