7 – Sekar Langit
Adik bayi sudah lahir, namanya Sekar langit. Cantik sekali. Warna kulitnya seperti Kak Juna, eksotis. Bola matanya bulat dan berwarna hitam kelam, seperti juga warna mata Kak Juna.
Sekarang, Kak Juna lagi terpesona kepada Sekar Langit. Semua yang keluar dari bibirnya pasti Sekar Langit. Sekar lucu, Sekar cantik, Sekar imut, Sekar menggemaskan, suara nangis Sekar membuat Kak Juna sedih, dan lain sebagainya. Kak Juna juga biasanya akan membantu Bu Laksmi menjaga Sekar, menggantikan popoknya, menggendongnya jika menangis dan rewel, dan seterusnya dan seterusnya.
Aku cemburu dan merasa tersisihkan? Hem, terkadang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku juga sayang Sekar soalnya Sekar memang sangat menggemaskan membuatku ingin terus mencubit pipinya. Meski Bunda suka memarahiku kalau aku melakukannya karena kulit bayi itu sangat sensitif katanya.
Jika aku kesepian karena sebagian besar percakapan atau waktu Kak Juna untuk Sekar, biasanya aku akan mencari Mas Hanafi atau Mbak Sri untuk kuajak mengobrol, hal apa saja.
Seperti saat ini, aku sedang menanyai Mbak Sri tentang kegiatannya selama ini. Mbak Sri ini lulusan SMA dan ingin sekali kuliah, tetapi karena kekurangan biaya, Mbak Sri pun bekerja dan menabung untuk kuliah nanti. Umur Mbak Sri waktu pertama kerja di sini 20 tahun, dan sekarang sudah 21 tahun. Katanya sebentar lagi uang tabungannya bisa buat masuk kuliah.
Ketika kami masih asyik mengobrol, tiba-tiba saja Om Riga, adik Om Raishard, memanggil Mbak Sri. Om Riga itu sudah punya istri dan anak, tetapi sikapnya seperti masih single saja. Akhir-akhir ini Om Riga hampir setiap hari datang ke rumah Bunda karena katanya mau belajar jadi manajer untuk ditempatkan di kafe cabang yang akan Bunda bangun, tetapi faktanya kerjaan Om Riga cuma menyuruh-nyuruh Mbak Srikandi. Meminta dipijat-lah, minta dibawakan kopi dan makanan dari kafe, menyuruh Mbak Sri membeli rokok, bahkan terkadang meminta Mbak Sri mencucikan mobilnya. Mbak Sri sih menurut saja karena katanya uang yang diberikan oleh Om Riga itu lumayan buat ditabung dan biaya sehari-hari.
Aku sih kurang suka kepada Om Riga, soalnya wajahnya itu seperti galak, dan matanya itu loh kalau lihatin Mbak Sri kayak gimana gitu, bikin aku merinding saja.
Jujur saja, aku jauh lebih suka kepada Om Raishard. Tapi aku kasihan sama beliau, sudah 45 tahun belum juga menikah. Beliau ini sepupu Ayah, tetapi nasibnya berbeda sekali. Ayah sudah punya 3 anak, tetapi Om Raishard masih betah sendirian sampai sekarang. Padahal Om Raishard ini tampan, badannya juga masih gagah dan penampilannya lebih muda dari usianya.
Saat dulu Ibu akan membuka kafe, Om Raishard langsung menawarkan diri untuk membantu usaha Ibu, padahal Om Raishard pasti sudah lelah bekerja di kantor dari pagi hingga sore, tetapi masih mau membantu Ibu. Om Raishard juga sering menawarkan bantuan dalam hal keuangan, tetapi Ibu selalu menolak.
“Senja, lagi apa sendirian?” tanya Pak Wali yang melihatku sedang duduk di batang pohon murbei. “Jangan ngelamun, nanti jatuh. Ayo sini turun, Nduk.”
Aku tersenyum kepada Pak Wali. “Tadi sih lagi ngobrol sama Mbak Sri, tapi terus Mbak Sri dipanggil Om Riga.”
Pak Wali tersenyum. “Udah sore, bentar lagi waktunya mengaji, kan. Ayo siap-siap.”
Aku hampir lupa. Aku pun lekas turun dari pohon dan melompat ke tanah dengan sempurna. “Hampir saja Senja lupa. Makasih Pak Wali udah ingetin!” Aku pun bergegas masuk ke rumah melewati pintu belakang untuk bersiap mandi. Dari kejauhan, kulihat di ruang tamu ada Mbak Sri yang sedang memijati kaki Om Riga. Di meja, ada laptop yang menyala. Kata Mbak Sri, terkadang Om Riga mengajarinya cara mengoperasikan komputer dan juga materi umum pelajaran di kampus, makanya Mbak Sri betah saja meski harus disuruh-suruh oleh laki-laki berwajah galak itu.
