12 – Ikhlas
Melihat Mbak Sri tertidur nyenyak di tempat tidur di sebelahku membuatku sedih. Di rumahnya, Mbak Sri tidak mempunyai ranjang ataupun kasur yang layak. Sementara di rumah ini ada ranjang dan kasur yang dibiarkan kosong sejak kepergian beberapa anggota keluargaku.
“Mbak Sri, Senja minta maaf. InsyaaAllah Senja nggak akan ngerasa iri lagi ngelihat Mbak Sri sama Kak Juna. Mbak Sri cepet sembuh, ya.”
Tentu saja Mbak Sri tidak mendengar ucapanku. Namun, aku memang tidak ingin Mbak Sri mengetahui alasanku menjauh darinya.
Aku menguap, lalu memejamkan mata, tidur di sebelah kakakku sayang.
***
Aku berangkat ke sekolah diantar Kak Juna lagi karena Kak Juna yang meminta kepada Bunda. Karena aku sudah niat untuk ikhlas dengan semua, maka aku setuju dan mau saja diantar Kak Juna.
“Kak Juna.”
“Iya, Senja?” tanya Kak Juna yang tengah fokus menyetir motor.
“Mbak Sri mau pakai jilbab kayak Senja loh.”
“O ya? Alhamdulillah.”
“Iya. Tadi Mbak Sri mau pinjem jilbab Senja karena Mbak Sri belum punya. Tapi kan jilbab Senja kecil, jadilah pakai punya Bunda. Senja seneng banget deh soalnya Mbak Sri makin cantik tuh pakai jilbab.”
“Senja juga nggak kalah cantik pakai jilbab.”
Aku terdiam karena malu.
Kak Juna terkekeh. “Senja pasti malu tuh.”
“Ng-nggak. Senja biasa aja. Soalnya Bang Haikal juga suka bilang gitu.”
“Bilang apa?” tanya Kak Juna. “Bilang kalau Senja cantik pakai jilbab?”
“Iya. Terus bilangnya itu nggak sekali dua kali, tapi sering, suka tiba-tiba aja gitu.”
Setelahnya, Kak Juna tidak lagi menyahut karena kami sudah tiba di depan gedung sekolah.
Saat aku turun dan mengucapkan terima kasih kepada Kak Juna yang telah mengantarku, Kak Juna menahan tanganku.
“Kenapa, Kak? Ada yang ketinggalan?”
Kak Juna menggeleng. Manik kelamnya menatapku lekat membuatku melangkah mundur. “Senja nggak pacaran kan sama Haikal?”
Aku mengangkat kedua alis, kemudian menggeleng. “Nggak-lah Kak Juna, kan di Islam nggak boleh pacara...” aku langsung menutup mulut karena tersadar dengan ucapanku. “Se-Senja nggak bermaksud menyinggung Kak Juna sama Mbak Sri, kok.” Aku menggeleng panik.
Kak Juna tersenyum dan menghela napas, kemudian mengusap kepalaku. “Makasih udah ingetin Kak Juna. Ya udah sana masuk.”
“Tapi....”
“Ayo, nanti Senja telat.”
Aku mengangguk kemudian berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang. Aku benar-benar takut tadi telah menyinggung Kak Juna.
“Senja!”
Aku berhenti dan menoleh ke samping kiri, ada Bang Haikal yang berlari ke arahku seraya melambai. Ia masih memakai tasnya yang berarti ia baru datang diantar Pak Martin.
“Pagi, Bang Haikal.”
“Pagi, Senja. Aku mau beli kue bolu dong, hari ini ada temen yang ulang tahun.”
Aku tersenyum, kemudian mengangkat tote bag-ku. “Boleh banget, mau beli berapa, Bang?”
“Semuanya,” jawab Bang Haikal membuat senyumku kian lebar.
Alhamdulillah, dagangan Bunda sudah habis bahkan sebelum aku melangkah melewati gerbang sekolah.
Usai berpisah dengan Bang Haikal, tanpa sengaja aku menoleh ke arah jalan. Aku mengerutkan kening melihat motor Kak Juna baru saja melaju ke arah gedung sekolahnya yang berada di sebelah gedungku.
Loh, aku kira Kak Juna udah pergi dari tadi?
***
Di kelasku kedatangan siswi baru, namanya Septi. Bu Guru Tina meminta Septi untuk duduk di sebelahku karena kursinya masih kosong.