Aku sih tidak akan betah, apalagi setiap kali berada di dekat Om Riga, bulu kuduk aku suka berdiri semua!
***
Setiap Sabtu pagi, biasanya aku meminta Mbak Sri untuk menemaniku bersepeda di sela-sela waktu kerjanya.
Pagi ini saat aku baru bangun tidur, kudengar suara-suara ceria di halaman samping rumah. Menguap sambil menutup mulut, aku melangkah menuju pintu balkon lantai dua yang mengarah ke paviliun. Pemandangan yang kutemui di bawah sana membuatku terdiam lama.
Di teras paviliun, ada Kak Juna sedang tertawa kepada Mbak Sri yang tengah menggendong Sekar. Lama aku memperhatikan mereka bertiga, begitu mirip lukisan keluarga bahagia. Ada seorang bayi dalam pelukan hangat ayah dan ibunya.
Aku terkejut saat pipiku terasa basah dan buru-buru aku menyeka air mata. Kenapa aku menangis? Iri melihat kedekatan Mbak Srikandi dengan Kak Juna dan Sekar Langit?
Tidak, jangan lagi, Senja. Kamu tidak boleh iri dengan kebahagiaan dan kedekatan mereka. Kakak kamu kan masih banyak. Ada Mas Hanafi dan juga Bang Haikal.
Diam-diam aku berbalik dan beranjak kembali ke kamar, tetapi aku dipanggil Bunda yang baru sampai di puncak tangga.
“Belum siap-siap, Sayang? Mbak Sri udah dateng dari pagi loh nungguin kamu.”
Aku menatap Bunda. “I-iya, Bun, ini Senja mau mandi dulu.” Lalu aku pun buru-buru masuk ke kamar.
Aih, rasanya aku ingin pergi jalan-jalan sendirian saja!
Ketika aku bersiap bersepeda lima belas menit kemudian, Kak Juna seperti biasa memberikan petuah dulu kepadaku,
“Hati-hati di jalan, lihat kiri kanan kalau mau menyeberang, jangan mengebut, jangan—”
“Jangan lepas tangan, jangan jajan sembarangan, jangan jajan yang pedes dan dingin kalau pagi-pagi... auw sakit, Kak!”
Kak Juna mencubit hidungku. “Kalau Kak Juna nggak harus jagain Sekar, pasti Kak Juna udah ikut kamu naik sepeda. Kamu tuh akhir-akhir ini suka bikin Kak Juna geregetan dan bikin cemas, Senja. Pergi main sepeda jauh-jauh, jajan pedes sampai sakit perut, jajan es sampai radang tenggorokan—”
Aku mengecup pipi Sekar dalam gendongan Kak Juna, kemudian berbalik pergi. “Dah Kak Juna, nanti lagi ya ngobrolnya, keburu siang dan makin panas nih!”
“Senja!”
Aku hanya tertawa dan menuntun sepedaku menuju gerbang diikuti Mbak Sri dan sepeda bekas Kak Mentari yang kini menjadi milik Mbak Sri.
“Mas Juna masih mau kasih nasihat tuh Non, kok malah ditinggal,” kata Mbak Sri dari belakangku.
Aku menoleh. “Iya makanya Senja kabur, soalnya masih panjang pasti kayak kereta api, ntar matahari keburu naik, Mbak Sri,” jawabku lugas membuat Mbak Sri tertawa geli.
Mbak Sri cantik, baik, dan pintar mengganti popok Sekar membantu Kak Juna dan Bu Laksmi.
Kalau aku... belum bisa apa-apa, menggendong Sekar saja aku masih takut. Uh, Senja, kamu tidak boleh merasa rendah diri. Ayo, kamu juga pasti bisa buat bantu Kak Juna dan Bu Laksmi mengurus Sekar!
Bismillah, bisa! Semangat, Senja!
***
Emerald, Selasa, 8 Oktober 2024, 17.32 wib.
Semoga masih suka cerita Senja & Kak Juna 🥰
Info Pdf Ready:
1. Jadi Istri Majikan 10K
2. Cinta Wanita Big Size 10K
3. Suami Idaman Laila 7K
Dll
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Malaikat by Emerald
RomanceAku mempunyai kakak angkat bernama Arjuna, lengkapnya Arjuna Kavi. Tidak, Ayah dan Bunda tidak mengadopsi Kak Juna, tetapi mereka membiayai sekolah Kak Juna. Kak Juna dan kedua orangtuanya tinggal di paviliun kediaman kami. Ayah Kak Juna adalah penj...