Septi ini sering berpindah-pindah sekolah karena pekerjaan orangtuanya. Anaknya cantik dengan kacamata berbingkai putih yang bertengger di hidungnya. Rambutnya lurus panjang melewati bahu dan tubuhnya tidak kurus sepertiku, tetapi tidak gemuk juga. Otaknya cerdas, terbukti ia langsung bisa mengerjakan soal matematika yang diberikan oleh Bu Guru Tina. Para anak laki-laki langsung mengerubungi Septi seperti kumbang yang tertarik kepada bunga.
Hari itu juga, Septi langsung dibenci oleh teman-teman perempuan sekelas. Kecuali aku tentunya karena Septi tidak salah, tidak sombong, dan tidak jahat juga.
“Kamu nggak ngejauh kayak anak-anak lain?” tanya Septi menatapku lurus-lurus.
Aku menggeleng.
“Kamu kasihan sama aku? Nggak apa-apa nggak usah temenin aku, nanti kamu malah ikut dibenci temen-temen lain. Aku udah biasa kayak gini, lagian aku cuma sebentar di sini, nanti juga pindah lagi.”
Aku tersenyum. “Aku pengen temenan sama kamu soalnya kamu nggak jahat. Aku juga pengen tau pengalaman kamu selama pindah-pindah tempat. Pasti banyak suka dukanya,” ucapku lugas.
Septi tertawa. “Kepo banget, kamu! Tapi, aku suka.” Ia mengulurkan tangannya. “Salam kenal lagi, aku Septi Novia Sari.”
Aku tersenyum menyambut uluran tangan teman baruku itu. “Senja. Senja aja.”
Septi tertawa lagi.
Septi banyak bercerita tentang dirinya. Hobinya menulis dan ia sudah sering kali mengikuti dan memenangkan lomba kepenulisan, malah ia juga sudah memiliki 3 karya yang dibukukan dan dijual secara online─katanya penghasilannya lebih dari lumayan.
Membuatku jadi makin tertarik untuk berteman dengan Septi.
Katanya pengalamannya mengenal banyak orang dan berbagai lingkungan membuatnya jadi senang menulis, terutama karena kakeknya yang juga seorang novelis kisah-kisah laga.
Saat kutanya di mana rumahnya yang sekarang, ternyata ia tinggal di perumahan sebelah yang pernah kukunjungi.
“Jadi Bunda kamu punya kafe? Boleh nih kapan-kapan aku mampir? Kalau hari ini nggak bisa soalnya masih sibuk beresin rumah.”
“Boleh banget! Nanti Kak Juna yang traktir.”
“Siapa? Kakak kamu?”
Aku mengangguk dengan senyum.
Septi menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. “Aku bisa bayar sendiri, masa gratis, ntar dikira aku temenan sama kamu ada maunya,” candanya. “Kebetulan aku habis dapat honor dari penerbit, jadi aku bakal puas-puasin makan di kafe kamu sambil nulis novel.”
“Aku tunggu!” timpalku antusias.
Di perjalanan pulang sekolah diantar Kak Juna, aku berkata kepada kakakku itu bahwa aku sudah menemukan cita-citaku yang baru:
“Selain membantu Bunda mengurus kafe, Senja juga mau jadi novelis terkenal! Dan... biar nanti banyak novel Senja yang berjajar di rak buku di perpus Bunda dan perpus Om Raishard! Terus orang-orang bisa bacain dongeng-dongeng buatan Senja ke adik-adik atau anak-anak mereka.”
Kak Juna tertawa kemudian meng-amin-kan doa dan harapanku.
Alhamdulillah, aku dapat teman dan cita-cita baru.
Semoga dengan begini, Senja makin bisa ikhlas dengan hubungan Kak Juna dan Mbak Sri. Aamiin. Terima kasih ya Allah.
***
Emerald, Rabu, 16 Oktober 2024, 18.58 wib.
Makasih udah mampir ke cerita Senja & Kak Juna. Semoga masih suka 🥰🥰🥰
Pdf Ready, tersedia juga di KaryaKarsa #putripermatasari916
1. Jadi Istri Majikan (Fat Girl) 10K
2. Cinta Wanita Big Size 10K
3. Suami Idaman Laila 7K
4. Stray Cat (Srikandi) 15K (belum ada di KK)
Dll dllWA 0877-6528-6021
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Malaikat by Emerald
RomantikAku mempunyai kakak angkat bernama Arjuna, lengkapnya Arjuna Kavi. Tidak, Ayah dan Bunda tidak mengadopsi Kak Juna, tetapi mereka membiayai sekolah Kak Juna. Kak Juna dan kedua orangtuanya tinggal di paviliun kediaman kami. Ayah Kak Juna adalah penj...